Cari Blog Ini

Kamis, 04 November 2010

PP 11 TAHUN 2010 TENTANG PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 11 TAHUN 2010
TENTANG
PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa berdasarkan Pasal 27, Pasal 34, dan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, hak atas tanah hapus antara lain karena diterlantarkan;
b. bahwa saat ini penelantaran tanah makin menimbulkan kesenjangan sosial, ekonomi, dan kesejahteraan rakyat serta menurunkan kualitas lingkungan, sehingga perlu pengaturan kembali penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar;
c. bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar, tidak dapat lagi dijadikan acuan penyelesaian penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar sehingga perlu dilakukan penggantian;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar;

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043);
3. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan Dengan Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3632);
4. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888);
5. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355);
6. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4411);
7. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437), sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
8. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725);
9. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 149, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5068);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3643);
11. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1. Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai adalah hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
2. Hak Pengelolaan adalah Hak Menguasai dari Negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya.
3. Dasar penguasaan atas tanah adalah izin/keputusan/surat dari pejabat yang berwenang yang menjadi dasar bagi orang atau badan hukum untuk menguasai, menggunakan, atau memanfaatkan tanah.
4. Pemegang Hak adalah pemegang hak atas tanah, pemegang Hak Pengelolaan, atau pemegang izin/keputusan/surat dari pejabat yang berwenang yang menjadi dasar penguasaan atas tanah.
5. Kepala adalah Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia.
6. Kepala Kantor Wilayah adalah Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional.

BAB II
OBYEK PENERTIBAN TANAH TERLANTAR

Pasal 2
Obyek penertiban tanah terlantar meliputi tanah yang sudah diberikan hak oleh Negara berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya.

Pasal 3
Tidak termasuk obyek penertiban tanah terlantar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah:
a. tanah Hak Milik atau Hak Guna Bangunan atas nama perseorangan yang secara tidak sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian haknya; dan
b. tanah yang dikuasai pemerintah baik secara langsung maupun tidak langsung dan sudah berstatus maupun belum berstatus Barang Milik Negara/Daerah yang tidak sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian haknya.

BAB III
IDENTIFIKASI DAN PENELITIAN

Pasal 4
(1) Kepala Kantor Wilayah menyiapkan data tanah yang terindikasi terlantar.
(2) Data tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai dasar pelaksanaan identifikasi dan penelitian.

Pasal 5
(1) Identifikasi dan penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dilaksanakan oleh Panitia.
(2) Susunan keanggotaan Panitia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari unsur Badan Pertanahan Nasional dan unsur instansi terkait yang diatur oleh Kepala.

Pasal 6
(1) Identifikasi dan penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dilaksanakan:
a. terhitung mulai 3 (tiga) tahun sejak diterbitkan Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai; atau
b. sejak berakhirnya izin/keputusan/surat dasar penguasaan atas tanah dari pejabat yang berwenang.
(2) Identifikasi dan penelitian tanah terlantar meliputi:
a. nama dan alamat Pemegang Hak;
b. letak, luas, status hak atau dasar penguasaan atas tanah dan keadaan fisik tanah yang dikuasai Pemegang Hak; dan
c. keadaan yang mengakibatkan tanah terlantar.

Pasal 7
(1) Kegiatan identifikasi dan penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 meliputi:
a. melakukan verifikasi data fisik dan data yuridis;
b. mengecek buku tanah dan/atau warkah dan dokumen lainnya untuk mengetahui keberadaan pembebanan, termasuk data, rencana, dan tahapan penggunaan dan pemanfaatan tanah pada saat pengajuan hak;
c. meminta keterangan dari Pemegang Hak dan pihak lain yang terkait, dan Pemegang Hak dan pihak lain yang terkait tersebut harus memberi keterangan atau menyampaikan data yang diperlukan;
d. melaksanakan pemeriksaan fisik;
e. melaksanakan ploting letak penggunaan dan pemanfaatan tanah pada peta pertanahan;
f. membuat analisis penyebab terjadinya tanah terlantar;
g. menyusun laporan hasil identifikasi dan penelitian;
h. melaksanakan sidang Panitia; dan
i. membuat Berita Acara.
(2) Panitia menyampaikan laporan hasil identifikasi, penelitian, dan Berita Acara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Kepala Kantor Wilayah.

BAB IV
PERINGATAN

Pasal 8
(1) Apabila berdasarkan hasil identifikasi dan penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) disimpulkan terdapat tanah terlantar, maka Kepala Kantor Wilayah memberitahukan dan sekaligus memberikan peringatan tertulis pertama kepada Pemegang Hak, agar dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkannya surat peringatan, menggunakan tanahnya sesuai keadaannya atau menurut sifat dan tujuan pemberian haknya atau sesuai izin/keputusan/surat sebagai dasar penguasaannya.
(2) Apabila Pemegang Hak tidak melaksanakan peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Kantor Wilayah memberikan peringatan tertulis kedua dengan jangka waktu yang sama dengan peringatan pertama.
(3) Apabila Pemegang Hak tidak melaksanakan peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala Kantor Wilayah memberikan peringatan tertulis ketiga dengan jangka waktu yang sama dengan peringatan kedua.
(4) Peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dilaporkan oleh Kepala Kantor Wilayah kepada Kepala.
(5) Dalam hal tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) yang dibebani dengan Hak Tanggungan, maka surat peringatan tersebut diberitahukan juga kepada pemegang Hak Tanggungan.
(6) Apabila Pemegang Hak tetap tidak melaksanakan peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Kepala Kantor Wilayah mengusulkan kepada Kepala untuk menetapkan tanah yang bersangkutan sebagai tanah terlantar.

BAB V
PENETAPAN TANAH TERLANTAR

Pasal 9
(1) Kepala menetapkan tanah terlantar terhadap tanah yang diusulkan oleh Kepala Kantor Wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (6).
(2) Dalam hal tanah yang akan ditetapkan sebagai tanah terlantar merupakan tanah hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a, penetapan tanah terlantar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat juga penetapan hapusnya hak atas tanah, sekaligus memutuskan hubungan hukum serta ditegaskan sebagai tanah yang dikuasai langsung oleh Negara.
(3) Dalam hal tanah yang akan ditetapkan sebagai tanah terlantar adalah tanah yang telah diberikan dasar penguasaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b, penetapan tanah terlantar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat juga pemutusan hubungan hukum serta penegasan sebagai tanah yang dikuasai langsung oleh Negara.

Pasal 10
(1) Tanah yang ditetapkan sebagai tanah terlantar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), apabila merupakan keseluruhan hamparan, maka hak atas tanahnya dihapuskan, diputuskan hubungan hukumnya, dan ditegaskan menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh Negara.
(2) Tanah yang ditetapkan sebagai tanah terlantar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), apabila merupakan sebagian hamparan yang diterlantarkan, maka hak atas tanahnya dihapuskan, diputuskan hubungan hukumnya dan ditegaskan menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh Negara dan selanjutnya kepada bekas Pemegang Hak diberikan kembali atas bagian tanah yang benar-benar diusahakan, dipergunakan, dan dimanfaatkan sesuai dengan keputusan pemberian haknya.
(3) Untuk memperoleh hak atas tanah atas bagian tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), bekas Pemegang Hak dapat mengajukan permohonan hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 11
(1) Apabila tanah hak yang diterlantarkan kurang dari atau sama dengan 25% (dua puluh lima persen), maka Pemegang Hak dapat mengajukan permohonan revisi luas atas bidang tanah yang benar-benar digunakan dan dimanfaatkan sesuai dengan keputusan pemberian haknya.
(2) Biaya atas revisi pengurangan luas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi beban Pemegang Hak.

Pasal 12
(1) Tanah yang diusulkan untuk ditetapkan sebagai tanah terlantar, dinyatakan dalam keadaan status quo sejak tanggal pengusulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (6).
(2) Tanah yang dinyatakan dalam keadaan status quo sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak dapat dilakukan perbuatan hukum atas bidang tanah tersebut sampai diterbitkan penetapan tanah terlantar yang memuat juga penetapan hapusnya hak atas tanah, sekaligus memutuskan hubungan hukum serta ditegaskan sebagai tanah yang dikuasai langsung oleh Negara.

Pasal 13
(1) Tanah yang telah ditetapkan sebagai tanah terlantar, dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak ditetapkannya keputusan penetapan tanah terlantar, wajib dikosongkan oleh bekas Pemegang Hak atas benda-benda di atasnya dengan beban biaya yang bersangkutan.
(2) Apabila bekas Pemegang Hak tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka benda-benda di atasnya tidak lagi menjadi miliknya, dan dikuasai langsung oleh Negara.

Pasal 14
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penertiban tanah terlantar diatur dalam Peraturan Kepala.


BAB VI
PENDAYAGUNAAN
TANAH NEGARA BEKAS TANAH TERLANTAR

Pasal 15
(1) Peruntukan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah negara bekas tanah terlantar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) didayagunakan untuk kepentingan masyarakat dan negara melalui reforma agraria dan program strategis negara serta untuk cadangan negara lainnya.
(2) Peruntukan dan pengaturan peruntukan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah negara bekas tanah terlantar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Kepala.

Pasal 16
Terhadap tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) yang berhubungan dengan penguasaan dan penggunaannya tidak boleh diterbitkan izin/keputusan/surat dalam bentuk apapun selain yang ditetapkan dalam Pasal 15.

Pasal 17
Pelaksanaan penertiban tanah terlantar dan pendayagunaan tanah negara bekas tanah terlantar dilakukan oleh Kepala dan hasilnya dilaporkan secara berkala kepada Presiden.

BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 18
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, terhadap tanah yang telah diidentifikasi atau diberi peringatan sebagai tanah terlantar berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar, dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan ditindaklanjuti sesuai dengan Peraturan Pemerintah ini.

BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 19
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar dan peraturan pelaksanaannya dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 20
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.







Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 22 Januari 2010
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 22 Januari 2010
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
PATRIALIS AKBAR


LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 16

PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 11 TAHUN 2010010
TENTANG
PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR

I. UMUM
Tanah adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa bagi rakyat, bangsa dan Negara Indonesia, yang harus diusahakan, dimanfaatkan, dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Saat ini tanah yang telah dikuasai dan/atau dimiliki baik yang sudah ada hak atas tanahnya maupun yang baru berdasar perolehan tanah di beberapa tempat masih banyak dalam keadaan terlantar, sehingga cita-cita luhur untuk meningkatkan kemakmuran rakyat tidak optimal. Oleh karena itu, perlu dilakukan penataan kembali untuk mewujudkan tanah sebagai sumber kesejahteraan rakyat, untuk mewujudkan kehidupan yang lebih berkeadilan, menjamin keberlanjutan sistem kemasyarakatan dan kebangsaan Indonesia, serta memperkuat harmoni sosial. Selain itu, optimalisasi pengusahaan, penggunaan, dan pemanfaatan semua tanah di wilayah Indonesia diperlukan untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup, mengurangi kemiskinan dan menciptakan lapangan kerja, serta untuk meningkatkan ketahanan pangan dan energi.
Penelantaran tanah di pedesaan dan perkotaan, selain merupakan tindakan yang tidak bijaksana, tidak ekonomis (hilangnya peluang untuk mewujudnyatakan potensi ekonomi tanah), dan tidak berkeadilan, serta juga merupakan pelanggaran terhadap kewajiban yang harus dijalankan para Pemegang Hak atau pihak yang telah memperoleh dasar penguasaan tanah.
Penelantaran tanah juga berdampak pada terhambatnya pencapaian berbagai tujuan program pembangunan, rentannya ketahanan pangan dan ketahanan ekonomi nasional, tertutupnya akses sosial-ekonomi masyarakat khususnya petani pada tanah, serta terusiknya rasa keadilan dan harmoni sosial.
Negara memberikan hak atas tanah atau Hak Pengelolaan kepada Pemegang Hak untuk diusahakan, dipergunakan, dan dimanfaatkan serta dipelihara dengan baik selain untuk kesejahteraan bagi Pemegang Haknya juga harus ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat, bangsa dan negara.
Ketika Negara memberikan hak kepada orang atau badan hukum selalu diiringi kewajiban-kewajiban yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan surat keputusan pemberian haknya. Karena itu Pemegang Hak dilarang menelantarkan tanahnya, dan jika Pemegang Hak menelantarkan tanahnya, Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria telah mengatur akibat hukumnya yaitu hapusnya hak atas tanah yang bersangkutan dan pemutusan hubungan hukum serta ditegaskan sebagai tanah yang dikuasai langsung oleh Negara.
Bagi tanah yang belum ada hak atas tanahnya, tetapi ada dasar penguasaannya, penggunaan atas tanah tersebut harus dilandasi dengan sesuatu hak atas tanah sesuai Pasal 4 juncto Pasal 16 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Oleh karena itu orang atau badan hukum yang telah memperoleh dasar penguasaan atas tanah, baik dengan pengadaan tanah itu dari hak orang lain, memperoleh penunjukan dari pemegang Hak Pengelolaan, karena memperoleh izin lokasi, atau memperoleh keputusan pelepasan kawasan hutan berkewajiban memelihara tanahnya, mengusahakannya dengan baik, tidak menelantarkannya, serta mengajukan permohonan untuk mendapatkan hak atas tanah. Meskipun yang bersangkutan belum mendapat hak atas tanah, apabila menelantarkan tanahnya maka hubungan hukum yang bersangkutan dengan tanahnya akan dihapuskan dan ditegaskan sebagai tanah yang dikuasai langsung oleh Negara.
Oleh sebab itu, penelantaran tanah harus dicegah dan ditertibkan untuk mengurangi atau menghapus dampak negatifnya. Dengan demikian pencegahan, penertiban, dan pendayagunaan tanah terlantar merupakan langkah dan prasyarat penting untuk menjalankan program-program pembangunan nasional, terutama di bidang agraria yang telah diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, serta Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup jelas.

Pasal 2
Tanah yang sudah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, atau Hak Pengelolaan dinyatakan sebagai tanah terlantar apabila tanahnya tidak diusahakan, tidak dipergunakan atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan haknya.
Demikian pula tanah yang ada dasar penguasaannya dinyatakan sebagai tanah terlantar apabila tanahnya tidak dimohon hak, tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan persyaratan atau ketentuan yang ditetapkan dalam izin lokasi, surat keputusan pemberian hak, surat keputusan pelepasan kawasan hutan, dan/atau dalam izin/keputusan/surat lainnya dari pejabat yang berwenang.

Pasal 3
Huruf a
Yang dimaksud dengan “tidak sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian haknya” dalam ketentuan ini adalah karena Pemegang Hak perseorangan dimaksud tidak memiliki kemampuan dari segi ekonomi untuk mengusahakan, mempergunakan, atau memanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian haknya.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “tidak sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian haknya” dalam ketentuan ini adalah karena keterbatasan anggaran negara/daerah untuk mengusahakan, mempergunakan, atau memanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian haknya.
Pasal 4
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “tanah yang terindikasi terlantar” adalah tanah hak atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya yang belum dilakukan identifikasi dan penelitian.
Untuk memperoleh data tanah terindikasi terlantar dilaksanakan kegiatan inventarisasi yang hasilnya dilaporkan kepada Kepala.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 5
Cukup jelas.

Pasal 6
Cukup jelas.

Pasal 7
Cukup jelas.

Pasal 8
Ayat (1)
Dalam surat peringatan pertama perlu disebutkan hal-hal yang secara konkret harus dilakukan oleh Pemegang Hak dan sanksi yang dapat dijatuhkan apabila Pemegang Hak tidak mengindahkan atau tidak melaksanakan peringatan dimaksud.
Ayat (2)
Dalam surat peringatan kedua, setelah memperhatikan kemajuan dari surat peringatan pertama, menyebutkan kembali hal-hal konkret yang harus dilakukan oleh Pemegang Hak dan sanksi yang dapat dijatuhkan apabila Pemegang Hak tidak mengindahkan atau tidak melaksanakan peringatan dimaksud.
Ayat (3)
Dalam surat peringatan ketiga yang merupakan peringatan terakhir, setelah memperhatikan kemajuan dari surat peringatan kedua, menyebutkan hal-hal konkret yang harus dilakukan oleh Pemegang Hak dan sanksi yang dapat dijatuhkan apabila Pemegang Hak tidak mengindahkan atau tidak melaksanakan peringatan dimaksud.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.

Pasal 9
Cukup jelas.

Pasal 10
Cukup jelas.

Pasal 11
Cukup jelas.

Pasal 12
Cukup jelas.

Pasal 13
Cukup jelas.

Pasal 14
Cukup jelas.

Pasal 15
Ayat (1)
Tanah negara bekas tanah terlantar merupakan tanah cadangan umum negara yang didayagunakan untuk kepentingan masyarakat dan negara, melalui reforma agraria dan program strategis Negara serta untuk cadangan negara lainnya.
Reforma Agraria merupakan kebijakan pertanahan yang mencakup penataan sistem politik dan hukum pertanahan serta penataan asset masyarakat dan penataan akses masyarakat terhadap tanah sesuai dengan jiwa Pasal 2 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, dan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Penataan aset masyarakat dan penataan akses masyarakat terhadap tanah dapat melalui distribusi dan redistribusi tanah negara bekas tanah terlantar.
Program strategis negara antara lain untuk pengembangan sector pangan, energi, perumahan rakyat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Cadangan negara lainnya antara lain untuk memenuhi kebutuhan tanah untuk kepentingan pemerintah, pertahanan dan keamanan, kebutuhan tanah akibat adanya bencana alam, relokasi dan pemukiman kembali masyarakat yang terkena pembangunan untuk kepentingan umum.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 16
Cukup jelas.

Pasal 17
Cukup jelas.

Pasal 18
Cukup jelas.

Pasal 19
Cukup jelas.

