Cari Blog Ini

Rabu, 11 Maret 2009

Hukum-Hukum Haid

Terdapat banyak hukum haid, ada lebih dari dua puluh hukum. Dan kami sebutkan di sini hukum-hukum yang kami anggap banyak diperlukan, antara lain:

1. ShalatDiharamkan bagi wanita haid mengerjakan shalat, baik fardhu maupun sunat, dan tidak sah shalatnya. Juga tidak wajib baginya mengerjakan shalat, kecuali jika ia mendapatkan sebagian dari waktunya sebanyak satu rakaat sempurna, baik pada awal atau akhir waktunya.

Contoh pada awal waktu: seorang wanita haid setelah matahari terbenam tetapi ia sempat mendapatkan sebanyak satu rakaat dari waktunya. Maka wajib baginya, setelah suci, mengqadha' shalat maghrib tersebut karena ia telah mendapatkan sebagian dari waktunya yang cukup untuk satu rakaat sebelum kedatangan haid.

Adapun contoh pada akhir waktu, seorang wanita suci dari haid sebelum matahari terbit dan masih sempat mendapatkan satu rakaat dari waktunya. Maka wajib baginya, setelah bersuci, mengqadha' shalat Subuh tersebut karena ia masih sempat mendapatkan sebagian dari waktunya yang cukup untuk satu rakaat. Namun, jika wanita yang haid mendapatkan sebagian dari waktu shalat yang tidak cukup untuk satu rakaat sempuma; seperti: kedatangan haid - pada contoh pertama - sesaat setelah matahari terbenam, atau suci dari haid - pada contoh kedua - sesaat sebelum matahari terbit, maka shalat tersebut tidak wajib baginya. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam : "Barangsiapa mendapatkan satu rakaat dari shalat, maka dia telah mendapatkan shalat itu.” (Hadits Muttafaq 'alaih).

Pengertiannya, siapa yang mendapatkan kurang dari satu rakaat berarti tidak mendapatkan shalat tersebut.

Jika seorang wanita haid mendapatkan satu rakaat dari waktu Asar, apakah wajib baginya mengerjakan shalat dzuhur bersama Ashar, atau mendapatkan satu rakaat dari waktu Isya' apakah wajib baginya mengerjakan shalat Maghrib bersama Isya'?

Terdapat perbedaan pendapat diantara para ulama dalam masalah ini. Dan yang benar, bahwa tidak wajib baginya kecuali shalat yang didapatkan sebagian waktunya saja, yaitu shalat Ashar dan Isya'. Karena sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam : "Barangsiapa mendapatkan satu rakaat dari shalat Ashar sebelum matahari terbenam, maka dia telah mendapatkan shalat Ashar itu ': (Hadits muttafaq 'alaih).

Nabi tidak menyatakan "maka ia telah mendapatkan shalat Zuhur dan Ashar", juga tidak menyebutkan kewajiban shalat Zhuhur baginya. Dan menurut kaidah, seseorang itu pada prinsipnya bebas dari tanggungan. Inilah madzhab Imam Abu Hanifah dan Imam Malik, sebagaimana disebutkan dalam kitab Syarh Al-Muhadzdzab. 9 (Syarh Al-Muhadzdzab, Juz 3, hal. 70.)

Adapun membaca dzikir, takbir, tasbih, tahmid dan bismillah ketika hendak makan atau pekerjaan lainnya, membaca hadits, fiqh, do'a dan aminnya, serta mendengarkan Al Qur'an, maka tidak diharamkanbagi wanita haid. Hal ini berdasarkan hadits dalam Shahih Al Bukhari - Muslim dan kitab lainnya bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pemah bersandar di kamar Aisyah Radhiyallahu 'anha yang ketika itu sedang haid, lain beliau membaca Al Qur'an.

Diriwayatkan pula dalam Shahih At Bukhari - Muslim dari Ummu 'Athiyah Radhiyallahu 'anha bahwa ia mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Agar keluar para gadis, perawan dan wanita haid - yakni ke shalat Idul Fitri dan Adha - serta supaya mereka ikut menyaksikan kebaikan dan doa orang-orang yang beriman. Tetapi wanita haid menjauhi tempat shalat.”’

Sedangkan membaca Al Qur'an bagi wanita haid itu sendiri, jika dengan mata atau dalam hati tanpa diucapkan dengan lisan maka tidak apa-apa hukumnya. Misalnya, mushaf atau lembaran Al Qur'an diletakkaan lalu matanya menatap ayat-ayat seraya hatinya membaca. Menurut An-Nawawi dalam kitab Syarh AlMuhadzdzab hal ini boleh, tanpa ada perbedaan pendapat.