Pasal 20
Cukup jelas.


TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5098

PP 28 TAHUN 2010 PENETAPAN PENSIUN POKOK PENSIUNAN PEGAWAI NEGERI SIPIL DAN JANDA/DUDANYA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 28 TAHUN 2010
TENTANG
PENETAPAN PENSIUN POKOK
PENSIUNAN PEGAWAI NEGERI SIPIL DAN JANDA/DUDANYA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : bahwa dengan adanya perubahan gaji pokok Pegawai Negeri Sipil yang berlaku terhitung mulai tanggal 1 Januari 2010 sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2010 tentang Perubahan Keduabelas Atas Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1977 tentang Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Penetapan Pensiun Pokok Pensiunan Pegawai Negeri Sipil dan Janda/Dudanya;

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1969 tentang Pensiun Pegawai dan Pensiun Janda/Duda Pegawai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1969 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2906);
3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3041) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3890);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1977 tentang Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1977 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3908) sebagaimana telah duabelas kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2010 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun.2010 Nomor 31);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENETAPAN PENSIUN POKOK PENSIUNAN PEGAWAI NEGERI SIPIL DAN JANDA/DUDANYA.

Pasal 1
Pensiunan Pegawai Negeri Sipil dan Janda/Dudanya yang dipensiun setelah berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2010 tentang Perubahan Keduabelas Atas Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1977 tentang Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil, pensiun pokoknya ditetapkan sebagai berikut:
a. pensiun Pegawai Negeri Sipil yang hasil perhitungan pensiun pokoknya sebagaimana tersebut dalam lajur 2, ditetapkan menjadi sebagaimana tersebut dalam lajur 3 Daftar I-A sampai dengan Daftar I-Q Lampiran I Peraturan Pemerintah ini;
b. pensiun Janda/Duda Pegawai Negeri Sipil yang hasil perhitungan pensiun pokoknya sebagaimana tersebut dalam lajur 2, ditetapkan menjadi sebagaimana tersebut dalam lajur 3 Daftar II-A sampai dengan Daftar II-Q Lampiran II Peraturan Pemerintah ini;
c. pensiun Janda/Duda dari Pegawai Negeri Sipil yang tewas yang hasil perhitungan pensiun pokoknya sebagaimana tersebut dalam lajur 2, ditetapkan menjadi sebagaimana tersebut dalam lajur 3 Daftar III-A sampai dengan Daftar III-Q Lampiran III Peraturan Pemerintah ini; dan
d. pensiun yang diberikan kepada orang tua dari Pegawai Negeri Sipil yang tewas yang hasil perhitungan pensiun pokoknya sebagaimana tersebut dalam lajur 2, ditetapkan menjadi sebagaimana tersebut dalam lajur 3 Daftar IV-A sampai dengan Daftar IV-Q Lampiran IV Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 2
Terhitung mulai tanggal 1 Januari 2010:
a. bagi Pensiunan Pegawai Negeri Sipil yang dipensiun tanggal 1 Januari 2010 dan sebelum tanggal 1 Januari 2010, pensiun pokoknya disesuaikan menjadi sebagaimana tersebut dalam lajur 3 segaris dengan pensiun pokok lama sebagaimana tersebut dalam lajur 2 Daftar V-A sampai dengan Daftar V-Q Lampiran V Peraturan Pemerintah ini;
b. bagi Pensiunan Janda/Duda dari Pegawai Negeri Sipil yang dipensiun tanggal 1 Januari 2010 dan sebelum tanggal 1 Januari 2010, pensiun pokoknya disesuaikan menjadi sebagaimana tersebut dalam lajur 3 segaris dengan pensiun pokok lama sebagaimana tersebut dalam lajur 2 Daftar VI-A sampai dengan Daftar VI-Q Lampiran VI Peraturan Pemerintah ini;
c. bagi Pensiunan Janda/Duda dari Pegawai Negeri Sipil yang tewas yang dipensiun tanggal 1 Januari 2010 dan sebelum tanggal 1 Januari 2010, pensiun pokoknya disesuaikan menjadi sebagaimana tersebut dalam lajur 3 segaris dengan pensiun pokok lama sebagaimana tersebut dalam lajur 2 Daftar VII-A sampai dengan Daftar VII-Q Lampiran VII Peraturan Pemerintah ini; dan
d. pensiun yang diberikan kepada orang tua dari Pegawai Negeri Sipil yang tewas tanggal 1 Januari 2010 dan sebelum tanggal 1 Januari 2010, pensiun pokoknya disesuaikan menjadi sebagaimana tersebut dalam lajur 3 segaris dengan pensiun pokok lama sebagaimana tersebut dalam lajur 2 Daftar VIII-A sampai dengan Daftar VIII-Q Lampiran VIII Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 3
(1) Bagi pensiunan Pegawai Negeri Sipil, pensiunan Janda/Duda Pegawai Negeri Sipil, pensiun yang diberikan kepada anak, bagian pensiun janda/anak (anak-anak) dan pensiun yang diberikan kepada orang tua yang dipensiun sebelum tanggal 1 Juli 2001, setelah pensiun pokoknya disesuaikan menurut Peraturan Pemerintah ini ternyata:
a. tidak mengalami kenaikan atau mengalami penurunan penghasilan, kepadanya diberikan tambahan penghasilan sebesar jumlah penurunan penghasilannya ditambah dengan 5% (lima persen) dari penghasilan; atau
b. mengalami kenaikan penghasilan kurang 5% (lima persen) dari penghasilan, kepadanya diberikan tambahan penghasilan sehingga kenaikan penghasilannya menjadi sebesar 5% (lima persen).
(2) Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penghasilan yang diterima pada bulan Desember 2009, tidak termasuk tunjangan pangan.
(3) Apabila terjadi mutasi keluarga sejak Januari 2010, maka penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibayarkan dengan memperhitungkan perubahan penghasilan sesuai dengan mutasi keluarga.
(4) Pemberian Tambahan Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku sejak tanggal 1 Januari 2010.

Pasal 4
Penyesuaian pensiun pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, ditetapkan dengan Keputusan Kepala Badan Kepegawaian Negara sebagai dasar pembayaran pensiun.

Pasal 5
Selain pensiun pokok, kepada penerima pensiun sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah ini diberikan tunjangan keluarga dan tunjangan pangan yang berlaku bagi Pegawai Negeri Sipil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 6
Ketentuan lebih lanjut mengenai teknis pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan/atau Kepala Badan Kepegawaian Negara, baik secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri menurut bidang tugasnya masing-masing.

Pasal 7
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2009 tentang Penetapan Pensiun Pokok Pensiunan Pegawai Negeri Sipil dan Janda/Dudanya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 22), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 8
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.



Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 5 Februari 2010
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 5 Februari 2010
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
PATRIALIS AKBAR

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 34

PP 37 TAHUN 2010 tentang BENDUNGAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 37 TAHUN 2010
TENTANG
BENDUNGAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa untuk menyimpan air yang berlebih pada saat musim penghujan agar dapat dimanfaatkan guna pemenuhan kebutuhan air dan daya air pada waktu diperlukan, serta mengendalikan daya rusak air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, Pasal 34, dan Pasal 58 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, perlu membentuk waduk yang dapat menampung air;
b. bahwa waduk selain berfungsi menampung air dapat pula untuk menampung limbah tambang (tailing) atau menampung lumpur dalam rangka menjaga keamanan serta keselamatan lingkungan hidup;
c. bahwa untuk membentuk waduk yang dapat menampung air, limbah tambang (tailing), atau lumpur, perlu membangun bendungan;
d. bahwa untuk membangun bendungan yang secara teknis dapat berfungsi sesuai dengan tujuan pembangunan sekaligus dapat menjamin keamanan bendungan, perlu pengaturan mengenai bendungan;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Bendungan;

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4377);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG BENDUNGAN.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam peraturan pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1. Bendungan adalah bangunan yang berupa urukan tanah, urukan batu, beton, dan/atau pasangan batu yang dibangun selain untuk menahan dan menampung air, dapat pula dibangun untuk menahan dan menampung limbah tambang (tailing), atau menampung lumpur sehingga terbentuk waduk.
2. Waduk adalah wadah buatan yang terbentuk sebagai akibat dibangunnya bendungan.
3. Bangunan pelengkap adalah bangunan berikut komponen dan fasilitasnya yang secara fungsional menjadi satu kesatuan dengan bendungan.
4. Kegagalan bendungan adalah keruntuhan sebagian atau seluruh bendungan atau bangunan pelengkapnya dan/atau kerusakan yang mengakibatkan tidak berfungsinya bendungan.
5. Pengamanan bendungan adalah kegiatan yang secara sistematis dilakukan untuk mencegah atau menghindari kemungkinan terjadinya kegagalan bendungan.
6. Pemilik bendungan adalah Pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, atau badan usaha, yang bertanggung jawab atas pembangunan bendungan dan pengelolaan bendungan beserta waduknya.
7. Pembangun bendungan adalah instansi pemerintah yang ditunjuk oleh Pemilik bendungan, badan usaha yang ditunjuk oleh Pemilik bendungan, atau Pemilik bendungan untuk menyelenggarakan pembangunan bendungan.
8. Pengelola bendungan adalah instansi pemerintah yang ditunjuk oleh Pemilik bendungan, badan usaha yang ditunjuk oleh Pemilik bendungan, atau Pemilik bendungan untuk menyelenggarakan pengelolaan bendungan beserta waduknya.
9. Unit pengelola bendungan adalah unit yang merupakan bagian dari Pengelola bendungan yang ditetapkan oleh Pemilik bendungan untuk melaksanakan pengelolaan bendungan beserta waduknya.
10. Instansi teknis keamanan bendungan adalah instansi yang bertugas membantu Menteri dalam penanganan keamanan bendungan.
11. Unit pelaksana teknis bidang keamanan bendungan adalah unit yang dibentuk untuk memberikan dukungan teknis kepada instansi teknis keamanan bendungan.
12. Pemerintah pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
13. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sumber daya air.
14. Daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung peri kehidupan manusia dan makhluk hidup lain.
15. Dokumen pengelolaan lingkungan hidup adalah dokumen yang berisi upaya pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup yang terdiri atas dokumen analisis mengenai dampak lingkungan hidup atau dokumen upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup.

Pasal 2
(1) Pengaturan bendungan dimaksudkan agar penyelenggaraan pembangunan bendungan dan pengelolaan bendungan beserta waduknya dilaksanakan secara tertib dengan memperhatikan daya dukung lingkungan hidup, kelayakan teknis, kelayakan ekonomis, kelayakan lingkungan, dan keamanan bendungan.
(2) Pembangunan bendungan dan pengelolaan bendungan beserta waduknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk meningkatkan kemanfaatan fungsi sumber daya air, pengawetan air, pengendalian daya rusak air, dan fungsi pengamanan tampungan limbah tambang (tailing) atau tampungan lumpur.

Pasal 3
(1) Ruang lingkup peraturan pemerintah ini meliputi pengaturan pembangunan bendungan dan pengelolaan bendungan beserta waduknya.
(2) Pembangunan bendungan dan pengelolaan bendungan beserta waduknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. bendungan dengan tinggi 15 (lima belas) meter atau lebih diukur dari dasar fondasi terdalam;
b. bendungan dengan tinggi 10 (sepuluh) meter sampai dengan 15 (lima belas) meter diukur dari dasar fondasi terdalam dengan ketentuan:
1. panjang puncak bendungan paling sedikit 500 (lima ratus) meter;
2. daya tampung waduk paling sedikit 500.000 (lima ratus ribu) meter kubik; atau
3. debit banjir maksimal yang diperhitungkan paling sedikit 1.000 (seribu) meter kubik per detik; atau
c. bendungan yang mempunyai kesulitan khusus pada fondasi atau bendungan yang didesain menggunakan teknologi baru dan/atau bendungan yang mempunyai kelas bahaya tinggi.

BAB II
PEMBANGUNAN BENDUNGAN

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 4
(1) Pembangunan bendungan dilakukan untuk pengelolaan sumber daya air.
(2) Bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi untuk penyediaan air baku, penyediaan air irigasi, pengendalian banjir, dan/atau pembangkit listrik tenaga air.

Pasal 5
Pembangunan bendungan untuk penampungan limbah tambang (tailing) dan penampungan lumpur mengikuti ketentuan dalam peraturan pemerintah ini.

Pasal 6
Instansi pemerintah atau badan usaha dalam melaksanakan pembangunan bendungan wajib menggunakan tenaga kerja yang memiliki keahlian dan keterampilan di bidang bendungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

Pasal 7
Pembangunan bendungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 5 meliputi tahapan:
a. persiapan pembangunan;
b. perencanaan pembangunan;
c. pelaksanaan konstruksi; dan
d. pengisian awal waduk.

Bagian Kedua
Persiapan Pembangunan

Paragraf 1
Umum

Pasal 8
(1) Pembangunan bendungan untuk pengelolaan sumber daya air disusun berdasarkan rencana pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai yang bersangkutan.
(2) Dalam hal rencana pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai yang bersangkutan belum ditetapkan, pembangunan bendungan disusun berdasarkan ketersediaan dan kebutuhan air pada wilayah sungai dan rencana tata ruang pada wilayah sungai yang bersangkutan.

Pasal 9
(1) Dalam rangka pembangunan bendungan diperlukan izin penggunaan sumber daya air.
(2) Bendungan penampung limbah tambang (tailing) yang tidak memerlukan sumber daya air dan bendungan penampung lumpur tidak memerlukan izin penggunaan sumber daya air.

Paragraf 2
Izin Penggunaan Sumber Daya Air

Pasal 10
(1) Izin penggunaan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) diberikan oleh:
a. Menteri untuk penggunaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional;
b. gubernur untuk penggunaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota; dan
c. bupati/walikota untuk penggunaan sumber daya air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota.
(2) Izin penggunaan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan berdasarkan permohonan dari Pembangun bendungan.
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis.
(4) Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi dokumen:
a. permohonan izin penggunaan sumber daya air;
b. identitas Pembangun bendungan; dan
c. izin atau persyaratan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berupa rekomendasi teknis dari unit pelaksana teknis yang membidangi sumber daya air pada wilayah sungai yang bersangkutan.

Pasal 11
(1) Berdasarkan permohonan izin penggunaan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) yang memenuhi kelengkapan persyaratan, dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak permohonan diterima, Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya harus mengeluarkan keputusan untuk memberikan izin atau menolak permohonan izin.
(2) Dalam hal permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetujui, Menteri, gubernur, atau bupati/walikota memberikan izin penggunaan sumber daya air.
(3) Dalam hal permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditolak, Menteri, gubernur, atau bupati/walikota harus menyampaikan alasan penolakan secara tertulis.

Pasal 12
(1) Izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) paling sedikit memuat:
a. identitas Pembangun bendungan;
b. lokasi penggunaan sumber daya air;
c. maksud dan tujuan pembangunan dan pengelolaan bendungan;
d. jenis dan tipe bendungan yang akan dibangun;
e. volume air dan/atau jumlah daya air;
f. rencana penggunaan sumber daya air;
g. ketentuan hak dan kewajiban; dan
h. jangka waktu berlakunya izin.
(2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h dipertimbangkan berdasarkan rencana keuangan investasi pembangunan bendungan dan pengelolaan bendungan beserta waduknya.

Pasal 13
(1) Jangka waktu izin penggunaan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf h dapat diperpanjang dengan mengajukan permohonan secara tertulis paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum jangka waktu izin berakhir.
(2) Dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun setelah mendapat izin penggunaan sumber daya air, Pembangun bendungan harus mengajukan permohonan persetujuan prinsip pembangunan.

Bagian Ketiga
Persetujuan Prinsip Pembangunan

Pasal 14
(1) Permohonan persetujuan prinsip pembangunan bendungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) diajukan oleh Pembangun bendungan kepada:
a. Menteri untuk pembangunan bendungan pada wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional;
b. gubernur untuk pembangunan bendungan pada wilayah sungai lintas kabupaten/ kota; dan
c. bupati/walikota untuk pembangunan bendungan pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota.
(2) Persetujuan prinsip pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah Pembangun bendungan memperoleh izin penggunaan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1).

Pasal 15
(1) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis.
(2) Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi dokumen:
a. permohonan persetujuan prinsip pembangunan;
b. identitas Pembangun bendungan; dan
c. izin atau persyaratan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. rekomendasi teknis dari unit pelaksana teknis yang membidangi sumber daya air pada wilayah sungai yang bersangkutan;
b. dokumen studi kelayakan; dan
c. dokumen pengelolaan lingkungan hidup.
(4) Dalam hal bendungan ditujukan untuk penampungan limbah tambang (tailing), persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditambah dengan rekomendasi teknis dari instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup dan di bidang pertambangan.

Pasal 16
(1) Berdasarkan permohonan persetujuan prinsip pembangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) yang memenuhi kelengkapan persyaratan, dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak permohonan diterima, Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya mengeluarkan keputusan untuk memberikan persetujuan atau menolak permohonan persetujuan.
(2) Penolakan permohonan persetujuan prinsip pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan secara tertulis disertai dengan alasan penolakan.
(3) Dalam hal setelah lewat jangka waktu 3 (tiga) bulan, Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya tidak mengeluarkan keputusan, permohonan dinyatakan ditolak.
(4) Permohonan persetujuan prinsip pembangunan yang ditolak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak menghilangkan kewajiban Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya untuk memberikan alasan tertulis.