Adapun jika wanita haid itu membaca Al Qur'an dengan lisan, maka banyak ulama mengharamkannya dan tidak membolehkannya. Tetapi Al-Bukhari, Ibnu JarirAt-Thabari dan Ibnul Mundzir membolehkannya. Juga boleh membaca ayat Al-Qur'an bagi wanita haid, menurut Malik dan Asy-Syafi'i dalam pendapatnya yang terdahulu, sebagaimana disebutkan dalam kitab Fathul Bari ",serta menurut Ibrahim An-Nakha'i sebagaimana diriwayatkan Al-Bukhari. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa kumpulan Ibnu Qasim mengatakan: "Pada dasarnya, tidak ada hadits yang melarang wanita haid membaca Al Qur'an.

Sedangkan pemyataan "Wanita haid dan orang junub tidak boleh membaca ayat Al qur 'an " adalah hadits dhaif menurut kesepakatan para ahli hadits. Seandainya wanita haid dilarang membaca Al Qur'an, seperti halnya shalat, padahal pada zaman Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kaum wanita pun mengalami haid, tentu hal ini termasuk yang dijelaskan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kepada umatnya, diketahui para isteri beliau sebagai ibu-ibu kaum mu'minin, serta disampaikan para sahabat kepada orang-orang. Namun, tidak ada seorangpun yang menyampaikan bahwa ada larangan dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dalam masalah ini. Karena itu, tidak boleh dihukumi haram selama diketahui bahwa Nabi tidak melarangnya. Jika Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tidak melarangnya, padahal banyak pula wanita haid pada zaman beliau, berarti hal ini tidak haram hukumnya."

Setelah mengetahui perbedaan pendapat di antara para ulama, seyogyanya kita katakan, lebih utama bagi wanita haid tidak membaca Al Qur'an secara lisan, kecuali jika diperlukan. Misalnya, seorang guru wanita yang perlu mengajarkan membaca Al Qur'an kepada siswi-siswinya, atau seorang siswi yang pada waktu ujian perlu diuji dalam membaca Al Qur'an, dan lain sebagainya.

2. PuasaDiharamkan bagi wanita haid berpuasa, baik puasa wajib maupun sunat, dan tidak sah puasa yang dilakukannya. Akan tetapi ia berkewajiban mengqadha' puasa yang wajib, berdasarkan hadits Aisyah Radhiyallahu 'anha: "Ketika kami mengalami haid, diperintahkan kepada kami meng-qadha' puasa dan tidak diperintahkan meng-qadha' shalat". (Hadits muttafaq 'alaih).

Jika seorang wanita kedatangan haid ketika sedang berpuasa maka batallah puasanya, sekalipun hal itu terjadi sesaat menjelang maghrib, dan wajib baginya mengqadha' puasa hari itu jika puasa wajib. Namun, jika ia merasakan tanda-tanda akan datangnya haid sebelum maghrib, tetapi baru keluar darah setelah maghrib, maka menurut pendapat yang shahih bahwa puasanya itu sempuma dan tidak batal. Alasannya, darah yang masih berada di dalam rahim belum ada hukumnya. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam ketika ditanya tentang wanita yang bermimpi dalam tidur seperti mimpinya orang laki-laki, apakah wajib mandi? Beliau pun menjawab: " Ya, jika wanita itu melihat adanya air mani"

Dalam hadits ini Nabi mengaitkan hukum dengan melihat air mani, bukan dengan tanda-tanda akan keluarnya. Demikian pula masalah haid, tidak berlaku hukum-hukumnya kecuali dengan melihat adanya darah keluar, bukan dengan tanda-tanda akan keluarnya.

Juga jika pada saat terbitnya fajar seorang wanita masih dalam keadaan haid maka tidak sah berpuasa pada hari itu, sekalipun ia suci sesaat setelah fajar. Tetapi jika suci menjelang fajar, maka sah puasanya sekalipun ia baru mandi setelah terbit fajar. Seperti halnya orang dalam keadaan junub, jika berniat puasa ketika masih dalam keadaan junub dan belum sempat mandi kecuali setelah terbit fajar, maka sah puasanya. Dasarya, hadits Aisyah Radhiyallahu 'anha, katanya: "Pernah suatu pagi pada bulan Ramadhan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dalam keadaan junub karena jima', bukan karena mimpi, lalu beliau berpuasa". (Hadits muttafaq 'alaih).

3. TawafDiharamkan bagi wanita haid melakukan thawaf di Ka'bah, baik yang wajib maupun sunat, dan tidak sah thawafnya. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kepada Aisyah: "Lakukanlah apa yang dilakukan jemaah haji, hanya saja jangan melakukan tawaf di Ka'bah sebelum kamu suci.”

Adapun kewajiban lainnya, seperti sa'i antara Shafa dan Marwah, wukuf di Arafah, bermalam di Muzdalifah dan Mina, melempar jumrah dan amalan haji serta umrah selain itu, tidak diharamkan. Atas dasar ini, jika seorang wanita melakukan thawaf dalam keadaan suci, kemudian keluar haid langsung setelah thawaf, atau di tengah-tengah melakukan sa'i, maka tidak apa-apa hukumnya.