Pasal 17
(1) Persetujuan prinsip pembangunan bendungan paling sedikit memuat:
a. identitas Pembangun bendungan;
b. lokasi bendungan yang akan dibangun;
c. maksud dan tujuan pembangunan bendungan;
d. jenis dan tipe bendungan yang akan dibangun;
e. ketentuan hak dan kewajiban; dan
f. jangka waktu berlakunya izin.
(2) Persetujuan prinsip pembangunan bendungan diberikan untuk jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu 5 (lima) tahun.
(3) Perpanjangan persetujuan prinsip pembangunan bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan berdasarkan rekomendasi teknis yang dikeluarkan oleh unit pelaksana teknis yang membidangi sumber daya air pada wilayah sungai yang bersangkutan.
(4) Dalam hal pembangunan bendungan dilakukan untuk penampungan limbah tambang (tailing), perpanjangan persetujuan prinsip pembangunan diberikan selain berdasarkan rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ditambah dengan rekomendasi teknis dari instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup dan di bidang pertambangan.

Pasal 18
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian persetujuan prinsip pembangunan bendungan diatur dengan peraturan Menteri.

Bagian Keempat
Perencanaan Pembangunan

Pasal 19
(1) Perencanaan pembangunan bendungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b meliputi:
a. studi kelayakan;
b. penyusunan desain; dan
c. studi pengadaan tanah.
(2) Perencanaan pembangunan bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dengan memperhatikan:
a. kondisi sumber daya air;
b. keberadaan masyarakat;
c. benda bersejarah;
d. daya dukung lingkungan hidup; dan
e. rencana tata ruang wilayah.
(3) Dalam perencanaan pembangunan bendungan harus dilakukan pertemuan konsultasi publik.
(4) Perencanaan pembangunan bendungan disusun oleh Pembangun bendungan dengan mengacu pada norma, standar, pedoman, dan manual yang ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 20
(1) Untuk perencanaan pembangunan bendungan penampung limbah tambang (tailing), kegiatan studi kelayakan dan studi pengadaan tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) huruf a dan huruf c dapat merupakan bagian dari studi kelayakan dan studi pengadaan tanah kegiatan usaha.
(2) Dalam hal studi kelayakan dan studi pengadaan tanah kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mencakup studi kelayakan dan studi pengadaan tanah untuk bendungan, harus dilakukan studi kelayakan dan studi pengadaan tanah khusus untuk bendungan.

Pasal 21
(1) Studi kelayakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) huruf a didahului dengan pra-studi kelayakan.
(2) Studi kelayakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disertai dengan studi analisis mengenai dampak lingkungan.
(3) Studi kelayakan untuk pembangunan bendungan pengelolaan sumber daya air dituangkan dalam dokumen studi kelayakan yang paling sedikit memuat:
a. analisis kondisi topografi untuk tapak rencana bendungan, jalan akses, quarry dan borrow area, penyimpanan material, tempat pembuangan galian, dan daerah genangan;
b. analisis geologi yang berkaitan dengan tapak bendungan, lokasi material bahan bendungan dan daerah genangan;
c. analisis hidrologi daerah tangkapan air;
d. analisis kependudukan di daerah tapak bendungan dan rencana genangan serta daerah penerima manfaat bendungan;
e. analisis sosial, ekonomi, dan budaya pada daerah tapak bendungan dan rencana genangan serta daerah penerima manfaat bendungan;
f. analisis kelayakan teknis, ekonomis termasuk umur layan bendungan, dan lingkungan untuk setiap alternatif rencana bendungan;
g. rencana bendungan yang paling layak dipilih;
h. pra-desain bendungan yang paling layak dipilih; dan
i. rencana penggunaan sumber daya air.
(4) Studi kelayakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dilakukan melalui kegiatan survei dan investigasi.
(5) Kegiatan survei dan investigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan untuk mengumpulkan data dan informasi mengenai topografi, kondisi geologi, hidrologi, hidroorologi, tutupan vegetasi, erositivitas, kependudukan, sosial, ekonomi, dan budaya.
(6) Kegiatan survei dan investigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan Pembangun bendungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 22
Dalam hal studi kelayakan dilakukan untuk pembangunan bendungan penampung limbah tambang (tailing) atau penampung lumpur, harus dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3) kecuali huruf i.

Pasal 23
(1) Penyusunan desain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) huruf b dilakukan melalui kegiatan survei dan investigasi.
(2) Kegiatan survei dan investigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pembangun bendungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
(3) Desain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam dokumen yang paling sedikit memuat:
a. gambar teknis rencana bendungan beserta bangunan pelengkapnya dan fasilitas yang berkaitan dengan pembangunan bendungan dan peta genangan;
b. nota desain yang meliputi kriteria yang dipergunakan dalam menyusun desain dan perhitungan gambar teknis sebagaimana dimaksud pada huruf a;
c. spesifikasi teknis yang meliputi ukuran yang harus dipenuhi untuk mencapai kualitas pekerjaan yang disyaratkan dan peralatan yang dipergunakan dalam pelaksanaan konstruksi;
d. metode pelaksanaan yang paling sedikit meliputi cara pengelakan aliran sungai, penimbunan tubuh bendungan, dan pemasangan peralatan hidromekanikal; dan
e. rencana anggaran biaya pelaksanaan konstruksi bendungan yang meliputi perhitungan volume pekerjaan dan biaya.

Pasal 24
(1) Desain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3) diajukan oleh Pembangun bendungan kepada Menteri untuk memperoleh persetujuan desain.
(2) Persetujuan desain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan Menteri setelah mendapat rekomendasi dari instansi teknis keamanan bendungan.

Pasal 25
(1) Pengajuan persetujuan desain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis.
(2) Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi dokumen:
a. permohonan persetujuan desain;
b. identitas Pembangun bendungan; dan
c. izin atau persyaratan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi dokumen:
a. gambar teknis rencana bendungan beserta bangunan pelengkapnya dan fasilitas yang berkaitan dengan pembangunan bendungan serta peta genangan;
b. nota desain yang meliputi kriteria yang dipergunakan dalam menyusun desain dan perhitungan gambar teknis sebagaimana dimaksud pada huruf a;
c. spesifikasi teknis yang meliputi ukuran yang harus dipenuhi untuk mencapai kualitas pekerjaan yang disyaratkan dan peralatan yang dipergunakan dalam pelaksanaan konstruksi;
d. metode pelaksanaan yang paling sedikit meliputi cara pengelakan aliran sungai, penimbunan tubuh bendungan, dan pemasangan peralatan hidromekanikal; dan
e. rencana anggaran biaya pelaksanaan konstruksi bendungan yang meliputi perhitungan volume pekerjaan dan biaya.
(4) Dalam surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, harus dijelaskan maksud dan tujuan pembangunan bendungan.

Pasal 26
(1) Studi pengadaan tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) huruf c dituangkan dalam dokumen studi pengadaan tanah yang paling sedikit memuat:
a. lokasi tanah yang diperlukan;
b. peta dan luasan tanah;
c. status dan kondisi tanah; dan
d. rencana pembiayaan.
(2) Dalam hal pembangunan bendungan memerlukan lahan pada kawasan permukiman, perencanaan pembangunan bendungan perlu dilengkapi dengan studi pemukiman kembali penduduk.

Pasal 27
Studi pemukiman kembali penduduk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) paling sedikit memuat:
a. data jumlah penduduk yang akan dimukimkan kembali;
b. kondisi sosial, ekonomi, dan budaya penduduk yang akan dimukimkan kembali;
c. kondisi lokasi rencana pemukiman kembali penduduk;
d. kondisi sosial, ekonomi, dan budaya penduduk sekitar lokasi rencana pemukiman kembali;
e. rencana tindak;
f. rencana pembiayaan; dan
g. pemberian ganti rugi berupa uang dan/atau tanah pengganti.

Pasal 28
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan studi kelayakan, desain, studi pengadaan tanah, dan studi pemukiman kembali penduduk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 sampai dengan Pasal 27 diatur dengan peraturan Menteri.

Bagian Kelima
Pelaksanaan Konstruksi

Pasal 29
(1) Pelaksanaan konstruksi bendungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf c wajib dilakukan berdasarkan izin pelaksanaan konstruksi yang diberikan oleh Menteri.
(2) Izin pelaksanaan konstruksi bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan berdasarkan permohonan yang diajukan oleh Pembangun bendungan.
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis.

Pasal 30
(1) Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3) meliputi dokumen:
a. permohonan izin pelaksanaan konstruksi;
b. identitas Pembangun bendungan; dan
c. izin atau persyaratan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3) meliputi dokumen:
a. desain bendungan yang telah mendapat persetujuan;
b. studi pengadaan tanah; dan
c. pengelolaan lingkungan hidup.

Pasal 31
(1) Berdasarkan permohonan izin pelaksanaan konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) yang memenuhi kelengkapan persyaratan, dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak permohonan diterima, Menteri memberikan izin atau menolak permohonan izin.
(2) Penolakan permohonan izin pelaksanaan konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan secara tertulis disertai dengan alasan penolakan.

Pasal 32
Izin pelaksanaan konstruksi untuk bendungan penampung limbah tambang (tailing) diberikan oleh Menteri setelah adanya rekomendasi teknis dari instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup dan di bidang pertambangan.

Pasal 33
Izin pelaksanaan konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) dan Pasal 32 paling sedikit memuat:
a. identitas Pembangun bendungan;
b. lokasi bendungan yang akan dibangun;
c. maksud dan tujuan pembangunan bendungan;
d. jenis dan tipe bendungan yang akan dibangun;
e. gambar dan spesifikasi teknis;
f. jadwal pelaksanaan konstruksi;
g. metode pelaksanaan konstruksi;
h. ketentuan hak dan kewajiban; dan
i. jangka waktu berlakunya izin.

Pasal 34
(1) Dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak diterbitkannya izin pelaksanaan konstruksi, Pembangun bendungan wajib melakukan pelaksanaan konstruksi sesuai dengan jadwal pelaksanaan konstruksi.
(2) Dalam hal terjadi keadaan tertentu yang mengakibatkan penyelesaian konstruksi tidak dapat dipenuhi sesuai dengan jadwal pelaksanaan konstruksi, pemberi izin dapat memberikan perpanjangan waktu pelaksanaan konstruksi.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian izin pelaksanaan konstruksi bendungan diatur dengan peraturan Menteri.

Pasal 35
(1) Berdasarkan izin pelaksanaan konstruksi dilakukan pelaksanaan konstruksi.
(2) Pelaksanaan konstruksi dimulai dengan persiapan pelaksanaan konstruksi yang meliputi:
a. pengadaan tanah; dan
b. mobilisasi sumber daya.
(3) Pengadaan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan oleh Pembangun bendungan sesuai dengan hasil studi pengadaan tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dan dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Mobilisasi sumber daya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b meliputi penyediaan tenaga kerja, peralatan, dan fasilitas pendukung.
(5) Mobilisasi sumber daya sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 36
(1) Pelaksanaan konstruksi bendungan dilakukan sesuai dengan desain bendungan yang telah mendapat persetujuan desain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2).
(2) Pelaksanaan konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mengutamakan teknologi dengan memanfaatkan sumber daya lokal.
(3) Dalam pelaksanaan konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan rencana pemantauan lingkungan dan rencana pengelolaan lingkungan.

Pasal 37
(1) Dalam hal bendungan dibangun untuk penampungan limbah tambang (tailing), pelaksanaan konstruksinya dapat dilakukan dengan cara:
a. sekaligus dengan menyelesaikan konstruksi bendungan terlebih dahulu kemudian diikuti penempatan awal limbah tambang (tailing); atau
b. bertahap yang setiap tahapnya diikuti dengan penempatan limbah tambang (tailing).
(2) Pemeriksaan dan evaluasi dalam pelaksanaan konstruksi secara bertahap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b harus dilakukan pada setiap tahap oleh Pembangun bendungan.
(3) Hasil pemeriksaan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan oleh Pembangun bendungan kepada instansi teknis keamanan bendungan untuk mendapatkan rekomendasi.
(4) Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan persyaratan untuk dapat melanjutkan pelaksanaan konstruksi bendungan tahap berikutnya.

Pasal 38
(1) Selama pelaksanaan konstruksi, Pembangun bendungan harus melakukan kegiatan:
a. pembersihan lahan genangan;
b. pemindahan penduduk dan/atau pemukiman kembali penduduk;
c. penyelamatan benda bersejarah; dan/atau
d. pemindahan satwa liar yang dilindungi dari daerah genangan.
(2) Tata cara pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Untuk pelaksanaan kegiatan pemindahan penduduk dan/atau pemukiman kembali penduduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b harus diperhatikan pula hasil studi pemukiman kembali penduduk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2).
(4) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus selesai sebelum pengisian awal waduk.

Pasal 39
Pelaksanaan konstruksi bendungan dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 40
(1) Selama pelaksanaan konstruksi, Pembangun bendungan harus menyiapkan dokumen:
a. rencana pengisian awal waduk;
b. rencana pengelolaan bendungan;
c. rencana pembentukan unit pengelola bendungan; dan
d. rencana tindak darurat.
(2) Pada akhir pelaksanaan konstruksi, Pembangun bendungan harus membuat laporan akhir pelaksanaan konstruksi bendungan.

Pasal 41
(1) Dalam hal bendungan dibangun untuk penampungan limbah tambang (tailing), Pembangun bendungan harus menyiapkan dokumen:
a. rencana penempatan awal limbah tambang (tailing) atau rencana penempatan bertahap;
b. pedoman pemeliharaan bendungan dan pola pengisian limbah tambang (tailing) serta pengeluaran air;
c. rencana pembentukan unit pengelola bendungan; dan
d. rencana tindak darurat.
(2) Pembangun bendungan harus membuat laporan akhir atau laporan bertahap pelaksanaan konstruksi bendungan penampung limbah tambang (tailing).

Pasal 42
Rencana pengisian awal waduk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) huruf a memuat:
a. rencana pelaksanaan pengisian awal;
b. rencana pemantauan selama pengisian awal;
c. rencana pengawasan; dan
d. rencana pengendalian.

Pasal 43
(1) Rencana pengelolaan bendungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) huruf b ditujukan sebagai acuan dalam pelaksanaan operasi dan pemeliharaan bendungan beserta waduknya.
(2) Pembangunan bendungan yang ditujukan untuk pengelolaan sumber daya air, rencana pengelolaan bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi konservasi sumber daya air pada waduk, pendayagunaan, dan pengendalian daya rusak air.
(3) Perencanaan untuk pengendalian daya rusak air sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun secara terpadu dan menyeluruh berdasarkan rencana pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai yang bersangkutan oleh Pembangun bendungan.
(4) Perencanaan pengendalian daya rusak air harus diselaraskan dengan sistem peringatan dini di wilayah sungai yang bersangkutan.
(5) Dalam hal pembangunan bendungan ditujukan untuk penampungan limbah tambang (tailing), rencana pengelolaan bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan pula sebagai acuan untuk pelaksanaan penempatan limbah tambang (tailing), dan pengeluaran air.

Pasal 44
(1) Rencana pengelolaan bendungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) huruf b memuat pedoman operasi dan pemeliharaan bendungan beserta waduknya.
(2) Pedoman operasi dan pemeliharaan bendungan beserta waduknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat tata cara pengoperasian fasilitas bendungan dan pemeliharaan bendungan beserta waduknya.
(3) Pedoman operasi dan pemeliharaan bendungan beserta waduknya dapat ditinjau dan dievaluasi paling sedikit 1 (satu) kali dalam waktu 5 (lima) tahun.
(4) Hasil peninjauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menjadi dasar penyempurnaan pedoman operasi dan pemeliharaan bendungan beserta waduknya.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan pedoman operasi dan pemeliharaan bendungan beserta waduknya diatur dengan peraturan Menteri.

Pasal 45
(1) Dalam hal rencana pengelolaan bendungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) diperuntukkan bagi bendungan pengelolaan sumber daya air, rencana pengelolaan bendungan dilengkapi dengan pola operasi waduk.
(2) Pola operasi waduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. pola operasi tahun kering;
b. pola operasi tahun normal; dan
c. pola operasi tahun basah.
(3) Pola operasi waduk ditetapkan oleh Pengelola bendungan setiap tahun berdasarkan hasil prakiraan curah hujan dari lembaga pemerintah non-kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang meteorologi.
(4) Pola operasi waduk paling sedikit memuat tata cara pengeluaran air dari waduk sesuai dengan kondisi volume dan/atau elevasi air waduk dan kebutuhan air serta kapasitas sungai di hilir bendungan.
(5) Pola operasi waduk harus ditinjau kembali dan dievaluasi paling sedikit 1 (satu) kali dalam waktu 5 (lima) tahun.
(6) Hasil peninjauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) menjadi dasar perubahan pola operasi waduk.

Pasal 46
(1) Dalam rencana pengelolaan bendungan yang diperuntukkan bagi penampungan limbah tambang (tailing) atau penampungan lumpur tidak diperlukan pola operasi waduk.
(2) Tata cara pengeluaran air dari waduk bagi bendungan yang ditujukan untuk penampungan limbah tambang (tailing) atau penampungan lumpur, pengeluaran air dari waduk didasarkan atas kondisi volume dan/atau elevasi air waduk.

Pasal 47
(1) Dalam penyusunan rencana pengelolaan bendungan harus dilakukan pertemuan konsultasi publik.
(2) Rencana pengelolaan bendungan dan hasil pertemuan konsultasi publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibahas dalam wadah koordinasi pengelolaan sumber daya air di wilayah sungai bersangkutan untuk mendapatkan pertimbangan.
(3) Rencana pengelolaan bendungan yang telah mendapatkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
(4) Dalam hal wadah koordinasi pengelolaan sumber daya air wilayah sungai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak atau belum terbentuk, rencana pengelolaan bendungan dapat langsung ditetapkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.

Pasal 48
Untuk bendungan penampung limbah tambang (tailing), rencana pengelolaan bendungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) huruf b ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup setelah mendapat rekomendasi dari instansi teknis keamanan bendungan dan instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertambangan.

Pasal 49
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan rencana pengelolaan bendungan diatur dengan peraturan Menteri.

Pasal 50
(1) Rencana pembentukan unit pengelola bendungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) huruf c dan Pasal 41 ayat (1) huruf c paling sedikit memuat:
a. susunan organisasi;
b. uraian tugas;
c. kebutuhan sumber daya manusia; dan
d. sumber pendanaan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan unit pengelola bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Menteri

Pasal 51
(1) Rencana tindak darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) huruf d dan Pasal 41 ayat (1) huruf d digunakan untuk melakukan tindakan yang diperlukan apabila terdapat gejala kegagalan bendungan atau terjadi kegagalan bendungan.
(2) Rencana tindak darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun berdasarkan konsepsi keamanan bendungan dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Tindakan yang diperlukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian dari penyelenggaraan keamanan bendungan.

Pasal 52
(1) Rencana tindak darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) disusun oleh Pembangun bendungan dengan mengikutsertakan instansi teknis dan unsure masyarakat yang terpengaruh terhadap potensi kegagalan bendungan.
(2) Rencana tindak darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat tindakan:
a. pengamanan bendungan; dan
b. penyelamatan masyarakat serta lingkungan.
(3) Rencana tindak darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilengkapi dengan analisis keruntuhan bendungan.

Pasal 53
(1) Rencana tindak darurat yang telah disusun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) dikonsultasikan kepada bupati/walikota dan gubernur yang wilayahnya terpengaruh potensi kegagalan bendungan.
(2) Dalam hal pengaruh potensi kegagalan bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi wilayah sungai lintas negara, rencana tindak darurat dikonsultasikan kepada bupati/walikota dan gubernur yang wilayahnya terpengaruh potensi kegagalan bendungan serta Menteri.

Pasal 54
(1) Rencana tindak darurat hasil konsultasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 diajukan oleh Pembangun bendungan kepada Pemilik bendungan untuk ditetapkan.
(2) Rencana tindak darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan untuk setiap bendungan.

Pasal 55
(1) Dalam hal pada satu daerah aliran sungai terdapat lebih dari satu bendungan, rencana tindak darurat untuk setiap bendungan harus merupakan satu kesatuan rencana tindak darurat.
(2) Apabila suatu bendungan dibangun pada daerah aliran sungai yang sudah terdapat bendungan, penyusunan rencana tindak darurat untuk bendungan yang dibangun, selain mengikutsertakan instansi teknis dan unsur masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) harus mengikutsertakan Pengelola bendungan yang sudah ada.
(3) Rencana tindak darurat untuk bendungan yang sudah ada sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus disesuaikan agar menjadi satu kesatuan dengan rencana tindak darurat bendungan lainnya.
(4) Apabila pada satu daerah aliran sungai dibangun lebih dari satu bendungan dalam waktu bersamaan, penyusunan rencana tindak darurat dilakukan secara terkoordinasi antarpara Pembangun bendungan sehingga rencana tindak darurat setiap bendungan menjadi satu kesatuan rencana tindak darurat.

Pasal 56
(1) Tindakan pengamanan bendungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) huruf a dilakukan dengan cara:
a. memberitahukan kepada pihak terkait dengan bendungan;
b. mengoperasikan peralatan hidro-elektro mekanikal bendungan; dan
c. melakukan upaya pencegahan keruntuhan bendungan.
(2) Tindakan pengamanan bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pengelola bendungan.
(3) Tindakan penyelamatan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) huruf b dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

Pasal 57
Rencana tindak darurat yang telah ditetapkan harus disosialisasikan oleh Pembangun bendungan kepada masyarakat yang terpengaruh potensi kegagalan bendungan serta pemerintah provinsi dan kabupaten/kota yang wilayahnya terpengaruh potensi kegagalan bendungan.


Pasal 58
(1) Pengelola bendungan harus meninjau kembali rencana tindak darurat apabila terjadi perkembangan kondisi sumber daya air, lingkungan, dan perkembangan keadaan sosial di hilir bendungan.
(2) Berdasarkan hasil peninjauan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1), rencana tindak darurat diajukan oleh Pengelola bendungan kepada Pemilik bendungan untuk ditetapkan.

Pasal 59
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan rencana tindak darurat diatur dengan peraturan Menteri.

Bagian Keenam
Pengisian Awal Waduk

Pasal 60
(1) Pengisian awal waduk dilakukan setelah pelaksanaan konstruksi bendungan selesai.
(2) Pengisian awal waduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan berdasarkan izin pengisian awal waduk.
(3) Permohonan izin pengisian awal waduk diajukan oleh Pembangun bendungan kepada Menteri dan tembusannya disampaikan kepada instansi teknis keamanan bendungan.
(4) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis.
(5) Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi dokumen:
a. permohonan izin pengisian awal waduk;
b. identitas Pembangun bendungan;
c. rencana pembentukan unit pengelola bendungan; dan
d. izin atau persyaratan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(6) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berupa:
a. laporan akhir pelaksanaan konstruksi;
b. rencana pengisian awal waduk;
c. rencana pengelolaan bendungan; dan
d. rencana tindak darurat.
(7) Dalam hal Pemilik bendungan merupakan badan usaha, persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditambah dengan penyediaan dana amanah untuk biaya pengelolaan pasca penghapusan fungsi bendungan.

Pasal 61
(1) Instansi teknis keamanan bendungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (3) melakukan penilaian terhadap persyaratan teknis berupa dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (6).
(2) Hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan dalam bentuk rekomendasi kepada Menteri paling lama 3 (tiga) bulan sejak tembusan permohonan diterima.

Pasal 62
Berdasarkan rekomendasi dari instansi teknis keamanan bendungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (2), dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari, Menteri memberikan izin pengisian awal waduk.
Pasal 63
(1) Izin pengisian awal waduk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 paling sedikit memuat:
a. identitas Pembangun bendungan;
b. lokasi bendungan yang dibangun;
c. jenis dan tipe bendungan yang dibangun;
d. rencana pengisian awal waduk;
e. ketentuan hak dan kewajiban; dan
f. data izin penggunaan sumber daya air.
(2) Dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak diterbitkannyaizin pengisian awal waduk, Pembangun bendungan wajib melaksanakan pengisian awal waduk sesuai dengan rencana pengisian awal waduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d.

Pasal 64
(1) Berdasarkan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, Pembangun bendungan melakukan pengisian awal waduk.
(2) Dalam waktu paling lambat 10 (sepuluh) hari sebelum dilakukan pengisian awal waduk, Pembangun bendungan memberitahukan tanggal pelaksanaan pengisian awal waduk kepada gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.

Pasal 65
(1) Untuk bendungan penampung limbah tambang (tailing), izin penempatan awal limbah tambang (tailing) diberikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup setelah mendapat rekomendasi dari instansi teknis keamanan bendungan dan instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertambangan.
(2) Dalam hal bendungan penampung limbah tambang (tailing) tidak memerlukan sumber daya air, izin penempatan awal limbah tambang (tailing) tidak memuat izin penggunaan sumber daya air.

Pasal 66
(1) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian izin pengisian awal waduk dan izin penempatan awal limbah tambang (tailing) diatur dengan peraturan Menteri.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai dana amanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (7) diatur dengan peraturan Menteri setelah berkoordinasi dengan Menteri Keuangan.

Pasal 67
(1) Pengisian awal waduk dilaksanakan sesuai dengan rencana pelaksanaan pengisian awal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 huruf a.
(2) Sebelum pelaksanaan pengisian awal waduk dimulai, Pembangun bendungan harus memberi tahu masyarakat sekitar daerah genangan waduk dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari.
(3) Selama pengisian awal waduk, Pembangun bendungan harus melakukan pemantauan, pengawasan, dan pengendalian sesuai dengan rencana pengisian awal waduk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pengisian awal waduk diatur dengan peraturan Menteri.

Bagian Ketujuh
Kerja Sama Pembangunan Bendungan

Pasal 68
(1) Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota dapat melakukan kerja sama pembangunan bendungan.
(2) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan kepentingan provinsi dan/atau kabupaten/kota dalam wilayah sungai yang bersangkutan.

Pasal 69
(1) Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota dapat melakukan kerja sama pembangunan bendungan dengan badan usaha.
(2) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam perjanjian kerja sama pembangunan bendungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 70
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara kerja sama pembangunan bendungan diatur dengan peraturan Menteri.

Bagian Kedelapan
Pembangunan Bendungan Lain

Pasal 71
(1) Pembangunan bendungan selain bendungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dilakukan sesuai dengan tahapan pembangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.
(2) Pembangunan bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilaporkan oleh Pembangun bendungan kepada Menteri.
(3) Ketentuan mengenai persyaratan teknis, tata cara perizinan, persetujuan, dan pelaporan dalam pembangunan bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Menteri.

BAB III
PENGELOLAAN BENDUNGAN

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 72
(1) Pengelolaan bendungan beserta waduknya untuk pengelolaan sumber daya air ditujukan untuk menjamin:
a. kelestarian fungsi dan manfaat bendungan beserta waduknya;
b. efektivitas dan efisiensi pemanfaatan air; dan
c. keamanan bendungan.
(2) Pengelolaan bendungan beserta waduknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan memperhatikan keseimbangan ekosistem dan daya dukung lingkungan hidup.

Pasal 73
Pengelolaan bendungan untuk penampungan limbah tambang (tailing) dan penampungan lumpur mengikuti ketentuan dalam peraturan pemerintah ini.

Pasal 74
(1) Pengelolaan bendungan beserta waduknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 dan Pasal 73 dapat berupa tahapan:
a. operasi dan pemeliharaan;
b. perubahan atau rehabilitasi; dan
c. penghapusan fungsi bendungan.
(2) Pengelolaan bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan melalui kegiatan:
a. pelaksanaan rencana pengelolaan;
b. operasi dan pemeliharaan;
c. konservasi sumber daya air pada waduk;
d. pendayagunaan waduk;
e. pengendalian daya rusak air melalui pengendalian bendungan beserta waduknya; dan
f. penghapusan fungsi bendungan.
(3) Kegiatan pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan pada bendungan beserta waduknya termasuk daerah sempadan waduk.

Pasal 75
(1) Pengelolaan bendungan beserta waduknya menjadi tanggung jawab Pemilik bendungan.
(2) Dalam hal Pemerintah sebagai Pemilik bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam pengelolaan bendungan beserta waduknya, Menteri menunjuk unit pelaksana teknis yang membidangi sumber daya air atau badan usaha milik negara sebagai Pengelola bendungan.
(3) Pengelola bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dalam melaksanakan pengelolaan bendungan beserta waduknya, dibantu oleh unit pengelola bendungan.
(4) Unit pengelola bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh Menteri.
(5) Dalam hal Pengelola bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan badan usaha milik negara, penetapan unit pengelola bendungan dilakukan oleh direksi badan usaha milik negara.

Pasal 76
(1) Dalam hal pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten/kota sebagai Pemilik bendungan, untuk pengelolaan bendungan beserta waduknya, gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya menunjuk unit pelaksana teknis daerah yang membidangi sumber daya air atau badan usaha milik daerah sebagai Pengelola bendungan.
(2) Pengelola bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam melaksanakan pengelolaan bendungan beserta waduknya, dibantu oleh unit pengelola bendungan.
(3) Unit pengelola bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh gubernur atau bupati/walikota.

Pasal 77
(1) Dalam hal badan usaha sebagai Pemilik bendungan, untuk pengelolaan bendungan beserta waduknya, Pemilik bendungan menetapkan Pengelola bendungan dan unit pengelola bendungan.
(2) Pemilik bendungan bertanggung jawab terhadap pengelolaan bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 78
(1) Pemilik bendungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) yang menghentikan pengelolaan bendungan beserta waduknya harus menyerahkan pengelolaan bendungan beserta waduknya kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
(2) Dalam hal Pemilik bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menyerahkan pengelolaan sampai dengan 6 (enam) bulan terhitung sejak pengelolaan bendungan dihentikan, Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya mengambil alih pengelolaan bendungan.
(3) Pemilik bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus menyediakan biaya pengelolaan bendungan sampai dengan berakhirnya umur layan bendungan.
(4) Jumlah biaya pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dan berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
(5) Dalam hal sampai dengan berakhirnya umur layan bendungan, Pemilik bendungan tidak menyediakan biaya pengelolaan, bendungan beserta waduknya diambil alih oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 79
(1) Unit pengelola bendungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2), Pasal 76 ayat (2), dan Pasal 77 ayat (1) mempunyai tugas untuk melaksanakan pengelolaan bendungan beserta waduknya.
(2) Unit pengelola bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh kepala unit pengelola bendungan.
(3) Kepala unit pengelola bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi persyaratan:
a. memiliki sertifikat keahlian bidang bendungan yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
b. memiliki kompetensi dalam pengelolaan bendungan beserta waduknya.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan prosedur pembentukan unit pengelola bendungan diatur dengan peraturan Menteri.

Bagian Kedua
Pelaksanaan Rencana Pengelolaan Bendungan

Pasal 80
Pelaksanaan rencana pengelolaan bendungan dilakukan sesuai dengan rencana pengelolaan bendungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) huruf b.

Pasal 81
(1) Pelaksanaan rencana pengelolaan bendungan dilakukan dengan memperhatikan kondisi sumber daya air dan lingkungan hidup.
(2) Dalam hal bendungan untuk pengelolaan sumber daya air, pelaksanaan rencana pengelolaan bendungan didasarkan pada:
a. ketersediaan sumber daya air;
b. kebutuhan air;
c. pengendalian banjir; dan/atau
d. kebutuhan daya air.
(3) Dalam hal bendungan untuk penampungan limbah tambang (tailing) atau penampungan lumpur, pelaksanaan rencana pengelolaan bendungan didasarkan pada:
a. jenis limbah tambang (tailing) atau jenis lumpur; dan
b. volume limbah tambang (tailing) atau volume lumpur per satuan waktu.

Bagian Ketiga
Operasi dan Pemeliharaan

Pasal 82
(1) Operasi dan pemeliharaan bendungan beserta waduknya terdiri atas:
a. operasi dan pemeliharaan bendungan; dan
b. pemeliharaan waduk.
(2) Dokumen laporan akhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) dipergunakan sebagai salah satu acuan dalam pelaksanaan operasi dan pemeliharaan bendungan.
(3) Dalam hal bendungan untuk penampungan limbah tambang (tailing), dokumen laporan akhir atau laporan bertahap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2) digunakan sebagai salah satu acuan dalam pelaksanaan operasi dan pemeliharaan bendungan.

Pasal 83
(1) Pelaksanaan operasi bendungan wajib dilakukan berdasarkan izin operasi bendungan yang dikeluarkan oleh Menteri.
(2) Izin operasi bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan berdasarkan permohonan yang diajukan oleh Pengelola bendungan.
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis.
(4) Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi dokumen:
a. permohonan izin operasi bendungan;
b. identitas Pengelola bendungan;
c. keputusan pembentukan unit pengelola bendungan; dan
d. izin atau persyaratan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berupa:
a. data teknis bendungan;
b. laporan pengisian awal waduk;
c. laporan analisis perilaku bendungan;
d. pedoman operasi dan pemeliharaan bendungan beserta waduknya; dan
e. laporan kejadian khusus selama pengisian awal waduk.

Pasal 84
(1) Menteri melakukan penilaian terhadap permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (2).
(2) Menteri dalam melakukan penilaian terhadap substansi persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menunjuk instansi teknis keamanan bendungan untuk melakukan penilaian dan memberikan rekomendasi.
(3) Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan.
(4) Dalam hal berdasarkan hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), persyaratan teknis pengoperasian bendungan belum dipenuhi, Pengelola bendungan harus memperbaiki persyaratan teknis pengoperasian dan menyampaikan kembali perbaikan persyaratan teknis kepada Menteri dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak permohonan izin dikembalikan kepada Pengelola bendungan.
(5) Dalam hal dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau dokumen perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) telah memenuhi persyaratan teknis, Menteri memberikan izin operasi bendungan.

Pasal 85
Izin operasi bendungan paling sedikit memuat:
a. identitas Pengelola bendungan;
b. lokasi bendungan yang dibangun;
c. maksud dan tujuan pembangunan bendungan;
d. jenis dan tipe bendungan yang dibangun;
e. rencana operasi dan pemeliharaan bendungan beserta waduknya; dan
f. ketentuan hak dan kewajiban.

Pasal 86
Dalam hal bendungan untuk penampungan limbah tambang (tailing), izin operasi bendungan diberikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup setelah mendapat rekomendasi dari instansi teknis keamanan bendungan dan instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertambangan.

Pasal 87
(1) Operasi dan pemeliharaan bendungan beserta waduknya dilakukan sesuai dengan rencana pengelolaan bendungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) huruf b.
(2) Operasi dan pemeliharaan bendungan beserta waduknya ditujukan untuk memfungsikan dan merawat bendungan beserta waduknya termasuk memantau perilaku bendungan dan volume waduk agar terjaga keamanan dan fungsinya.
(3) Untuk bendungan pengelolaan sumber daya air, pemantauan volume waduk sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan pengukuran sedimentasi waduk.
(4) Pengukuran sedimentasi waduk sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun.

Pasal 88
(1) Operasi dan pemeliharaan bendungan beserta waduknya harus dilakukan setiap saat.
(2) Dalam hal terjadi situasi luar biasa, operasi dan pemeliharaan bendungan beserta waduknya diutamakan untuk tujuan keamanan bendungan dan keselamatan lingkungan hidup.


Pasal 89
Pelaksanaan operasi dan pemeliharaan bendungan beserta waduknya untuk bendungan pengelolaan sumber daya air harus sesuai dengan pedoman operasi dan pemeliharaan bendungan beserta waduknya serta pola operasi waduk.

Pasal 90
Pelaksanaan operasi dan pemeliharaan bendungan beserta waduknya untuk bendungan penampung limbah tambang (tailing) atau penampung lumpur harus sesuai dengan pedoman operasi dan pemeliharaan bendungan beserta waduknya dan tata cara pengeluaran air dari waduk.