4. Thawaf Wada'
Jika seorang wanita telah mengejakan seluruh manasik haji dan umrah, lain datang haid sebelum keluar untuk kembali ke negerinya dan haid ini terus berlangsung sampai ia keluar, maka ia boleh berangkat tanpa thawaf wada'. Dasarya, hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma:
"Diperintahkan kepada jemaah haji agar saat-saat terakhir bagi mereka berada di Baitullah (melakukan thawaf wada'), hanya saja hal itu tidak dibebankan kepada wanita haid. " (Hadits Muttafaq 'Alaih).

Dan tidak disunatkan bagi wanita haid ketika hendak bertolak, mendatangi pintu Masjidil Haram dan berdo'a. Karena hal ini tidak ada dasar ajarannya dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam , sedangkan seluruh ibadah harus berdasarkan pada ajaran (sunnah) Nabi shallallahu 'alaihi wasallam . Bahkan, menurut ajaran (sunnah) Nabi shallallahu 'alaihi wasallam adalah sebaliknya. Sebagaimana disebutkan dalam kisah Shafiyah, Radhiyallahu 'anha, ketika dalam keadaan haid setelah thawaf ifadhah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepadanya: "Kalau demikian, hendaklah ia berangkat" (Hadits Muttafaq 'Alaih).

Dalam hadits ini, Nabi tidak menyuruhnya mendatangi pintu Masjidil Haram. Andaikata hal itu disyariatkan, tentu Nabi sudah menjelaskannya. Adapun thawaf untuk haji dan umrah tetap wajib bagi wanita haid, dan dilakukan setelah suci.

5. Berdiam dalam Masjid
Diharamkan bagi wanita haid berdiam dalam masjid, bahkan diharamkan pula baginya berdiam dalam tempat shalat Ied. Berdasarkanhadits Ummu Athiyah Radhiallahu bahwa ia mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:"Agar keluar para gadis, perawan dan wanita haid...Tetapi wanita haid menjauhi tempat shalat." (Hadits Muttafaq 'Alaih).



6. Jima' (senggama)
Diharamkan bagi sang suami melakukan jima'dengan isterinya yang sedang haid, dan diharamkan bagi sang isteri memberi kesempatan kepada suaminya melakukan hal tersebut. Dalilnya, firman Allah Ta 'ala: "Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: "Haid itu adalah suatu kotoran': Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktuu haid dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka besuci…." (Al-Baqarah: 222)

Yang dimaksud dengan ….. dalam ayat di atas adalah waktu haid atau tempat keluamya yaitu farji (vagina).Dan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam : "Lakukan apa saja, kecuali nikah (yakni: bersenggama)." (Hadits riwayat Muslim).

Umat Islam juga telah berijma' (sepakat) atas dilarangnya suami melakukan jima ' dengan isterinya yang sedang haid dalam farjinya. Oleh karena itu, tidak halal bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian melakukan perbuatan mungkar ini, yang telah dilarang oleh Kitab Allah, sunnah Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wasallam dan ijma' ummat Islam. Maka siapa yang melanggar larangan ini, berarti ia telah memusuhi Allah dan Rasul-Nya serta mengikuti selain jalan orang-orang yang beriman.

An-Nawawi dalam kitab Al-Majmu' Syarh AlMuhadzdzab mengatakan: "Imam Asy-Syafi'i berpendapat bahwa orang yang melakukan hal itu telah berbuat dosa besar. Dan menurut para sahabat kami serta yang lainnya, orang yang menghalallkan senggama dengan isteri yang haid hukumnya kafir."

Untuk menyalurkan syahwatnya, suami diperbolehkan melakukan selain jima' (senggama), seperti: berciuman, berpelukan dan bersebadan pada selain daerah farji (vagina).

Namun, sebaiknya, jangan bersebadan pada daerah antara pusat dan lutut kecuali jika sang isteri mengenakan kain penutup. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan Aisyah Radhiallahu 'anha: "Pernah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berkain, lalu beliau menggauliku sedang aku dalam keadaan haid." (Hadits muttafaq 'alaih).

7. TalakDiharamkan bagi seorang suami mentalak isterinya yang sedang haid, berdasarkan firman Allah Ta 'ala:
"Hai Nabi, apabila Kamu menceraikan isteri-terimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) ... "(Ath-Thalaq: 1)
Maksudnya, isteri-isteri itu ditalak dalam keadaan dapat menghadapi iddah yang jelas. Berarti, mereka tidak ditalak kecuali dalam keadaan hamil atau suci sebelum digauli.

Sebab, jika seorang isteri ditalak dalam keadaan haid, ia tidak dapat menghadapi iddahnya karena haid yang sedang dialami pada saat jatuhnya talak itu tidak dihitung termasuk iddah.