Pasal 91
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian izin operasi bendungan dan pelaksanaan operasi dan pemeliharaan bendungan beserta waduknya diatur dengan peraturan Menteri.

Bagian Keempat
Konservasi Sumber Daya Air pada Waduk

Paragraf 1
Umum

Pasal 92
(1) Konservasi sumber daya air pada waduk untuk pengelolaan sumber daya air ditujukan untuk menjaga kelangsungan keberadaan, daya dukung, daya tampung, dan fungsi sumber daya air pada waduk.
(2) Untuk mencapai tujuan konservasi sumber daya air pada waduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan kegiatan:
a. perlindungan dan pelestarian waduk;
b. pengawetan air; dan
c. pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air.

Paragraf 2
Perlindungan dan Pelestarian Waduk

Pasal 93
(1) Perlindungan dan pelestarian waduk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (2) huruf a bertujuan untuk menjaga waduk agar terpelihara keberadaan, keberlanjutan serta menjaga fungsi waduk terhadap kerusakan atau gangguan yang disebabkan, baik oleh daya alam maupun tindakan manusia.
(2) Perlindungan dan pelestarian waduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan cara menetapkan dan mengelola kawasan lindung waduk, vegetatif, dan/atau rekayasa teknik sipil melalui pendekatan sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat sekitar.
(3) Perlindungan dan pelestarian waduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
a. pemeliharaan kelangsungan fungsi daerah tangkapan air;
b. pengawasan penggunaan lahan pada daerah tangkapan air;
c. pembuatan bangunan pengendali erosi dan sedimentasi;
d. pengendalian pemanfaatan ruang pada waduk;
e. pengendalian pengolahan tanah pada kawasan hulu waduk;
f. pengaturan daerah sempadan waduk; dan
g. peningkatan kesadaran, partisipasi, dan pemberdayaan pemilik kepentingan dalam pelestarian waduk dan lingkungannya.

Pasal 94
(1) Pemeliharaan kelangsungan fungsi daerah tangkapan air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (3) huruf a dilakukan pada kawasan hulu waduk.
(2) Dalam pemeliharaan kelangsungan fungsi daerah tangkapan air, Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya menetapkan:
a. kawasan yang berfungsi sebagai daerah tangkapan air;
b. norma, standar, dan prosedur pelestarian fungsi daerah tangkapan air;
c. tata cara pengelolaan kawasan daerah tangkapan air;
d. penyelenggaraan program pelestarian fungsi daerah tangkapan air; dan
e. pemberdayaan masyarakat dalam pelestarian fungsi daerah tangkapan air.
(3) Dalam hal Pemilik bendungan merupakan badan usaha, penyelenggaraan program pelestarian fungsi daerah tangkapan air dan pemberdayaan masyarakat dalam pelestarian fungsi daerah tangkapan air sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d dan huruf e dilakukan oleh Pemilik bendungan.
(4) Dalam pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemilik bendungan dapat meminta bantuan kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya untuk mengoordinasikan penyelenggaraannya.

Pasal 95
(1) Pengawasan penggunaan lahan pada daerah tangkapan air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (3) huruf b dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan yang terkait dengan bidang sumber daya air, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
(2) Dalam hal Pemilik bendungan merupakan badan usaha, pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan yang terkait dengan bidang sumber daya air, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya serta Pemilik bendungan.
(3) Dalam hal bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimiliki oleh badan usaha, Pemilik bendungan melakukan pemantauan penggunaan lahan pada daerah tangkapan air.
(4) Apabila dari hasil pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menunjukkan terjadinya perubahan penggunaan lahan pada daerah tangkapan air, Pemilik bendungan harus melaporkan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan yang terkait dengan bidang sumber daya air, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.

Pasal 96
(1) Pembuatan bangunan pengendali erosi dan sedimentasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (3) huruf c menjadi tanggung jawab Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
(2) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya menetapkan:
a. lokasi bangunan pengendali erosi dan sedimentasi;
b. pelaksanaan pembangunan pengendali erosi dan sedimentasi; dan
c. pemberdayaan masyarakat dalam rangka pembangunan pengendali erosi dan sedimentasi.
(3) Dalam hal Pemilik bendungan merupakan badan usaha, pelaksanaan pembangunan pengendali erosi dan sedimentasi serta pemberdayaan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf c dilakukan oleh Pemilik bendungan.
(4) Dalam pelaksanaan pembangunan pengendali erosi dan sedimentasi serta pemberdayaan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemilik bendungan dapat meminta bantuan kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya untuk mengoordinasikan penyelenggaraannya.

Pasal 97
(1) Pengendalian pemanfaatan ruang pada waduk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (3) huruf d meliputi daerah genangan waduk dan daerah sempadan waduk.
(2) Dalam rangka pengendalian pemanfaatan ruang pada waduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya menetapkan:
a. pemanfaatan ruang pada waduk;
b. pengelolaan ruang pada waduk; dan
c. pemberdayaan masyarakat dalam pengendalian pemanfaatan ruang pada waduk.
(3) Pemanfaatan ruang pada daerah genangan waduk hanya dapat dilakukan untuk:
a. kegiatan pariwisata;
b. kegiatan olahraga; dan/atau
c. budi daya perikanan.
(4) Pemanfaatan ruang pada daerah sempadan waduk hanya dapat dilakukan untuk:
a. kegiatan penelitian;
b. kegiatan pengembangan ilmu pengetahuan; dan/atau
c. upaya mempertahankan fungsi daerah sempadan waduk.
(5) Penggunaan ruang di daerah sempadan waduk dilakukan dengan memperhatikan:
a. fungsi waduk agar tidak terganggu oleh aktivitas yang berkembang di sekitarnya;
b. kondisi sosial, ekonomi, dan budaya setiap daerah; dan
c. daya rusak air waduk terhadap lingkungannya.
(6) Pemanfaatan ruang pada daerah genangan waduk sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan daerah sempadan waduk sebagaimana dimaksud pada ayat (4) hanya dapat dilakukan berdasarkan izin dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya setelah mendapat rekomendasi dari unit pelaksana teknis yang membidangi sumber daya air pada wilayah sungai yang bersangkutan.
(7) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya menyelenggarakan pengawasan dan pemantauan pemanfaatan ruang.
(8) Pemanfaatan ruang untuk budi daya perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c, dengan menggunakan karamba atau jaring apung harus berdasarkan hasil kajian yang dilakukan oleh Pengelola bendungan.
(9) Hasil kajian sebagaimana dimaksud pada ayat (8) paling sedikit meliputi substansi:
a. fungsi sumber air;
b. daya tampung waduk;
c. daya dukung lingkungan; dan
d. tingkat kekokohan/daya tahan struktur bendungan beserta bangunan pelengkapnya.
(10) Hasil kajian sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dan ayat (9) sebagai dasar dalam pemberian izin pemanfaatan ruang untuk budi daya perikanan dengan menggunakan karamba atau jaring apung.
(11) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara permohonan serta pengkajian pemanfaatan ruang pada waduk diatur dengan peraturan Menteri.

Pasal 98
(1) Dalam hal Pemilik bendungan merupakan badan usaha, pelaksanaan kegiatan pengembangan ilmu pengetahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (4) huruf b serta upaya mempertahankan fungsi daerah sempadan waduk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (4) huruf c dilakukan oleh Pemilik bendungan.
(2) Pelaksanaan kegiatan oleh Pemilik bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikoordinasikan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.

Pasal 99
(1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya menyelenggarakan pengendalian pengolahan tanah pada kawasan hulu waduk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (3) huruf e.
(2) Penyelenggaraan pengendalian pengolahan tanah pada kawasan hulu waduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui kegiatan:
a. pencegahan kelongsoran;
b. pengendalian laju erosi tanah;
c. pengendalian tingkat sedimentasi pada waduk; dan/atau
d. peningkatan peresapan air ke dalam tanah.
(3) Pengendalian pengolahan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan memperhatikan kaidah konservasi dan fungsi lindung sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Dalam hal Pemilik bendungan merupakan badan usaha, pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Pemilik bendungan.
(5) Pelaksanaan kegiatan oleh Pemilik bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dikoordinasikan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.

Pasal 100
(1) Pengaturan daerah sempadan waduk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (3) huruf f merupakan pengaturan kawasan perlindungan waduk.
(2) Kawasan perlindungan waduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi ruang antara garis muka air waduk tertinggi dan garis sempadan waduk.
(3) Garis sempadan waduk sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan batas luar perlindungan waduk.

Pasal 101
(1) Garis sempadan waduk ditetapkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya berdasarkan usulan dari Pengelola bendungan.
(2) Usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didasarkan pada kriteria penetapan garis sempadan waduk.
(3) Kriteria penetapan garis sempadan waduk sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
a. karakteristik waduk, dimensi waduk, morfologi waduk, dan ekologi waduk;
b. operasi dan pemeliharaan bendungan beserta waduknya; dan
c. tinggi jagaan bendungan.
(4) Ketentuan mengenai tata cara penetapan garis sempadan waduk dan pemanfaatan daerah sempadan waduk termasuk sabuk hijau waduk diatur dengan peraturan Menteri.

Pasal 102
(1) Dalam rangka mempertahankan fungsi daerah sempadan waduk, Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya menyelenggarakan pengawasan dan pemantauan pelaksanaan pengaturan daerah sempadan waduk.
(2) Dalam hal Pemilik bendungan merupakan badan usaha, penyelenggaraan pengawasan dan pemantauan pengaturan daerah sempadan waduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemilik bendungan.
(3) Penyelenggaraan oleh Pemilik bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikoordinasikan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.

Pasal 103
Untuk mempertahankan kawasan perlindungan waduk, setiap orang dilarang:
a. membuang air limbah yang tidak memenuhi baku mutu, limbah padat, dan/atau limbah cair; dan/atau
b. mendirikan bangunan dan memanfaatkan lahan yang dapat mengganggu aliran air, mengurangi kapasitas tampung waduk, atau tidak sesuai dengan peruntukannya.

Pasal 104
(1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya melakukan upaya peningkatan kesadaran, partisipasi, dan pemberdayaan pemilik kepentingan dalam pelestarian waduk dan lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (3) huruf g.
(2) Dalam hal Pemilik bendungan merupakan badan usaha, upaya peningkatan kesadaran, partisipasi, dan pemberdayaan pemilik kepentingan dalam pelestarian waduk dan lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (3) huruf g dilakukan oleh Pemilik bendungan.

Paragraf 3
Pengawetan Air

Pasal 105
(1) Pengawetan air pada waduk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (2) huruf b ditujukan untuk memelihara keberadaan dan ketersediaan air atau kuantitas air sesuai dengan fungsi dan manfaatnya.
(2) Pengawetan air pada waduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara:
a. menyimpan air yang berlebih pada waduk untuk dimanfaatkan pada waktu diperlukan;
b. menghemat air melalui pemakaian yang efisien dan efektif; dan/atau
c. mengendalikan penggunaan air pada waduk.

Paragraf 4
Pengelolaan Kualitas Air dan
Pengendalian Pencemaran Air


Pasal 106
(1) Pengelolaan kualitas air dilakukan untuk mempertahankan atau memulihkan kualitas air yang masuk dan yang berada di dalam waduk.
(2) Pengelolaan kualitas air untuk air yang masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pengelola bendungan melalui kegiatan perbaikan kualitas air.
(3) Pengelolaan kualitas air untuk air yang berada di dalam waduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pengelola bendungan melalui kegiatan:
a. pemantauan kualitas air pada waduk terkait dengan pemanfaatan air dan kesehatan lingkungan;
b. pengendalian kerusakan waduk;
c. aerasi pada waduk;
d. pemanfaatan organisme dan mikroorganisme yang dapat menyerap bahan pencemar pada waduk; dan
e. pengendalian gulma air.

Pasal 107
(1) Pengendalian pencemaran air dilakukan untuk mempertahankan kualitas air yang masuk dan yang berada di dalam waduk.
(2) Pengendalian pencemaran air untuk air yang masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pengelola bendungan melalui kegiatan pencegahan masuknya pencemar ke dalam air yang akan masuk ke waduk.
(3) Pengendalian pencemaran air untuk air yang berada di dalam waduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pengelola bendungan melalui kegiatan:
a. pencegahan masuknya pencemar ke dalam waduk; dan
b. penanggulangan pencemaran air pada waduk.

Bagian Kelima
Pendayagunaan Waduk

Pasal 108
(1) Pendayagunaan waduk untuk pengelolaan sumber daya air ditujukan untuk meningkatkan kemanfaatan sumber daya air guna kepentingan wilayah sekitar atau lingkungan waduk serta pada kawasan hilir waduk.
(2) Pendayagunaan waduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pendayagunaan ruang waduk untuk:
a. penyimpanan air; dan
b. pengendalian banjir.
(3) Pendayagunaan waduk sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui kegiatan:
a. penatagunaan waduk;
b. penyediaan air dan/atau daya air pada waduk;
c. penggunaan atau pengusahaan air dan/atau daya air pada waduk; dan
d. pengusahaan kawasan bendungan beserta waduknya.

Pasal 109
Pendayagunaan waduk untuk penampungan limbah tambang (tailing) atau penampungan lumpur ditujukan untuk penyediaan ruang waduk guna penampungan limbah tambang (tailing) atau penampungan lumpur.

Pasal 110
(1) Penatagunaan waduk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (3) huruf a dilakukan apabila terjadi perubahan ruang dalam waduk akibat adanya sedimen dan/atau pemanfaatan air waduk dan daya air waduk untuk keperluan lain.
(2) Penatagunaan waduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk menetapkan zona pemanfaatan waduk dan peruntukan air pada waduk.

Pasal 111
(1) Zona pemanfaatan waduk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 ayat (2) meliputi ruang waduk sampai dengan garis sempadan waduk sebagai fungsi lindung dan fungsi budi daya.
(2) Zona pemanfaatan waduk ditetapkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya berdasarkan usulan Pengelola bendungan.
(3) Penetapan zona sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan memperhatikan:
a. fluktuasi air yang dipengaruhi oleh musim;
b. kepentingan berbagai jenis pemanfaatan;
c. peran masyarakat sekitar waduk dan pihak lain yang berkepentingan;
d. fungsi kawasan dan fungsi waduk; dan
e. keamanan bendungan beserta bangunan pelengkap.

Pasal 112
(1) Peruntukan air pada waduk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 ayat (2) ditetapkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya berdasarkan usulan Pengelola bendungan.
(2) Penetapan peruntukan air pada waduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan:
a. daya tampung waduk;
b. perhitungan dan proyeksi aliran air masuk waduk; dan
c. kebutuhan air dan/atau daya air.

Pasal 113
(1) Penyediaan air dan/atau daya air pada waduk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (3) huruf b ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan air dan daya air sesuai tujuan pengelolaan bendungan beserta waduknya.
(2) Penyediaan air dan daya air dilaksanakan sesuai dengan pola operasi waduk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45.

Pasal 114
(1) Penggunaan atau pengusahaan air dan/atau daya air pada waduk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (3) huruf c ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan air dan/atau daya air sesuai dengan tujuan pembangunan bendungan beserta waduknya.
(2) Penggunaan atau pengusahaan air dan/atau daya air pada waduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan pedoman operasi dan pemeliharaan bendungan beserta waduknya termasuk pola operasi waduk.

Pasal 115
(1) Penggunaan atau pengusahaan air dan/atau daya air pada waduk oleh selain Pemilik atau Pengelola bendungan harus mendapat izin penggunaan sumber daya air untuk penggunaan atau pengusahaan air dan/atau daya air dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
(2) Pemberian izin penggunaan sumber daya air atau pengusahaan air dan/atau daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan ketentuan:
a. sesuai dengan zona pemanfaatan dan peruntukan air pada waduk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 ayat (2);
b. sesuai dengan rekomendasi teknis dari unit pelaksana teknis yang membidangi sumber daya air pada wilayah sungai yang bersangkutan; dan
c. menjamin keamanan dan kelestarian bendungan.
(3) Pemberian rekomendasi teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilakukan oleh unit pelaksana teknis berdasarkan pertimbangan tertulis dari Pengelola bendungan.

Pasal 116
(1) Pengusahaan kawasan bendungan beserta waduknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (3) huruf d merupakan pemanfaatan kawasan bendungan beserta waduknya.
(2) Pengusahaan kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan dengan memperhatikan fungsi sosial, daya dukung lingkungan hidup, kesehatan lingkungan, dan kelestarian fungsi lingkungan hidup.
(3) Pengusahaan kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh perseorangan atau badan usaha, atau kerja sama antar badan usaha berdasarkan persetujuan pengusahaan dari Pemilik bendungan.
(4) Dalam hal bendungan dimiliki oleh Pemerintah, pemerintah provinsi, atau pemerintah kabupaten/kota, pengusahaan kawasannya dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan permohonan pengusahaan kawasan bendungan beserta waduknya diatur dengan peraturan Menteri.

Bagian Keenam
Pengendalian Daya Rusak Air

Pasal 117
(1) Pengendalian daya rusak air melalui pengendalian bendungan beserta waduknya meliputi:
a. pengendalian terhadap keutuhan fisik dan keamanan bendungan; dan
b. pengendalian terhadap fungsi bendungan beserta waduknya.
(2) Pengendalian daya rusak air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan peringatan dini pada wilayah sungai yang bersangkutan.

Pasal 118
(1) Pengendalian daya rusak air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 ayat (1) terutama dilakukan dengan mengurangi besaran banjir agar daya rusak air terkendali.
(2) Pengendalian daya rusak air dilakukan dengan cara mengatur pembukaan dan penutupan pintu bendungan.
(3) Pembukaan pintu bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditujukan untuk mengatur pelepasan air guna pengendalian daya rusak air pada kawasan hilir.
(4) Pelepasan air sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus tetap memperhatikan keperluan pencegahan kegagalan bendungan terkait ruang waduk untuk pengendalian banjir.
(5) Pembukaan dan penutupan pintu bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan berdasarkan pedoman operasi bendungan pada bendungan yang bersangkutan.

Pasal 119
Dalam hal pelepasan air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 ayat (4) pada bendungan untuk penampungan limbah tambang (tailing), air yang akan dialirkan ke perairan umum harus memenuhi baku mutu air sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup.

Pasal 120
Pengendalian daya rusak air yang dilakukan karena terjadinya kegagalan bendungan, pelaksanaannya harus berdasarkan rencana tindak darurat dan pedoman operasi bendungan pada bendungan yang bersangkutan.

Bagian Ketujuh
Perubahan atau Rehabilitasi

Pasal 121
(1) Perubahan bendungan ditujukan untuk keamanan bendungan dan meningkatkan fungsi bendungan.
(2) Perubahan bendungan dilakukan dengan cara melakukan perubahan struktur bendungan.
(3) Dalam hal diperlukan perubahan bendungan untuk tindakan pengamanan bendungan, Pengelola bendungan wajib melakukan perubahan struktur bendungan.
(4) Dalam hal diperlukan peningkatan fungsi bendungan, Pengelola bendungan dapat melakukan perubahan struktur bendungan.

Pasal 122
(1) Dalam melakukan perubahan struktur bendungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 ayat (2), Pengelola bendungan harus terlebih dahulu memperoleh persetujuan desain perubahan bendungan dari Menteri.
(2) Persetujuan desain perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan berdasarkan permohonan dari Pengelola bendungan dan rekomendasi dari instansi teknis keamanan bendungan.

Pasal 123
(1) Rehabilitasi bendungan merupakan tindakan perbaikan yang meliputi perekayasaan, pelaksanaan perbaikan, dan uji perilaku bendungan yang mengalami kerusakan.
(2) Dalam hal diperlukan tindakan pengamanan bendungan, Pengelola bendungan wajib melakukan rehabilitasi bendungan.
(3) Dalam melakukan rehabilitasi bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pengelola bendungan harus terlebih dahulu memperoleh persetujuan desain rehabilitasi dari Menteri.
(4) Persetujuan desain rehabilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan berdasarkan permohonan dari Pengelola bendungan dan rekomendasi dari instansi teknis keamanan bendungan.

Pasal 124
(1) Pelaksanaan perubahan bendungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 dan pelaksanaan rehabilitasi bendungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 dilakukan setelah memperoleh izin perubahan atau izin rehabilitasi bendungan dari Menteri.
(2) Izin perubahan atau izin rehabilitasi bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan berdasarkan permohonan dari Pengelola bendungan.
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis.
(4) Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi dokumen:
a. surat permohonan izin perubahan atau izin rehabilitasi bendungan;
b. identitas Pengelola bendungan; dan
c. izin atau persyaratan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa dokumen:
a. persetujuan desain perubahan bendungan atau persetujuan desain rehabilitasi bendungan; dan
b. dokumen pengelolaan lingkungan hidup.
(6) Berdasarkan permohonan izin perubahan atau rehabilitasi bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri memberikan izin atau menolak permohonan izin dalam jangka waktu paling lambat 6 (enam) bulan sejak dokumen persyaratan lengkap.
(7) Penolakan permohonan izin perubahan atau izin rehabilitasi bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) harus disampaikan secara tertulis disertai dengan alasan penolakan.

Pasal 125
Izin perubahan atau izin rehabilitasi bendungan untuk bendungan penampung limbah tambang (tailing), diberikan oleh Menteri berdasarkan rekomendasi teknis dari instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup dan di bidang pertambangan.

Pasal 126
(1) Izin perubahan atau izin rehabilitasi bendungan paling sedikit memuat:
a. identitas Pengelola bendungan;
b. lokasi bendungan yang akan dilakukan perubahan atau rehabilitasi bendungan;
c. jenis dan tipe bendungan yang akan dilakukan perubahan atau rehabilitasi bendungan;
d. gambar dan spesifikasi teknis;
e. jadwal pelaksanaan perubahan atau rehabilitasi bendungan;
f. metode pelaksanaan perubahan atau rehabilitasi bendungan;
g. ketentuan hak dan kewajiban; dan
h. jangka waktu berlakunya izin.
(2) Dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak diterbitkannya izin perubahan atau izin rehabilitasi bendungan, Pengelola bendungan wajib melaksanakan perubahan atau rehabilitasi bendungan sesuai dengan jadwal pelaksanaan perubahan atau rehabilitasi bendungan.
(3) Dalam hal terjadi keadaan tertentu yang mengakibatkan perubahan atau rehabilitasi bendungan tidak dapat dipenuhi sesuai dengan jadwal pelaksanaan perubahan atau rehabilitasi bendungan, pemberi izin dapat memberikan perpanjangan waktu izin perubahan atau izin rehabilitasi bendungan.

Pasal 127
Pelaksanaan perubahan atau rehabilitasi bendungan dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

Pasal 128
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perubahan atau rehabilitasi bendungan dan pemberian izin perubahan atau izin rehabilitasi bendungan diatur dengan peraturan Menteri.

Bagian Kedelapan
Penghapusan Fungsi Bendungan

Pasal 129
(1) Bendungan yang tidak mempunyai manfaat lagi atau terjadi kegagalan bendungan yang mengancam keselamatan masyarakat, Pemilik bendungan wajib melakukan penghapusan fungsi bendungan.
(2) Penghapusan fungsi bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara membongkar bendungan oleh Pemilik bendungan.
(3) Dalam hal Pemilik bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak melaksanakan pembongkaran bendungan, pembongkaran bendungan dilakukan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
(4) Biaya untuk pelaksanaan pembongkaran bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menjadi tanggung jawab Pemilik bendungan.

Pasal 130
(1) Dalam hal pembongkaran bendungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129 ayat (2) dapat menimbulkan bahaya terhadap keamanan dan kelestarian fungsi lingkungan, baik di sekitar kawasan bendungan maupun hilir bendungan, Pemilik bendungan wajib mempertahankan fisik bendungan.
(2) Dalam mempertahankan fisik bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemilik bendungan wajib menjaga, memelihara, dan mempertahankan keamanan bendungan serta lingkungannya.

Pasal 131
(1) Penghapusan fungsi bendungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129 ayat (2) dan Pasal 130 ayat (1) dilakukan berdasarkan izin penghapusan fungsi bendungan dari Menteri.
(2) Izin penghapusan fungsi bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan berdasarkan rekomendasi dari instansi teknis keamanan bendungan dan instansi terkait lainnya.

Pasal 132
(1) Dalam hal fungsi bendungan telah dihapus, Pemilik bendungan bertanggung jawab terhadap bahaya yang ditimbulkan akibat penghapusan fungsi bendungan.
(2) Dalam pelaksanaan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemilik bendungan wajib menyelenggaraan pengelolaan pasca penghapusan fungsi bendungan.

Pasal 133
Dalam hal bendungan yang dihapus fungsinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129 ayat (2) dan Pasal 130 ayat (1) merupakan barang milik negara/daerah, penghapusannya dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

Pasal 134
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penghapusan fungsi bendungan, tata cara pemberian izin penghapusan fungsi bendungan, dan pengelolaan pasca penghapusan fungsi bendungan diatur dengan peraturan Menteri.

Bagian Kesembilan
Kerja Sama Pengelolaan Bendungan

Pasal 135
(1) Dalam pengelolaan bendungan beserta waduknya, Pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, dan badan usaha dapat melakukan kerja sama.
(2) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan ketentuan:
a. memperhatikan kepentingan Pemerintah, pemerintah provinsi, dan/atau pemerintah kabupaten/kota dalam wilayah sungai yang bersangkutan;
b. dituangkan dalam perjanjian kerja sama pengelolaan bendungan beserta waduknya; dan
c. dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 136
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara kerja sama pengelolaan bendungan beserta waduknya diatur dengan peraturan Menteri.

Bagian Kesepuluh
Pengelolaan Bendungan Lain

Pasal 137
(1) Pengelolaan bendungan selain bendungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dilakukan sesuai dengan tahapan pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74.
(2) Pelaksanaan pengelolaan bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilaporkan kepada Menteri.
(3) Ketentuan mengenai persyaratan teknis, tata cara perizinan, persetujuan dan pelaporan dalam pengelolaan bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Menteri.

BAB IV
KEAMANAN BENDUNGAN

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 138
(1) Keamanan bendungan ditujukan untuk melindungi bendungan dari kegagalan bendungan dan melindungi jiwa, harta, serta prasarana umum yang berada di wilayah yang terpengaruh oleh potensi bahaya akibat kegagalan bendungan.
(2) Keamanan bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. penyelenggara keamanan;
b. penyelenggaraan keamanan; dan
c. tanggung jawab kegagalan bendungan.

Bagian Kedua
Penyelenggara Keamanan Bendungan

Pasal 139
Penyelenggara keamanan bendungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 ayat (2) huruf a terdiri atas:
a. instansi teknis keamanan bendungan;
b. unit pelaksana teknis bidang keamanan bendungan; dan
c. Pembangun bendungan dan Pengelola bendungan.

Pasal 140
(1) Instansi teknis keamanan bendungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139 huruf a bertugas:
a. melakukan pengkajian terhadap hasil evaluasi keamanan bendungan;
b. memberikan rekomendasi mengenai keamanan bendungan; dan
c. menyelenggarakan inspeksi bendungan.
(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), instansi teknis keamanan bendungan menyelenggarakan fungsi:
a. pemberian rekomendasi kepada Menteri dalam rangka pemberian persetujuan desain, izin pengisian awal, izin operasi, persetujuan desain perubahan atau persetujuan desain rehabilitasi, dan izin penghapusan fungsi bendungan;
b. pemberian rekomendasi kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup dalam rangka pemberian izin penempatan awal limbah tambang (tailing) dan izin operasi untuk bendungan penampung limbah tambang (tailing);
c. pengkajian terhadap hasil kegiatan yang dilakukan oleh unit pelaksana teknis bidang keamanan bendungan; dan
d. penyelenggaraan inspeksi bendungan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai organisasi dan tata kerja instansi teknis keamanan bendungan diatur dengan peraturan Menteri.

Pasal 141
(1) Unit pelaksana teknis bidang keamanan bendungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139 huruf b bertugas memberikan dukungan teknis keamanan bendungan kepada instansi teknis keamanan bendungan.
(2) Dalam memberikan dukungan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), unit pelaksana teknis bidang keamanan bendungan melakukan kegiatan:
a. pengumpulan dan pengolahan data;
b. pengkajian bendungan dan analisis perilaku bendungan;
c. penyelenggaraan inspeksi bendungan;
d. penyiapan saran teknis bendungan; dan
e. inventarisasi dan registrasi bendungan serta klasifikasi bahaya bendungan.
(3) Unit pelaksana teknis bidang keamanan bendungan ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 142
Pembangun bendungan dan Pengelola bendungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139 huruf c bertugas melakukan evaluasi keamanan bendungan dan pemantauan serta pemeriksaan kondisi bendungan.

Bagian Ketiga
Penyelenggaraan Keamanan Bendungan

Pasal 143
Penyelenggaraan keamanan bendungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 ayat (2) huruf b meliputi:
a. evaluasi keamanan bendungan;
b. pemantauan dan pemeriksaan terhadap kondisi bendungan; dan
c. penyelenggaraan inspeksi bendungan.

Pasal 144
(1) Evaluasi keamanan bendungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 143 huruf a dilakukan terhadap:
a. perencanaan pembangunan bendungan;
b. pelaksanaan konstruksi;
c. pengisian awal waduk;
d. operasi dan pemeliharaan;
e. perubahan atau rehabilitasi; dan
f. kondisi bendungan pasca penghapusan fungsi bendungan.
(2) Evaluasi keamanan bendungan dan pemantauan serta pemeriksaan kondisi bendungan yang dilakukan oleh Pembangun bendungan atau Pengelola bendungan hasilnya disampaikan kepada instansi teknis keamanan bendungan.
(3) Instansi teknis keamanan bendungan melakukan pengkajian atas hasil evaluasi keamanan bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Berdasarkan pengkajian sebagaimana dimaksud pada ayat (3), instansi teknis keamanan bendungan menyusun rekomendasi sebagai dasar bagi Menteri dalam pemberian persetujuan dan/atau izin pada tahap pembangunan dan pengelolaan bendungan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan evaluasi dan pengkajian evaluasi keamanan bendungan diatur dengan peraturan Menteri.

Pasal 145
(1) Pemantauan dan pemeriksaan terhadap kondisi bendungan dan penyelenggaraan inspeksi bendungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 143 huruf b dan huruf c ditujukan untuk mengetahui secara dini permasalahan atau apabila terdapat gejala kegagalan bendungan dan status keamanan bendungan.
(2) Penyelenggaraan inspeksi bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan:
a. penelitian terhadap kondisi fisik bendungan dan bangunan pelengkapnya; dan
b. pengecekan instrumen bendungan.
(3) Penyelenggaraan inspeksi bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas inspeksi tahunan, inspeksi besar, dan inspeksi khusus/luar biasa.
(4) Inspeksi besar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun.
(5) Inspeksi khusus/luar biasa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan apabila terjadi kejadian luar biasa.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemantauan, pemeriksaan, dan inspeksi bendungan diatur dengan peraturan Menteri.

Bagian Keempat
Tanggung Jawab Kegagalan Bendungan

Pasal 146
(1) Dalam hal terjadi kegagalan bendungan yang diakibatkan karena kesalahan:
a. perencanaan, tanggung jawab kegagalan bendungan menjadi tanggung jawab perencana;
b. pelaksanaan konstruksi, tanggung jawab kegagalan bendungan menjadi tanggung jawab pelaksana konstruksi dan/atau pengawas konstruksi;
c. pengisian awal waduk, tanggung jawab kegagalan bendungan menjadi tanggung jawab perencana, pelaksana konstruksi, pengawas konstruksi, dan/atau Pembangun bendungan; dan
d. pengelolaan, tanggung jawab kegagalan bendungan menjadi tanggung jawab Pengelola bendungan.
(2) Tanggung jawab perencana, pelaksana konstruksi, pengawas konstruksi, Pembangun bendungan, dan Pengelola bendungan dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Ketentuan mengenai kriteria dan tolok ukur kegagalan bendungan diatur dengan peraturan Menteri.

Pasal 147
(1) Kegagalan bendungan dinilai dan ditetapkan bersama oleh tim penilai ahli yang profesional dan kompeten dalam bidang yang berkaitan dengan bendungan serta bersifat independen dan mampu memberikan penilaian secara obyektif.
(2) Tim penilai ahli dipilih oleh Pembangun bendungan atau Pengelola bendungan bersama dengan perencana dan pelaksana konstruksi dan ditetapkan oleh Pemilik bendungan.
(3) Tim penilai ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus ditetapkan paling lama 1 (satu) bulan sejak diterimanya laporan mengenai terjadinya kegagalan bendungan.
(4) Tim penilai ahli harus melaporkan hasil penilaiannya kepada pihak yang menetapkannya dan tembusannya disampaikan kepada Menteri.
(5) Menteri berwenang untuk mengambil tindakan tertentu apabila kegagalan bendungan mengakibatkan kerugian dan/atau menimbulkan gangguan pada keselamatan umum.
(6) Pelaksanaan tugas tim penilai ahli kegagalan bendungan dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB V
PEMBIAYAAN

Pasal 148
(1) Pembiayaan bendungan beserta waduknya meliputi biaya:
a. pembangunan bendungan; dan
b. pengelolaan bendungan beserta waduknya.
(2) Biaya pembangunan bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi biaya:
a. persiapan pembangunan;
b. perencanaan pembangunan;
c. pengadaan tanah;
d. pemindahan dan pemukiman kembali penduduk;
e. persiapan pelaksanaan konstruksi;
f. pelaksanaan konstruksi dan pengawasan konstruksi; dan
g. pengisian awal waduk.
(3) Biaya pengelolaan bendungan beserta waduknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi biaya:
a. operasi dan pemeliharaan;
b. konservasi pada waduk;
c. perubahan bendungan atau rehabilitasi bendungan;
d. penghapusan fungsi bendungan; dan
e. pengelolaan pasca penghapusan fungsi bendungan.

Pasal 149
(1) Biaya pembangunan bendungan dan biaya pengelolaan bendungan beserta waduknya disediakan oleh Pemilik bendungan.
(2) Dalam hal Pemilik bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Pemerintah, pemerintah provinsi, atau pemerintah kabupaten/kota, biaya pembangunan bendungan dan biaya pengelolaan bendungan beserta waduknya dapat bersumber dari:
a. anggaran pendapatan dan belanja negara;
b. anggaran pendapatan dan belanja daerah provinsi;
c. anggaran pendapatan dan belanja daerah kabupaten/kota; dan/atau
d. sumber pembiayaan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 150
(1) Dalam hal badan usaha selaku Pemilik bendungan menyerahkan pengelolaan bendungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (1), Pemilik bendungan harus menyediakan biaya pengelolaan dalam bentuk dana amanah.
(2) Dana amanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diserahkan oleh Pemilik bendungan sebelum bendungan beserta waduknya diserahkan.
(3) Pelaksanaan mengenai dana amanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 151
Ketentuan lebih lanjut mengenai dana amanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 150 diatur dengan peraturan Menteri setelah berkoordinasi dengan Menteri Keuangan.