Sedangkan jika ditalak dalam keadaan suci setelah digauli, berarti iddah yang dihadapinya tidakjelas karena tidak dapat diketahui apakah ia hamil karena digauli tersebut atau tidak. Jika hamil, maka iddahnya dengan kehamilan; danjika tidak, maka iddahnya dengan haid. Karena belum dapat dipastikan jenis iddahnya, maka diharamkan bagi sang suami mentalak isterinya sehingga jelas permasalahan tersebut.Jadi, mentalak isteri yang sedang haid haram hukumnya. Berdasarkan ayat di atas dan hadits dari Ibnu Umar yang diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim serta kitab hadits lainnya, bahwa ia telah menceraikan isterinya dalam keadaan haid, maka Umar (bapaknya) mengadukan hal itu kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam . Maka, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pun marah dan bersabda: "Suruh ia merujuk isterinya kemudian mempertahankannya sampai ia suci, lalu haid lalu suci lagi. Setelah itu, jika ia mau, dapat mempertahankannya atau mentalaknya sebelum digauli. Karena itulah iddah yang diperintahkan Allah dalam mentalak isteri."

Dengan demikian,berdosalah seorang suami andai kata mentalak isterinya yang sedang haid. Ia harus bertaubat kepada Allah dan merujuk isterinya untuk kemudian mentalaknya secara syar'i sesuai dengan perintah Allah dan Rasul-Nya. Yakni, setelah merujuk isterinya hendaklah ia membiarkannya' sampai suci dari haid yang dialaminya ketika ditalak, kemudian haid lagi, setelah itu jika ia menghendaki dapat mempertahankannya atau mentalaknya sebelum digauli.

Dalam hal diharamkannya mentalak isteri yang sedang haid ada tiga masalah yang dikecualikan:
1. Jika talak terjadi sebelum berkumpul dengan isteri atau sebelum menggaulinya (dalam keadaan pengantin baru misalnya, pent.), maka boleh mentalaknya dalam keadaan haid. Sebab, dalam kasus demikian, si isteri tidak terkena iddah, maka talak tersebut pun tidak menyalahi firman :
"Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat ( menghadapi) iddahnya (yang wajar)…". (Ath-Thalaq : 1)
2. Jika haid terjadi dalam keadaan hamil, sebagaimana telah dijelaskan sebabnya pada pasal terdahulu.
3. Jika talak tersebut atas dasar 'iwadh (penggantian), maka boleh bagi suami menceraikan isterinya yang sedang haid.

Misalnya, terjadi percekcokan dan hubungan yang tidak harmonis lagi antara suami-isteri. Lalu si isteri meminta suami agar mentalaknya dan suami memperoleh ganti rugi karenanya, maka hal itu boleh sekalipun isteri dalam keadaan haid. Berdasarkan hadits dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma: " Bahwa isteri Tsabit bin Qais bin Syammas datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan berkata : "Ya Rasulullah, sungguh aku tidak mencelanya dalam akhlak maupun agamanya, tetapi aku takut akan kekafiran dalam Islam." Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bertanya : "Maukah kamu mengembalikan kepadanya?" Wanita itu menjawab: "Ya" Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pun bersabda (kepada suaminya): "Terimalah kebun itu, dan ceraikanlah ia" (Hadits riwayat Al-Bukhari).

Dalam hadits tadi Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tidak bertanya apakah si isteri sedang haid atau suci. Dan karena talak ini dibayar oleh pihak isteri dengan tebusan atas dirinya maka hukumnya boleh dalam keadaan bagaimanapun, jika memang diperlukan Dalam kitab Al-Mughni disebutkan tentang alasan bolehnya khulu' (cerai atas permintaan pihak isteri dengan membayar tebusan) dalam keadaanhaid: "Dilarangnya talak dalam keadaan haid adalah adanya madhmat (bahaya) bagi si isteri dengan menunggu lamanya masa 'iddah. Sedang khulu ' adalah untuk menghilangkan madhmat bagi si isteri disebabkan hubungan yang tidak harmonis dan sudah tidak tahan tinggal bersama suami yang dibenci dan tidak disenanginya. Hal ini tentu lebih besar madharatnya bagi si isteri daripada menunggu lamanya masa 'iddah, maka diperbolehkan menghindari madharat yang lebih besar dengan menjalani sesuatu yang lebih ringan madharatnya.

Karena itu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tidak bertanya kepada wanita yang meminta Khulu' tentang keadaannya. Dan dibolehkan melakukan akad nikah dengan wanita yang sedang haid, karena hal itu pada dasamya adalah halal, dan tidak ada dalil yang melarangnya. Namun, perlu dipertimbangkan bila suami diperkenankan berkumpul dengan isteri yang sedang dalam keadaan haid. Jika tidak dikhawatirkan akan menggauli isterinya yang sedang haid tidak apa-apa. Sebaliknya, jika dikhawatirkan maka tidak diperkenankan berkumpul dengannya sebelum suci untuk menghindari hal-hal yang dilarang.

8. Iddah talak dihitung dengan haid.
Jika seorang suami menceraikan isteri yang telah digauli atau berkumpul dengannya,maka si isteri harus beriddah selama tiga kali haid secara sempurna apabila termasuk wanita yang masih mengalami haid dan tidak hamil. Hal ini didasarkan pada firman Allah:
"Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'…" (Al-Baqarah : 28).

Tiga kali guru' artinya tiga kali haid. Tetapi jika si isteri dalam keadaan hamil, maka iddahnya ialah sampai melahirkan, baik masa iddahnya itu lama maupun sebentar. Berdasarkan firman Allah:
"….Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya…" (Ath-Thalaq: 4)

Jika si isteri termasuk wanita yang tidak haid, karena masih kecil dan belum mengalami haid, atau sudah menopause, atau karena pernah operasi pada rahimnya, atau sebab-sebab lain sehingga tidak diharapkan dapat haid kembali, maka iddahnya adalah tiga bulan. Sebagaimana firman Allah:
"Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya…" (Ath-Thalaq:4)
Jika si isteri termasuk wanita yang masih mengalami haid, tetapi terhenti haidnya karena suatu sebab yang jelas seperti sakit atau menyusui, maka ia tetap dalam iddahnya sekalipun lama masa iddahnya sampai ia kembali mendapati haid dan ber-iddah dengan haid itu. Namun jika sebab itu sudah tidak ada,seperti sudah sembuh dari sakit atau telah selesai dari menyusui sementara haidnya tak kunjung datang, maka iddahnya satu tahun penuh terhitung mulai dari tidak adanya sebab tersebut. Inilah pendapat yang shahih yang sesuai dengan kaidah-kaidah syar'iyah Dengan alasan, jika sebab itu sudah tidak ada sementara haid tak kunjung datang maka wanita tersebut hukumnya seperti wanita yang terhenti haidnya karena sebab yang tidak jelas. Dan jika terhenti haidnya karena sebab yang tidakjelas, maka iddahnya yaitu satu tahun penuh dengan perhitungan: sembilan bulan sebagai sikap hati-hati untuk kemungkinan hamil(karena masa kehamilan pada umumnya 9 bulan) dan tiga bulan untuk iddahnya.

Adapun jika talak terjadi setelah akad nikah sedang sang suami belum mencampuri dan menggauli isterinya, maka dalam hal ini tidak ada iddah sama sekali, baik dengan haid maupun yang lain. Berdasarkan firman Allah :
"Hai orang-orangyang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu menceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-kali tidak wajib iddah yang kamu minta menyempurnakannya..." (Al-Ahzaab: 49 )

9. Keputusan bebasnya rahim
Yakni keputusan bahwa rahim bebas dari kandungan. Ini diperlukan selama keputusan bebasnya rahim dianggap perlu, karena hal ini berkaitan dengan beberapa masalah.

Antara lain, apabila seseorang mati dan meninggalkan wanita (isteri) yang kandungannya dapat menjadi ahli waris orang tersebut, padahal si wanita setelah itu bersuami lagi.

Maka suaminya yang barn itu tidak boleh menggaulinya sebelum ia haid atau jelas kehamilannya. Jika telah jelas kehamilannya, maka kita hukumi bahwa janin yang dikandungnya mendapatkan hak warisan karena kita putuskan adanya janin tersebut pada saat bapaknya mati.

Namun, jika wanita itu pernah haid (sepeninggal suaminya yang pertama), maka kita hukumi bahwa janin yang dikandungnya tidak mendapatkan hak warisan karena kita putuskan bahwa rahim wanita tersebut bebas dari kehamilan dengan adanya haid.

10. Kewajiban mandi.
Wanita haid jika telah suci wajib mandi dengan membersihkan seluruh badannya. Berdasarkan sabda Nabi kepada Fatimah binti Abu Hubaisy:
"Bila kamu kedatangan haid maka tinggalkan shalat, dan bila telah suci mandilah dan kerjakan shalat." (Hadits riwayat Al-Bukhari).

Kewajiban minimal dalam mandi yaitu membersihkan seluruh anggota badan sampai bagian kulit yang ada di bawah rambut. `Yang afdhal (lebih utama), adalah sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tatkala ditanya oleh Asma binti Syakl tentang mandi haid, beliau bersabda:
"Hendaklah seseorang diantara kamu mengambil air dan daun bidara lalu berwudhu sempurna, kemudian menguyurkan air diatas kepala dan menggosok-gosoknya dengan kuat sehingga merata keseluruh kepalanya, selanjutnya mengguyurkan air pada anggota badannya. Setelah itu mengambil sehelai kain putih yang ada pengharumnya untuk bersuci dengannya. 'Asma bertanya: "Bagaimana bersuci dengannya?" Nabi menjawab: "Subhanallah." Maka Aisyah pun menerangkan dengan berkata: "Ikutilah bekas-bekas darah." (HR. Muslim )