BAB VI
DOKUMENTASI DAN INFORMASI

Pasal 152
(1) Pemilik bendungan, Pengelola bendungan, unit pengelola bendungan, dan unit pelaksana teknis bidang keamanan bendungan harus menyimpan dan memelihara dokumen pembangunan bendungan dan pengelolaan bendungan beserta waduknya.
(2) Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi dokumen:
a. perencanaan;
b. pengelolaan lingkungan hidup;
c. pengadaan tanah;
d. pelaksanaan konstruksi termasuk gambar terbangun;
e. petunjuk operasi dan pemeliharaan, pemantauan perilaku bendungan, riwayat operasi bendungan, serta rencana tindak darurat; dan
f. laporan pelaksanaan pengelolaan lingkungan dan pemantauan lingkungan.
(3) Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus disimpan selama 10 (sepuluh) tahun sejak penghapusan fungsi bendungan.
(4) Dokumen yang telah mencapai waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus diserahkan Pemilik bendungan kepada instansi yang menyelenggarakan urusan penyimpanan arsip secara nasional atau daerah.

Pasal 153
(1) Pengelola bendungan harus menyampaikan laporan secara berkala mengenai informasi kondisi bendungan beserta waduknya kepada instansi terkait.
(2) Informasi kondisi bendungan beserta waduknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. perilaku struktural dan operasional;
b. hasil pembacaan instrumen beserta interpretasinya, hasil inspeksi, dan evaluasi keamanan;
c. perubahan atau rehabilitasi;
d. kejadian yang berhubungan dengan keamanan bendungan dan kejadian luar biasa; dan
e. kondisi air waduk termasuk alokasi air.

Pasal 154
(1) Pengelola bendungan harus menyelenggarakan system informasi bendungan beserta waduknya yang dapat diakses oleh masyarakat.
(2) Dalam menyelenggarakan sistem informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pengelola bendungan melakukan:
a. pengumpulan, pengolahan, dan penyediaan data dan informasi bendungan beserta waduknya; dan
b. pemutakhiran informasi bendungan beserta waduknya secara berkala.

BAB VII
PENGAWASAN

Pasal 155
(1) Menteri, gubernur, dan bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya serta masyarakat melakukan pengawasan atas penyelenggaraan pembangunan bendungan dan pengelolaan bendungan beserta waduknya.
(2) Pengawasan oleh Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap pembangunan bendungan dan pengelolaan bendungan beserta waduknya yang dilaksanakan oleh Pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, dan badan usaha.
(3) Pengawasan oleh gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap pembangunan bendungan dan pengelolaan bendungan beserta waduknya yang dilaksanakan oleh pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, dan badan usaha.
(4) Pengawasan oleh bupati/walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap pembangunan bendungan dan pengelolaan bendungan beserta waduknya yang dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota dan badan usaha.
(5) Pengawasan oleh masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap pembangunan bendungan dan pengelolaan bendungan beserta waduknya yang diwujudkan dalam bentuk laporan atau pengaduan kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota.
(6) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota menindaklanjuti laporan hasil pengawasan atau pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) untuk perbaikan dan penyempurnaan penyelenggaraan pembangunan bendungan dan pengelolaan bendungan beserta waduknya.

BAB VIII
PERAN MASYARAKAT

Pasal 156
(1) Masyarakat mempunyai kesempatan yang sama untuk berperan dalam proses pembangunan bendungan dan pengelolaan bendungan beserta waduknya.
(2) Peran masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan cara:
a. memberikan masukan dan saran dalam pembangunan bendungan dan pengelolaan bendungan beserta waduknya;
b. mengikuti program pemberdayaan masyarakat; dan/atau
c. mengikuti pertemuan konsultasi publik dan sosialisasi.
(3) Dalam melaksanakan peran sebagaimana dimaksud pada ayat (2), masyarakat mempunyai hak untuk:
a. memperoleh informasi mengenai rencana pembangunan bendungan dan pengelolaan bendungan beserta waduknya;
b. menyatakan keberatan terhadap rencana pembangunan bendungan dan pengelolaan bendungan beserta waduknya yang sudah diumumkan disertai alasannya;
c. memperoleh manfaat atas pembangunan bendungan dan pengelolaan bendungan beserta waduknya;
d. mengajukan pengaduan kepada Pembangun bendungan atau Pengelola bendungan atas kerugian yang menimpa dirinya berkaitan dengan penyelenggaraan pembangunan bendungan dan pengelolaan bendungan beserta waduknya; dan/atau
e. mengajukan gugatan kepada pengadilan terhadap berbagai masalah akibat pembangunan bendungan dan pengelolaan bendungan beserta waduknya yang merugikan kehidupannya.

BAB IX
SANKSI ADMINISTRATIF

Pasal 157
(1) Pembangun bendungan yang melakukan pelaksanaan konstruksi tanpa izin pelaksanaan konstruksi yang diberikan oleh Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dikenai sanksi berupa penghentian pelaksanaan konstruksi oleh Menteri.
(2) Pembangun bendungan yang tidak melakukan pelaksanaan konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) dikenai sanksi berupa pencabutan izin pelaksanaan konstruksi oleh Menteri.
(3) Pembangun bendungan yang melakukan pengisian awal waduk tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (2) dikenai sanksi berupa penghentian pengisian awal waduk oleh Menteri.
(4) Pembangun bendungan yang tidak melakukan pengisian awal waduk sampai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2) dikenai sanksi berupa pencabutan izin pengisian awal waduk oleh Menteri.
(5) Pengelola bendungan yang tidak melakukan perubahan struktur bendungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 ayat (3) atau tidak melakukan rehabilitasi bendungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 ayat (2) dikenai sanksi berupa pencabutan izin operasi bendungan.
(6) Pengelola bendungan yang melakukan perubahan bendungan atau rehabilitasi bendungan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (1) dikenai sanksi berupa penghentian kegiatan pelaksanaan perubahan bendungan atau rehabilitasi bendungan.

Pasal 158
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 157 diatur dengan peraturan Menteri.

BAB X
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 159
(1) Persetujuan atau izin yang berkaitan dengan pembangunan dan pengelolaan bendungan yang telah diterbitkan sebelum ditetapkannya peraturan pemerintah ini dinyatakan tetap berlaku sampai dengan masa berlakunya berakhir.
(2) Pengelolaan bendungan yang telah dilaksanakan sebelum ditetapkannya peraturan pemerintah ini yang belum dilengkapi dengan persetujuan dan perizinan, izin operasi bendungan harus dipenuhi paling lambat 2 (dua) tahun setelah peraturan pemerintah ini ditetapkan.

BAB XI
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 160
Pada saat peraturan pemerintah ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang secara hierarki berada di bawah peraturan pemerintah yang berkaitan dengan bendungan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan pemerintah ini.

Pasal 161
Peraturan pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan peraturan pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.



Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 18 Februari 2010
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 18 Februari 2010
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
PATRIALIS AKBAR

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 45

Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT NEGARA RI
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan
Bidang Perekonomian dan Industri,
ttd
Setio Sapto Nugroho





























P E N J E L A S A N
A T A S
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 37 TAHUN 2010
TENTANG
BENDUNGAN

I. UMUM
Untuk meningkatkan kemanfaatan fungsi sumber daya air, pengawetan air, dan pengendalian daya rusak air dapat dibangun bendungan sehingga terbentuk waduk guna pemenuhan berbagai keperluan. Pembangunan bendungan dapat ditujukan untuk pengelolaan sumber daya air dan untuk penampungan limbah tambang (tailing) atau penampungan lumpur.
Pembangunan bendungan dilakukan dengan memperhatikan kondisi sumber daya air, keberadaan masyarakat, benda bersejarah, daya dukung lingkungan hidup, dan rencana tata ruang wilayah. Dalam hal bendungan untuk pengelolaan sumber daya air harus didasarkan pula pada rencana pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai.
Pembangunan bendungan untuk pengelolaan sumber daya air ditujukan untuk penyediaan air baku bagi rumah tangga, perkotaan, industri, penyediaan air irigasi, pengendalian banjir, penyediaan daya air untuk pembangkit listrik tenaga air, dan untuk keperluan lainnya misalnya pengisian kembali air tanah daerah sekitar waduk, konservasi air, konservasi daerah sekitar waduk, serta untuk prasarana perhubungan, perikanan, dan pariwisata. Sedangkan pembangunan bendungan untuk penampungan limbah tambang (tailing) atau penampungan lumpur ditujukan untuk penyediaan waduk guna penampungan limbah yaitu limbah tambang (tailing) atau untuk penampungan lumpur yang mengalir.
Lumpur yang diatur dalam peraturan pemerintah ini adalah lumpur akibat bencana, misalnya lumpur panas Sidoarjo.
Pembangunan bendungan mempunyai risiko tinggi berupa kemungkinan terjadinya kegagalan bendungan yaitu keruntuhan sebagian atau seluruh bendungan atau bangunan pelengkapnya. Selain itu, pembangunan bendungan juga mempunyai potensi bahaya yang besar yang dapat mengancam keselamatan masyarakat pada kawasan hilir bendungan.
Keruntuhan bendungan dapat disebabkan oleh kegagalan struktur antara lain terjadi longsoran, kegagalan hidraulik yang mengakibatkan terjadinya peluapan air, kegagalan operasi, dan terjadinya rembesan yang dapat mengganggu kestabilan bendungan.
Untuk mengurangi risiko kegagalan bendungan diperlukan pengaturan keamanan bendungan. Berdasarkan pertimbangan keamanan bendungan, risiko kegagalan bendungan meningkat dengan makin tingginya bendungan. Oleh karena itu peraturan pemerintah ini meliputi pengaturan:
a. untuk bendungan dengan tinggi 15 (lima belas) meter sebagai batas terendah untuk memberlakukan aturan, terutama yang berkaitan dengan keamanan bendungan;
b. untuk bendungan dengan tinggi 10 (sepuluh) sampai dengan 15 (lima belas) meter juga dianggap mempunyai risiko kegagalan yang tinggi apabila panjang puncak bendungan paling sedikit 500 (lima ratus) meter atau volume tampungan waduknya paling sedikit 500.000 (lima ratus ribu) meter kubik atau debit banjir maksimal yang diperhitungkan paling sedikit 1.000 (seribu) meter kubik/detik; dan
c. bendungan yang mempunyai kesulitan khusus pada fondasi dan/atau yang didesain dengan teknologi baru yaitu teknologi yang belum pernah diterapkan pada pembangunan bendungan di Indonesia, dan/atau mempunyai kelas bahaya tinggi.
Pembangunan bendungan memerlukan investasi yang besar yang harus dikelola secara efisien terkait dengan kegiatan dalam pembangunan bendungan. Pengadaan tanah untuk tapak bendungan dan daerah genangan waduk memerlukan pembebasan kawasan yang relatif luas dan menyangkut keberlanjutan kehidupan penduduk. Pemukiman kembali penduduk memerlukan perhatian dalam aspek sosial dan ekonomi sehingga tidak menimbulkan kesenjangan dengan penduduk setempat. Pembangunan bendungan perlu direncanakan dengan cermat, dan dilaksanakan dengan baik, serta memerlukan peran dari semua pemilik kepentingan.
Selanjutnya terkait dengan pertimbangan keamanan bendungan, pembangunan bendungan diselenggarakan dalam tahapan yang meliputi, persiapan pembangunan, perencanaan pembangunan, pelaksanaan konstruksi, dan pengisian awal waduk. Pembangunan bendungan yang telah selesai dilaksanakan, dilanjutkan dengan pemanfaatan bendungan beserta waduknya sesuai dengan tujuan pembangunan, dalam tahapan pengelolaan bendungan beserta waduknya yang meliputi operasi dan pemeliharaan, kemungkinan perubahan bendungan atau rehabilitasi bendungan, dan diakhiri dengan penghapusan fungsi bendungan.
Untuk menghindari kemungkinan terjadi kegagalan bendungan dilakukan penyelenggaraan keamanan bendungan dalam keseluruhan tahapan pembangunan bendungan dan pengelolaan bendungan beserta waduknya. Penyelenggara keamanan bendungan adalah instansi teknis keamanan bendungan, unit pelaksana teknis bidang keamanan bendungan, Pembangun bendungan, dan Pengelola bendungan.
Dalam rangka mewujudkan ketertiban pembangunan bendungan dan pengelolaan bendungan beserta waduknya, serta penyelenggaraan keamanan bendungan, diperlukan instrumen pengendalian yang berupa izin dan persetujuan dalam tahapan pembangunan bendungan dan pengelolaan bendungan beserta waduknya. Keseluruhan izin dan persetujuan yang diperlukan meliputi izin penggunaan sumber daya air, persetujuan prinsip pembangunan, persetujuan desain, izin pelaksanaan konstruksi, izin pengisian awal waduk, izin operasi bendungan, persetujuan desain perubahan atau persetujuan desain rehabilitasi, izin perubahan bendungan atau izin rehabilitasi bendungan, dan izin penghapusan fungsi bendungan.
Peraturan pemerintah ini memuat pengaturan untuk terwujudnya tertib penyelenggaraan pembangunan bendungan dan pengelolaan bendungan beserta waduknya yang selaras dengan daya dukung lingkungan hidup, memenuhi kaidah-kaidah kelayakan teknis dan ekonomis serta keamanan bendungan, dalam rangka mengurangi dampak negatif aspek lingkungan hidup, dan terjaganya keselamatan umum terkait kemungkinan terjadinya kegagalan bendungan, dan dalam rangka menjaga kelestarian sumber daya air serta meningkatkan kemanfaatan fungsi sumber daya air, pengawetan air, pengendalian daya rusak air, dan menjaga keamanan serta keselamatan lingkungan hidup.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “dilaksanakan secara tertib” adalah dilakukan dengan mengikuti tahapan dan proses pembangunan serta pengelolaannya.
Yang dimaksud dengan “kelayakan teknis” adalah memenuhi kriteria teknis desain, konstruksi, serta operasi dan pemeliharaan.
Yang dimaksud dengan “kelayakan ekonomis” adalah memenuhi kriteria pembiayaan dan kemanfaatan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Bendungan yang mempunyai kesulitan khusus pada fondasi misalnya bendungan yang dibangun pada tanah lunak atau batuan yang lulus air.
Yang dimaksud dengan “teknologi baru” adalah teknologi yang belum pernah diterapkan di Indonesia.
Bendungan yang mempunyai kelas bahaya tinggi antara lain pada kawasan hilir bendungan terdapat permukiman padat penduduk.

Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Yang dimaksud dengan “limbah tambang (tailing)” adalah material yang tersisa dari kegiatan pertambangan.
Yang dimaksud dengan “lumpur” adalah lumpur yang mengalir.

Pasal 6
Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan” antara lain adalah peraturan perundang-undangan di bidang jasa konstruksi.

Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Identitas Pembangun bendungan antara lain nama dan alamat.
Huruf c
Izin atau persyaratan lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan antara lain surat izin usaha perdagangan dan nomor pokok wajib pajak.
Ayat (5)
Cukup jelas.