Tidak wajib melepas gelungan rambut, kecuali jika terikat kuat dan dikhawatirkan air tidak sampai kedasar rambut. Hal ini didasarkan pada hadits yang tersebut dalam Shahih Muslim Mtrslim dari Ummu Salamah Radhiyallahu 'anha bahwa ia bertanya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, "Aku seorang wanita yang menggelung rambutku, haruskah aku melepaskannya untuk mandi janabat?" Menurut riwayat lain "untuk (mandi) haid danJanabat?" Nabi bersabda :"Tidak. Cukup kamu siram kepalamu tiga kali siraman (dengan tanganmu), lalu kamu guyurkan air ke seluruh tubuhmu, maka kamupun menjadi suci."

Apabila wanita haid mengalami suci di tengah-tengah waktu shalat, ia harus segera mandi agar dapat melakukan shalat pada waktunya. Jika ia sedang dalam perjalanan dan tidak ada air, atau ada air tetapi takut membahayakan dirinya dengan menggunakan air, atau sakit dan berbahaya baginya air, maka ia boleh bertayammum sebagai ganti dari mandi sampai hal yang menghalanginya itu tidak ada lagi, kemudian mandi.

Ada di antara kaum wanita yang suci di tengah-tengah waktu shalat tetapi menunda mandi ke waktu lain, dalihnya: ''Tidak mungkin dapat mandi sempurna pada waktu sekarang ini." Akan tetapi ini bukan alasan ataupun halangan karena boleh baginya mandi sekedar untuk memenuhi yang wajib dan melaksanakan shalat pada waktunya. Apabila kemudian ada kesempatan lapang, barulah ia dapat mandi dengan sempurna.

cerita islami

Khalid Bin Walid
(Ksatria Islam yang Tangguh)

"ORANG seperti dia, tidak dapat tanpa diketahui dibiarkan begitu saja. Dia harus diincar sebagai calon pemimpin Islam. Jika dia menggabungkan diri dengan kaum Muslimin dalam peperangan melawan orang-orang kafir, kita harus mengangkatnya kedalam golongan pemimpin" demikian keterangan Nabi ketika berbicara tentang Khalid sebelum calon pahlawan ini masuk Islam.
Khalid dilahirkan kira-kira 17 tahun sebelum masa pembangunan Islam. Dia anggota suku Banu Makhzum, suatu cabang dari suku Quraisy. Ayahnya bernama Walid dan ibunya Lababah. Khalid termasuk diantara keluarga Nabi yang sangat dekat. Maimunah, bibi dari Khalid, adalah isteri Nabi. Dengan Umar sendiri pun Khalid ada hubungan keluarga, yakni saudara sepupunya. Suatu hari pada masa kanak-kanaknya kedua saudara sepupu ini main adu gulat. Khalid dapat mematahkan kaki Umar. Untunglah dengan melalui suatu perawatan kaki Umar dapat diluruskan kembali dengan baik.

Ayah Khalid yang bernama Walid, adalah salah seorang pemimpin yang paling berkuasa diantara orang-orang Quraisy. Dia sangat kaya. Dia menghormati Ka'bah dengan perasaan yang sangat mendalam. Sekali dua tahun dialah yang menyediakan kain penutup Ka'bah. Pada masa ibadah Haji dia memberi makan dengan cuma-cuma bagi semua orang yang datang berkumpul di Mina.
Ketika orang Quraisy memperbaiki Ka'bah tidak seorang pun yang berani meruntuhkan dinding-dindingnya yang tua itu. Semua orang takut kalau-kalau jatuh dan mati. Melihat suasana begini Walid maju kedepan dengan bersenjatakan sekop sambil berteriak, "O, Tuhan jangan marah kepada kami. Kami berniat baik terhadap rumahMu".

Nabi mengharap-harap dengan sepenuh hati, agar Walid masuk Islam. Harapan ini timbul karena Walid seorang kesatria yang berani dimata rakyat. Karena itu dia dikagumi dan dihormati oleh orang banyak. Jika dia telah masuk Islam ratusan orang akan mengikutinya.
Dalam hati kecilnya Walid merasa, bahwa Al Qur-'an itu adalah kalimat-kalimat Allah. Dia pernah mengatakan secara jujur dan terang-terangan, bahwa dia tidak bisa berpisah dari keindahan dan kekuatan ayat-ayat suci itu.

Ucapan yang terus terang ini memberikan harapan bagi Nabi, bahwa Walid akan segera masuk Islam. Tetapi impian dan harapan ini tak pernah menjadi kenyataan. Kebanggaan atas diri sendiri membendung bisikan-bisikan hati nuraninya. Dia takut kehilangan kedudukannya sebagai pemimpin bangsa Quraisy. Kesangsian ini menghalanginya untuk menurutkan rayuan-rayuan hati nuraninya. Sayang sekali orang yang begini baik, akhirnya mati sebagai orang yang bukan Islam.
Suku Banu Makhzum mempunyai tugas-tugas penting. Jika terjadi peperangan, Banu Muhzum lah yang mengurus gudang senjata dan gudang tenaga tempur. Suku inilah yang mengumpulkan kuda dan senjata bagi prajurit-prajurit.

Tidak ada cabang suku Quraisy lain yang bisa lebih dibanggakan seperti Banu Makhzum. Ketika diadakan kepungan maut terhadap orang-orang Islam dilembah Abu Thalib, orang-orang Banu Makhzumlah yang pertama kali mengangkat suaranya menentang pengepungan itu.

Latihan Pertama
Kita tidak banyak mengetahui mengenai Khalid pada masa kanak-kanaknya. Tetapi satu hal kita tahu dengan pasti, ayah Khalid orang berada. Dia mempunyai kebun buah-buahan yang membentang dari kota Mekah sampai ke Taif. Kekayaan ayahnya ini membuat Khalid bebas dari kewajiban-kewajibannya.

Dia lebih leluasa dan tidak usah belajar berdagang. Dia tidak usah bekerja untuk menambah pencaharian orang tuanya. Kehidupan tanpa suatu ikatan memberi kesempatan kepada Khalid mengikuti kegemarannya. Kegemarannya ialah adu tinju dan berkelahi.
Saat itu pekerjaan dalam seni peperangan dianggap sebagai tanda seorang Satria. Panglima perang berarti pemimpin besar. Kepahlawanan adalah satu hal terhormat di mata rakyat.
Ayah Khalid dan beberapa orang pamannya adalah orang-orang yang terpandang dimata rakyat. Hal ini memberikan dorongan keras kepada Khalid untuk mendapatkan kedudukan terhormat, seperti ayah dan paman-pamanya. Satu-satunya permintaan Khalid ialah agar menjadi orang yang dapat mengatasi teman-temannya didalam hal adu tenaga. Sebab itulah dia menceburkan dirinya kedalam seni peperangan dan seni bela diri. Malah mempelajari keahlian mengendarai kuda, memainkan pedang dan memanah. Dia juga mencurahkan perhatiannya kedalam hal memimpin angkatan perang. Bakat-bakatnya yang asli, ditambah dengan latihan yang keras, telah membina Khalid menjadi seorang yang luar biasa. Kemahiran dan keberaniannya mengagumkan setiap orang.

Pandangan yang ditunjukkannya mengenai taktik perang menakjubkan setiap orang. Dengan gamblang orang dapat melihat, bahwa dia akan menjadi ahli dalam seni kemiliteran.
Dari masa kanak-kanaknya dia memberikan harapan untuk menjadi ahli militer yang luar biasa senialnya.

Menentang Islam
Pada masa kanak-kanaknya Khalid telah kelihatan menonjol diantara teman-temannya. Dia telah sanggup merebut tempat istimewa dalam hati rakyat. Lama kelamaan Khalid menanjak menjadi pemimpin suku Quraisy. Pada waktu itu orang-orang Quraisy sedang memusuhi Islam. Mereka sangat anti dan memusuhi agama Islam dan penganut-penganut Islam. Kepercayaan baru itu menjadi bahaya bagi kepercayaan dan adat istiadat orang-orang Quraisy. Orang-orang Quraisy sangat mencintai adat kebiasaannya. Sebab itu mereka mengangkat senjata untuk menggempur orang-orang Islam. Tunas Islam harus dihancurkan sebelum tumbuh berurat ber-berakar. Khalid sebagai pemuda Quraisy yang berani dan bersemangat berdiri digaris paling depan dalam penggempuran terhadap kepercayaan baru ini. Hal ini sudah wajardan seirama dengan kehendak alam.

Sejak kecil pemuda Khalid bertekad menjadi pahlawan Quraisy. Kesempatan ini diperolehnya dalam pertentangan-pertentangan dengan orang-orang Islam. Untuk membuktikan bakat dan kecakapannya ini, dia harus menonjolkan dirinya dalam segala pertempuran. Dia harus memperlihatkan kepada sukunya kwalitasnya sebagai pekelahi.

Peristiwa Uhud
Kekalahan kaum Quraisy didalam perang Badar membuat mereka jadi kegila-gilaan, karena penyesalan dan panas hati. Mereka merasa terhina. Rasa sombong dan kebanggaan mereka sebagai suku Quraisy telah meluncur masuk lumpur kehinaan Arang telah tercoreng dimuka orang-orang Quraisy. Mereka seolah-olah tidak bisa lagi mengangkat dirinya dari lumpur kehinaan ini. Dengan segera mereka membuat persiapan-persiapan untuk membalas pengalaman pahit yang terjadi di Badar.