Pasal 11
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “kewenangannya” adalah kewenangan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Kondisi sumber daya air antara lain meliputi kualitas dan kuantitas air permukaan dan air tanah serta keberadaan sumber air sebelum dilakukan pembangunan bendungan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Rencana tata ruang wilayah untuk pembangunan bendungan penampung limbah tambang (tailing) mengacu pada rencana tata ruang wilayah di lokasi kegiatan pertambangan.
Ayat (3)
Pertemuan konsultasi publik diselenggarakan untuk memberikan informasi tentang pembangunan bendungan dengan mengikutsertakan instansi dan masyarakat terkait untuk mengumpulkan aspirasi masyarakat berupa saran, pendapat, dan/atau tanggapan.
Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Pra-studi kelayakan diperlukan karena bendungan merupakan bangunan dengan pekerjaan risiko tinggi.
Ayat (2)
Analisis mengenai dampak lingkungan dalam bentuk pengesahan dari instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “quarry” adalah lokasi pengambilan batu.
Yang dimaksud dengan “borrow area” adalah lokasi pengambilan bahan timbunan lainnya.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Pra-desain bendungan merupakan suatu perencanaan umum bendungan.
Pra-desain bendungan antara lain memuat analisis stabilitas bendungan, lokasi, tata letak, tipe dan ukuran bendungan, kecukupan material batuan dan kecukupan bahan timbunan lainnya, penyimpanan material, serta tempat pembuangan hasil galian.
Huruf i
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Peraturan perundang-undangan antara lain peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Kegiatan survei dan investigasi dilakukan untuk mengumpulkan data dan informasi mengenai topografi detail, kondisi geologi teknik, dan hidrologi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Ukuran yang harus dipenuhi antara lain ukuran peralatan berat yang akan dipergunakan, tingkat kepadatan timbunan tanah, dan tingkat kekuatan beton.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Instansi teknis keamanan bendungan antara lain instansi yang membidangi sumber daya air, ketenagalistrikan, pertambangan, lingkungan hidup, dan perguruan tinggi serta asosiasi profesi di bidang bendungan.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Kondisi lokasi rencana pemukiman kembali penduduk antara lain luasan tanah, status tanah, kondisi fisik tanah, dan ketersediaan air.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Lingkup pengadaan tanah untuk pembangunan bendungan antara lain meliputi tanah yang akan digunakan untuk tapak bendungan, bangunan pelengkap, waduk, pembangkit listrik tenaga air dan fasilitas yang berkaitan, fasilitas yang berkaitan dengan pembangunan bendungan, dan fasilitas umum yang berkaitan dengan bendungan beserta waduknya.
Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan” adalah peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan dan di bidang kehutanan.
Ayat (4)
Fasilitas pendukung misalnya kantor lapangan, barak kerja, bengkel kerja, dan gudang.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan” adalah peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan.
Pasal 36
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “mengutamakan teknologi dengan memanfaatkan sumber daya lokal” adalah pemanfaatan teknologi yang dipadukan dengan sumber daya lokal yang paling sesuai dengan tetap memperhatikan kaidah keamanan bendungan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 37
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “penempatan awal limbah tambang (tailing)” adalah pengisian awal waduk penampung limbah tambang (tailing).
Huruf b
Penahapan pelaksanaan konstruksi didasarkan pada efisiensi tinggi bendungan dan volume tampungan waduk.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 38
Ayat (1)
Huruf a
Pembersihan lahan genangan untuk bendungan pengelolaan sumber daya air termasuk pemusnahan limbah yang meliputi penutupan sampah serta pemusnahan limbah buangan yang berbahaya dan beracun sehingga tidak mengakibatkan pencemaran pada waduk.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Penyelamatan benda bersejarah dilaksanakan dalam rangka melindungi situs, artefak, dan benda lainnya yang bernilai sejarah.
Huruf d
Pemindahan satwa liar yang dilindungi dilaksanakan dalam rangka melindungi hewan liar yang dilindungi.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan” antara lain peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup, di bidang pertanahan, dan di bidang kehutanan.
Ayat (3)
Pemindahan penduduk dan/atau pemukiman kembali penduduk ditujukan untuk mengatur pemindahan penduduk agar pemindahan dan pemukiman kembali penduduk tidak menimbulkan kesenjangan sosial dan ekonomi dengan penduduk setempat.
Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 39
Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan” adalah antara lain peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan, di bidang jasa konstruksi, dan di bidang lingkungan hidup.
Pasal 40
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “laporan akhir pelaksanaan konstruksi bendungan” adalah dokumen selesai pelaksanaan konstruksi termasuk gambar terbangun (as built drawing).
Pasal 41
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “penempatan bertahap” adalah pengisian waduk penampung limbah tambang (tailing) sesuai penyelesaian pelaksanaan konstruksi secara bertahap.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pengoperasian fasilitas bendungan misalnya pengoperasian pintu keluaran didasarkan atas besarnya bukaan untuk keperluan pasokan air irigasi dan/atau untuk pembangkitan listrik dan penurunan muka air waduk apabila diperlukan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Ayat (1)
Pertemuan konsultasi publik diselenggarakan dengan mengikutsertakan instansi dan masyarakat terkait untuk mengumpulkan aspirasi masyarakat berupa saran, pendapat dan/atau tanggapan serta untuk memberikan informasi tentang pengelolaan bendungan beserta waduknya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “konsepsi keamanan bendungan” adalah penyelenggaraan keamanan bendungan yang mengacu pada 3 (tiga) pilar keamanan bendungan yaitu:
1. keamanan struktur;
2. pemantauan, pemeriksaan, pengkajian, dan inspeksi bendungan; dan
3. tindak darurat.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 52
Ayat (1)
Instansi teknis misalnya satuan kerja perangkat daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang penanggulangan bencana.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan” adalah peraturan perundang-undangan di bidang penanggulangan bencana.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pemantauan yang dilakukan meliputi analisis perilaku bendungan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan” adalah peraturan perundang-undangan di bidang keuangan dan di bidang pengelolaan barang milik negara/daerah.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “daerah sempadan waduk” adalah kawasan tertentu di sekeliling waduk yang dibatasi oleh garis sempadan waduk.
Yang dimaksud dengan “garis sempadan waduk” adalah garis maya batas luar perlindungan waduk.
Pasal 75
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Penetapan unit pengelola bendungan dimaksudkan untuk memperjelas wewenang dan tanggung jawab unit pengelola dalam pelaksanaan pengelolaan bendungan beserta waduknya.
Ayat (5)
Cukup jelas.

Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan” adalah peraturan perundang-undangan di bidang jasa konstruksi.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “kompetensi dalam pengelolaan bendungan beserta waduknya” antara lain adalah mempunyai keahlian dalam pengelolaan bendungan, integritas, dan pengalaman.
Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “kondisi sumber daya air” misalnya kualitas dan kuantitas air permukaan dan air tanah serta keberadaan sumber air sebelum dan sesudah dilakukan pembangunan bendungan.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “ketersediaan sumber daya air” adalah kondisi ketersediaan sumber daya air pada daerah tangkapan air.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “kebutuhan air” adalah kondisi kebutuhan air pada daerah layanan.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “pengendalian banjir” adalah kondisi ketersediaan ruang pada waduk untuk menampung volume banjir.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “kebutuhan daya air” adalah kondisi ketinggian air dan volume waduk untuk menghasilkan tenaga air.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 82
Ayat (1)
Huruf a
Operasi dan pemeliharaan bendungan untuk pengelolaan sumber daya air dimaksudkan untuk:
a. mengoptimalkan pendayagunaan air dan daya air; dan
b. menjaga keamanan bendungan.
Operasi dan pemeliharaan bendungan untuk bendungan penampung limbah tambang (tailing) ditujukan untuk menjaga keamanan bendungan.
Huruf b
Pemeliharaan waduk untuk pengelolaan sumber daya air dimaksudkan untuk:
a. mempertahankan fungsi waduk sesuai dengan umur layan; dan
b. menjaga kuantitas dan kualitas air waduk.
Pemeliharaan waduk untuk waduk penampung limbah tambang (tailing) dimaksudkan untuk pengamanan tampungan limbah tambang (tailing).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 83
Cukup jelas.
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
Huruf a
Identitas Pengelola bendungan antara lain nama dan alamat.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.

Pasal 86
Cukup jelas.
Pasal 87
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Perilaku bendungan misalnya rembesan bendungan, tekanan air pori, up-lift, deformasi tubuh bendungan yang dipantau dengan menggunakan instrumen keamanan bendungan.
Ayat (3)
Pengukuran sedimentasi waduk dilakukan antara lain dengan echosounding, yaitu pengukuran kedalaman waduk dalam rangka menghitung jumlah sedimen.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 88
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “setiap saat” adalah pelaksanaan seharihari operasi dan pemeliharaan bendungan beserta waduknya sesuai dengan rencana dalam situasi normal atau dalam situasi luar biasa.
Ayat (2)
Situasi luar biasa antara lain berupa hujan badai, banjir besar, gempa bumi, dan longsoran besar.
Pasal 89
Cukup jelas.
Pasal 90
Cukup jelas.
Pasal 91
Cukup jelas.
Pasal 92
Cukup jelas.
Pasal 93
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pelaksanaan secara vegetatif merupakan upaya perlindungan dan pelestarian yang dilakukan dengan atau melalui penanaman pepohonan atau tanaman yang sesuai pada daerah tangkapan air dan daerah sempadan waduk.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “daerah tangkapan air” adalah daerah aliran sungai dari batas luar waduk sampai ke hulunya.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “lahan pada daerah tangkapan air” antara lain adalah kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, dan hutan lindung.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.

Pasal 94
Cukup jelas.
Pasal 95
Cukup jelas.
Pasal 96
Cukup jelas.
Pasal 97
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Kegiatan pengembangan ilmu pengetahuan antara lain kegiatan pengembangan terkait lingkungan waduk.
Huruf c
Upaya mempertahankan fungsi daerah sempadan waduk antara lain penanaman dan pemeliharaan pepohonan dan bukan misalnya pendirian bangunan.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Hasil kajian dimaksudkan untuk mengetahui penurunan kualitas air dan timbulnya kerusakan pada bagian bendungan antara lain terjadi korosi pada bagian hidromekanikal dan struktur beton akibat penggunaan karamba atau jaring apung.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “daya tampung waduk” adalah kemampuan air waduk untuk menerima masukan beban pencemaran tanpa mengakibatkan air waduk menjadi cemar.
Kajian daya dukung dan daya tampung waduk mengacu pada metode penghitungan daya dukung lingkungan dan daya tampung waduk sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan lingkungan hidup.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (10)
Cukup jelas.
Ayat (11)
Cukup jelas.
Pasal 98
Cukup jelas.
Pasal 99
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Kaidah konservasi meliputi:
a. perlindungan sistem penyangga kehidupan;
b. pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya; dan
c. pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan” antara lain adalah peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup dan di bidang kehutanan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 100
Ayat (1)
Pengaturan kawasan perlindungan waduk misalnya pengaturan mengenai jenis tanaman yang boleh ditanam dan mengenai pembuatan saluran pembuangan di sekitar waduk.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 101
Cukup jelas.
Pasal 102
Cukup jelas.
Pasal 103
Kawasan perlindungan waduk termasuk di dalamnya sabuk hijau.
Pasal 104
Cukup jelas.
Pasal 105
Cukup jelas.
Pasal 106
Cukup jelas.
Pasal 107
Cukup jelas.
Pasal 108
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “wilayah sekitar” adalah area di sekitar waduk.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “kawasan bendungan beserta waduknya” adalah wilayah di sekitar bendungan dan waduk.
Pasal 109
Cukup jelas.

Pasal 110
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “untuk keperluan lain” adalah keperluan yang tidak sesuai dengan rencana awal.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “menetapkan peruntukan air pada waduk” adalah pengelompokan penggunaan air yang terdapat pada waduk ke dalam beberapa golongan penggunaan air termasuk baku mutunya, misalnya mengelompokan penggunaan waduk ke dalam beberapa bagian menurut jenis golongan penggunaan air untuk keperluan air baku untuk rumah tangga, pertanian, dan usaha industri.
Pasal 111
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “fungsi lindung” adalah untuk melindungi kelestarian waduk termasuk menjaga kuantitas dan kualitas air waduk.
Yang dimaksud dengan “fungsi budi daya” adalah misalnya untuk perikanan, transportasi air, pariwisata, dan olahraga air.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 112
Cukup jelas.
Pasal 113
Cukup jelas.
Pasal 114
Cukup jelas.
Pasal 115
Cukup jelas.
Pasal 116
Ayat (1)
Pemanfaatan kawasan misalnya untuk rumah makan, arena bermain, dan penginapan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.

Pasal 117
Ayat (1)
Huruf a
Pengendalian terhadap keutuhan fisik dan keamanan bendungan dimaksudkan agar tidak terjadi kegagalan bendungan.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pengendalian daya rusak air terutama dalam rangka upaya pencegahan sebelum terjadinya bencana.
Pasal 118
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pembukaan dan penutupan pintu bendungan dalam pelepasan air ditujukan agar alirannya tidak melampaui kapasitas alur sungai di daerah hilir sehingga tidak menimbulkan kerusakan dan pencemaran lingkungan.
Yang dimaksud dengan “pintu bendungan” adalah pintu pengeluaran dan pintu bangunan pelimpah apabila ada.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 119
Harus memenuhi baku mutu air dimaksudkan agar tidak menimbulkan pencemaran lingkungan.
Pasal 120
Cukup jelas.
Pasal 121
Ayat (1)
Perubahan bendungan yang ditujukan untuk keamanan bendungan dimaksudkan untuk memperkecil risiko keruntuhan bendungan dengan cara melakukan perubahan struktur bendungan untuk memperkuat bendungan termasuk menambah tinggi bendungan guna menambah tinggi jagaan bendungan.
Yang dimaksud dengan “meningkatkan fungsi bendungan” adalah menambah pemanfaatan air waduk, misalnya air waduk yang semula hanya untuk irigasi dimanfaatkan pula untuk keperluan pembangkit listrik tenaga air.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 122
Cukup jelas.

Pasal 123
Ayat (1)
Bendungan yang mengalami kerusakan misalnya bagian konstruksinya mengalami penurunan kualitas, terjadi kelongsoran tubuh bendungan, dan/atau kerusakan pada peralatan hidromekanikal.
Ayat (2)
Rehabilitasi bendungan yang ditujukan untuk keamanan bendungan dimaksudkan untuk memperkecil risiko keruntuhan bendungan dengan cara melakukan perbaikan struktur bendungan guna memperkuat bendungan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 124
Cukup jelas.
Pasal 125
Cukup jelas.
Pasal 126
Cukup jelas.

Pasal 127
Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan” adalah antara lain peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan, di bidang jasa konstruksi, dan di bidang lingkungan hidup.

Pasal 128
Cukup jelas.
Pasal 129
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “tidak mempunyai manfaat lagi” adalah antara lain untuk bendungan pengelolaan sumber daya air yang tidak bisa lagi memberikan pasokan air dan untuk bendungan limbah tambang (tailing) telah penuh.
Penghapusan fungsi bendungan ditujukan untuk penghentian fungsi bendungan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 130
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “bahaya terhadap keamanan dan kelestarian fungsi lingkungan” antara lain adalah apabila bendungan dibongkar dapat menimbulkan banjir.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 131
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Instansi terkait lainnya misalnya instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup, di bidang pertambangan, dan di bidang kehutanan dalam hal bendungan berada di kawasan hutan.

Pasal 132
Ayat (1)
Bahaya yang ditimbulkan misalnya banjir akibat bendungan dibongkar atau terjadinya keruntuhan bendungan yang dipertahankan.
Ayat (2)
Pengelolaan pasca penghapusan fungsi bendungan misalnya kegiatan menjaga kelestarian lingkungan dengan dibongkarnya bendungan atau keamanan bendungan terhadap keruntuhan bagi bendungan yang dipertahankan.

Pasal 133
Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan” adalah peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan barang milik negara/daerah.

Pasal 134
Cukup jelas.
Pasal 135
Cukup jelas.
Pasal 136
Cukup jelas.
Pasal 137
Cukup jelas.
Pasal 138
Cukup jelas.
Pasal 139
Cukup jelas.
Pasal 140
Cukup jelas.
Pasal 141
Cukup jelas.
Pasal 142
Cukup jelas.
Pasal 143
Cukup jelas.

Pasal 144
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Termasuk evaluasi keamanan terhadap pelaksanaan konstruksi meliputi evaluasi rencana tindak darurat yang disusun pada tahap pelaksanaan konstruksi.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Rekomendasi kepada Menteri untuk pemberian persetujuan dan/atau izin pada tahap pembangunan dan pengelolaan bendungan tidak termasuk izin penggunaan sumber daya air dan persetujuan prinsip pembangunan.
Ayat (5)
Cukup jelas.

Pasal 145
Ayat (1)
Pemantauan meliputi pengamatan dan pengukuran melalui alat/instrumen yang dilakukan terus menerus oleh Pengelola bendungan.
Pemeriksaan meliputi pengamatan secara visual, pengujian peralatan hidro-mekanik dan hidro-elektrik yang dilakukan oleh Pengelola bendungan secara rutin, tahunan, besar, dan luar biasa.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.

Pasal 146
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Kesalahan pengelolaan termasuk terjadinya kerusakan yang berat sehingga mengakibatkan tidak berfungsinya bendungan beserta waduknya.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan” adalah peraturan perundang-undangan di bidang jasa konstruksi.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 147
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan” adalah peraturan perundang-undangan di bidang jasa konstruksi.

Pasal 148
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Termasuk dalam biaya pemeliharaan adalah biaya perbaikan dan penggantian.
Huruf b
Biaya konservasi pada waduk antara lain berupa membersihkan gulma air/eceng gondok, mempertahankan luasan waduk, dan mempertahankan kualitas air waduk.
Huruf c
Biaya perubahan bendungan atau rehabilitasi bendungan termasuk biaya penggantian peralatan hidro-mekanik, hidro-elektrik, dan instrumen keamanan bendungan.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Termasuk biaya pengelolaan pasca penghapusan fungsi bendungan adalah biaya pemeliharaan dan pengamatan, biaya personel, biaya perawatan dan pemeliharaan, serta biaya kantor.

Pasal 149
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Sumber pembiayaan lain antara lain hasil penerimaan biaya jasa pengelolaan sumber daya air pada waduk.

Pasal 150
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “dana amanah” adalah trust fund.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan” adalah peraturan perundang-undangan di bidang perbendaharaan negara dan di bidang keuangan negara.

Pasal 151
Cukup jelas.

Pasal 152
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Dokumen perencanaan antara lain kriteria desain, laporan penyelidikan, uji model, perhitungan, gambar, dan spesifikasi teknik.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Dokumen pelaksanaan konstruksi antara lain dokumen kontrak, metoda pelaksanaan, hasil uji bahan bangunan, pengendalian mutu, uji laboratorium, inspeksi selama pelaksanaan konstruksi, observasi dan perilaku struktural, gambar lengkap dengan catatan pelaksanaan konstruksi termasuk gambar terbangun, sertifikat uji operasi, foto pelaksanaan dan video.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 153
Ayat (1)
Instansi terkait misalnya Menteri, gubernur, dan bupati/walikota.
Ayat (2)
Huruf a
Perilaku operasional antara lain menyangkut peralatan hidro-mekanik, hidro-elektrik, dan instrumen keamanan bendungan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “kejadian luar biasa” adalah pada saat terjadi antara lain hujan badai, banjir besar, gempa bumi, dan longsoran besar.
Huruf e
Cukup jelas.

Pasal 154
Cukup jelas.

Pasal 155
Ayat (1)
Pengawasan atas penyelenggaraan pembangunan bendungan dan pengelolaan bendungan beserta waduknya ditujukan untuk menjamin tercapainya kesesuaian antara pelaksanaan pembangunan bendungan dan pengelolaan bendungan beserta waduknya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.

Pasal 156
Ayat (1)
Peran masyarakat ditujukan untuk mewujudkan:
a. kedudukan yang setara antarpihak yang berkepentingan;
b. transparansi dalam proses pembangunan bendungan dan pengelolaan bendungan beserta waduknya; dan
c. rasa memiliki dan rasa tanggung jawab guna keberlanjutan fungsi bendungan beserta waduknya.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “konsultasi” berupa komunikasi dua arah, diskusi dan saling memberi saran, pendapat, dan tanggapan.
Yang dimaksud dengan “sosialisasi” berupa pemberian informasi yang berkaitan dengan tahapan pembangunan bendungan dan pengelolaan bendungan beserta waduknya kepada masyarakat.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 157
Cukup jelas.
Pasal 158
Cukup jelas.
Pasal 159
Cukup jelas.
Pasal 160
Cukup jelas.
Pasal 161
Cukup jelas.



TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5117