Sebagai pemuda Quraisy, Khalid bin Walid pun ikut merasakan pahit getirnya kekalahan itu. Sebab itu dia ingin membalas dendam sukunya dalam peperangan Uhud. Khalid dengan pasukannya bergerak ke Uhud dengan satu tekad menang atau mati. Orang-orang Islam dalam pertempuran Uhud ini mengambil posisi dengan membelakangi bukit Uhud.
Sungguhpun kedudukan pertahanan baik, masih terdapat suatu kekhawatiran. Dibukit Uhud masih ada suatu tanah genting, dimana tentara Quraisy dapat menyerbu masuk pertahanan Islam. Untuk menjaga tanah genting ini, Nabi menempatkan 50 orang pemanah terbaik. Nabi memerintahkan kepada mereka agar bertahan mati-matian. Dalam keadaan bagaimana jua pun jangan sampai meninggalkan pos masing-masing.

Khalid bin Walid memimpin sayap kanan tentara Quraisy empat kali lebih besar jumlahnya dari pasukan Islam. Tetapi mereka jadi ragu-ragu mengingat kekalahant-kekalahan yang telah mereka alami di Badar. Karena kekalahan ini hati mereka menjadi kecil menghadapi keberanian orang-orang Islam.
Sungguh pun begitu pasukan-pasukan Quraisy memulai pertempuran dengan baik. Tetapi setelah orang-orang Islam mulai mendobrak pertahanan mereka, mereka telah gagal untuk mempertahankan tanah yang mereka injak.

Kekuatannya menjadi terpecah-pecah. Mereka lari cerai-berai. Peristiwa Badar berulang kembali di Uhud. Saat-saat kritis sedang mengancam orang-orang Quraisy. Tetapi Khalid bin Walid tidak goncang dan sarafnya tetap membaja. Dia mengumpulkan kembali anak buahnya dan mencari kesempatan baik guna melakukan pukulan yang menentukan.
Melihat orang-orang Quraisy cerai-berai, pemanah-pemanah yang bertugas ditanah genting tidak tahan hati. Pasukan Islam tertarik oleh harta perang, harta yang ada pada mayat-mayat orang-orang Quraisy. Tanpa pikir panjang akan akibatnya, sebagian besar pemanah-pemanah, penjaga tanah genting meninggalkan posnya dan menyerbu kelapangan.

Pertahanan tanah genting menjadi kosong. Khalid bin Walid dengan segera melihat kesempatan baik ini. Dia menyerbu ketanah genting dan mendesak masuk. Beberapa orang pemanah yang masih tinggal dikeroyok bersama-sama. Tanah genting dikuasai oleh pasukan Khalid dan mereka menjadi leluasa untuk menggempur pasukan Islam dari belakang.
Dengan kecepatan yang tak ada taranya Khalid masuk dari garis belakang dan menggempur orang Islam dipusat pertahanannya. Melihat Khalid telah masuk melalui tanah genting, orang-orang Quraisy yang telah lari cerai-berai berkumpul kembali dan mengikuti jejak Khalid menyerbu dari belakang. Pemenang-pemenang antara beberapa menit yang lalu, sekarang telah terkepung lagi dari segenap penjuru, dan situasi mereka menjadi gawat.

Khalid bin Walid telah merobah kemenangan orang Islam di Uhud menjadi suatu kehancuran. Mestinya orang-orang Quraisylah yang kalah dan cerai-berai. Tetapi karena gemilangnya Khalid sebagai ahli siasat perang, kekalahan-kekalahan telah disunglapnya menjadi satu kemenangan. Dia menemukan lobang-lobang kelemahan pertahanan orang Islam.
Hanya pahlawan Khalidlah yang dapat mencari saat-saat kelemahan lawannya. Dan dia pula yang sanggup menarik kembali tentara yang telah cerai-berai dan memaksanya untuk bertempur lagi. Seni perangnya yang luar biasa inilah yang mengungkap kekalahan Uhud menjadi suatu kemenangan bagi orang Quraisy.
Ketika Khalid bin Walid memeluk Islam Rasulullah sangat bahagia, karena Khalid mempunyai kemampuan berperang yang dapat digunakan untuk membela Islam dan meninggikan kalimatullah dengan perjuangan jihad. Dalam banyak kesempatan peperangan Islam Khalid bin Walid diangkat menjadi komandan perang dan menunjukan hasil gemilang atas segala upaya jihadnya. Betapapun hebatnya Khalid bin Walid di dalam medan pertempuran, dengan berbagai luka yang menyayat badannya, namun ternyata kematianya diatas ranjang. Betapa menyesalnya Khalid harapan untuk mati sahid dimedan perang ternyata tidak tercapai dan Allah menghendakinya mati di atas tempat tidur, sesudah perjuangan membela Islam yang luar biasa itu. Demikianlah kekuasaan Allah. Manusia berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya sesuai dengan kemaua-Nya.