Cari Blog Ini

Senin, 30 Agustus 2010

sholat tarawih

Tata Cara Sholat Tarawih
Beberapa Cara Shalat Malam yang dikerjakan Rasulullah shallallahu `alaihi wa allam
Dari hadits-hadits dan riwayat yang ada dapat disimpulkan bahwa Nabi shallallahu `alaihi wa sallam mengerjakan shalat malam dan witir lengkap berbagai cara:
Pertama.
Shalat 13 rakaat dan dimulai dengan 2 rakaat yang ringan.
Berkenaan dengan ini ada beberapa riwayat:
a. Hadits Zaid bin Khalid al-Juhani bahwasanya berkata: “Aku perhatikan shalat malam Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam. Yaitu (ia) shalat dua rakaat yang ringan kemudian ia shalat dua rakaat yang panjang sekali. Kemudian shalat dua rakaat, dan dua rakaat ini tidak sepanjang dua rakaat sebelumnya, kemudian shalat dua rakaat (tidak sepanjang dua rakaat sebelumnya), kemudian shalat dua rakaat (tidak sepanjang dua rakaat sebelumnya), kemudian shalat dua rakaat (tidak sepanjang dua rakaat sebelumnya), kemudian witir satu rakaat, yang demikian adalah tiga belas rakaat.” (Diriwayatkan oleh Malik, Muslim, Abu Awanah, Abu Dawud dan Ibnu Nashr)
b. Hadits Ibnu Abbas, ia berkata: “Saya pernah bermalam di kediaman Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam suatu malam, waktu itu beliau di rumah Maimunah radliyallahu anha. Beliau bangun dan waktu itu telah habis dua pertiga atau setengah malam, kemudian beliau pergi ke tempat yang ada padanya air, aku ikut berwudlu bersamanya, kemudian beliau berdiri dan aku berdiri di sebelah kirinya maka beliau pindahkan aku ke sebelah kanannya. Kemudian meletakkan tangannya di atas kepalaku seakan-akan beliau memegang telingaku, seakan-akan membangunkanku, kemudian beliau shalat dua rakaat yang ringan. Beliau membaca Ummul Qur’an pada kedua rakaat itu, kemudian beliau memberi salam kemudian beliau shalat hingga sebelas rakaat dengan witir, kemudian tidur. Bilal datang dan berkata: Shalat Ya Rasulullah! Maka beliau bangun dan shalat dua rakaat, kemudian shalat mengimami orang-orang. (HR. Abu Dawud dan Abu `Awanah dalam kitab Shahihnya. Dan asalnya di Shahihain)
Ibnul Qayim juga menyebutkan hadits ini di Zadul Ma`ad 1:121 tetapi Ibnu Abbas tidak menyebut bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam memulai shalatnya dengan dua rakaat yang ringan sebagaimana yang disebutkan Aisyah.
c. Hadits Aisyah, ia berkata: Adalah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam apabila bangun malam, memulai shalatnya dengan dua rakaat yang ringan, kemudian shalat delapan kemudian berwitir. Pada lafadh lain: Adalah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam shalat Isya, kemudian menambah dengan dua rakaat, aku telah siapkan siwak dan air wudhunya dan berwudlu kemudian shalat dua rakaat, kemudian bangkit dan shalat delapan rakaat, beliau menyamakan bacaan antara rakaat-rakaat itu, kemudian berwitir pada rakaat yang ke sembilan. Ketika Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam sudah berusia lanjut dan gemuk, beliau jadikan yang delapan rakaat itu menjadi enam rakaat kemudian ia berwitir pada rakaat yang ketujuh, kemudian beliau shalat dua rakaat dengan duduk, beliau membaca pada dua rakaat itu “Qul ya ayyuhal kafirun” dan “Idza zulzilat.”
Penjelasan.
Dikeluarkan oleh Thahawi 1/156 dengan dua sanad yang shahih. Bagian pertama dari lafadh yang pertama juga dikeluarkan oleh Muslim 11/184; Abu Awanah 1/304, semuanya diriwayatkan melalui jalan Hasan Al-Bashri dengan mu`an`an, tetapi Nasai meriwayatkannya (1:250) dan juga Ahmad V:168 dengan tahdits. Lafadh kedua ini menurut Thahawi jelas menunjukan bahwa jumlah rakaatnya 13, ini menunjukan bahwa perkataannya di lafadh yang pertama: “kemudian ia berwitir” maksudnya tiga rakaat. Memahami seperti ini gunanya agar tidak timbul perbedaan jumlah rakaat antara riwayat Ibnu Abbas dan Aisyah.
Kalau kita perhatikan lafadh kedua, maka di sana Aisyah menyebutkan dua rakaat yang ringan setelah shalat Isya’nya, tetapi tidak menyebutkan adanya shalat ba’diyah Isya. Ini mendukung kesimpulan penulis pada uraian terdahulu bahwa dua rakaat yang ringan itu adalah sunnah ba`diyah Isya.
Kedua
Shalat 13 rakaat, yaitu 8 rakaat (memberi salam setiap dua rakaat) ditambah lima rakaat witir, yang tidak duduk kecuali pada rakaat terakhir (kelima).
Tentang ini ada riwayat dari Aisyah sebagai berikut: Adalah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tidur, ketika bangun beliau bersiwak kemudian berwudhu, kemudian shalat delapan rakat, duduk setiap dua rakaat dan memberi salam, kemudian berwitir dengan lima rakaat, tidak duduk kecuali ada rakaat kelima, dan tidak memberi salam kecuali pada rakaat yang kelima. Maka ketika muadzin beradzan, beliau bangkit dan shalat dua rakaat yang ringan.
Penjelasan :
Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad II:123, 130, sanadnya shahih menurut persyaratan Bukhari dan Muslim. Dikeluarkan juga oleh Muslim II:166; Abu Awanah II:325, Abu Daud 1:210; Tirmidzi II:321 dan beliau mengesahkannya. Juga oleh Ad-Daarimi 1:371, Ibnu Nashr pada halaman 120-121; Baihaqi III:27; Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla III:42-43.
Semua mereka ini meriwayatkan dengan singkat, tidak disebut padanya tentang memberi salam pada tiap dua rakaat, sedangkan Syafi’i 1:1/109, At-Thayalisi 1:120 dan Hakim 1:305 hanya meriwayatkan tentang witir lima rakaat saja.
Hadits ini juga mempunyai syahid dari Ibnu Abbas, diriwayatkan oleh Abu Dawud 1:214 daan Baihaqi III:29, sanad keduanya shahih. Kalau kita lihat sepintas lalu, seakan-akan riwayat Ahmad ini bertentangan dengan riwayat Aisyah yang membatas bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tidak pernah mengerjakan lebih dari sebelas rakaat, sebab pada riwayat ini jumlah yang dikerjakan Nabi shallallahu `alaihi wa sallam adalah 13 rakaat ditambah 2 rakaat qabliyah Shubuh. Tetapi sebenarnya kedua riwayat ini tidak bertentangan dan dapat dijama’ seperti pad uraian yang lalu. Kesimpulannya dari 13 rakaat itu, masuk di dalamnya 2 rakaat Iftitah atau 2 rakaat ba’diyah Isya.
Ketiga.
Shalat 11 rakaat, dengan salam setiap dua rakaat dan berwitir 1 rakaat.
Dasarnya hadits Aisyah berikut ini: “Adalah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam shalat pada waktu antara selesai shalat Isya, biasa juga orang menamakan shalat `atamah hingga waktu fajar, sebanyak 11 rakaat, beliau memberi salam setiap dua rakaat dan berwitir satu rakaat, beliau berhenti pada waktu sujudnya selama seseorang membaca 50 ayat sebelum mengangkat kepalanya”.
Penjelasan:
Diriwayatkan oleh Muslim II:155 dan Abu Awanah II:326; Abu Dawud I:209; Thahawi I:167; Ahmad II:215, 248. Abu Awanah dan Muslim juga meriwayatkan dari hadits Ibnu Umar, sedangkan Abu Awanah juga dari Ibnu Abbas.
Mendukung riwayat ini adalah Ibnu Umar juga: Bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tentang shalat malam, maka sabdanya: Shalat malam itu dua rakaat dua rakaat. Kalau seseorang daripada kamu khawatir masuk waktu Shubuh, cukup dia shalat satu rakaat guna menggajilkan jumlah rakaat yang ia telah kerjakan.
Riwayat Malik I:144, Abu Awanah II:330-331, Bukhari II:382,385, MuslimII:172. Ia menambahkan (Abu Awanah): “Maka Ibnu Umar ditanya: Apa yang dimaksud dua rakaat - dua rakaat itu? Ia menjawab: Bahwasanya memberi salam di tiap dua rakaat.”
Keempat.
Shalat 11 rakaat yaitu sholat 4 rakaat dengan 1 salam, empat rakaat salam lagi, kemudian tiga rakaat.
Haditsnya adalah riwayat Bukhari Muslim sebagaimana disebutkan terdahulu. Menurut dhahir haditsnya, beliau duduk di tiap-tiap dua rakaat tetapi tidak memberi salam, demikianlah penafsiran Imam Nawawi. Yang seperti ini telah diriwayatkan dalam beberapa hadits dari Aisyah bahwasanya Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tidak memberi salam antara dua rakaat dan witir, namun riwayat-riwayat itu lemah, demikianlah yang disebutkan oleh Al-Hafidh Ibnu Nashr, Baihaqi dan Nawawi.
Kelima
Shalat 11 rakaat dengan perincian 8 rakaat yang beliau tidak duduk kecuali pada rakaat kedelapan tersebut, maka beliau bertasyahud dan bershalawat atas Nabi, kemudian bangkit dan tidak memberi salam, selanjutnya beliau witir satu rakaat, kemudian memberi salam (maka genap 9 raka’at). Kemudian Nabi sholat 2 raka’at sambil duduk.
Dasarnya adalah hadits Aisyah radliallahu `anha, diriwayatkan oleh Sa’ad bin Hisyam bin Amir. Bahwasanya ia mendatangi Ibnu Abbas dan menanyakan kepadanya tentang witir Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam maka Ibnu Abbas berkata: Maukah aku tunjukan kepada kamu orang yang paling mengetahui dari seluruh penduduk bumi tentang witirnya Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam: Ia bertanya siapa dia? Ia berkata: Aisyah radlillahu anha, maka datangilah ia dan Tanya kepadanya: Maka aku pergi kepadnya, ia berkata: Aku bertanya; Hai Ummul mukminin khabarkan kepadaku tentang witir Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, Ia menjawab: Kami biasa menyiapkan siwak dan air wudlunya, maka ia bersiwak dan berwudlu dan shalat sembilan rakaat tidak duduk padanya kecuali pada rakaat yang kedelapan, maka ia mengingat Allah dan memuji-Nya dan bershalawat kepada nabi-Nya dan berdoa, kemudian bangkit dan tidak memberi salam, kemudian berdiri dan shalat (rakaat) yang kesembilan, kemudian beliau duduk dan mengingat Allah dan memujinya (at tahiyat) dan bershalawat atas nabi-Nya shallallahu `alaihi wa sallam dan berdoa, kemudian memberi salam dengan salam yang diperdengarkan kepada kami, kemudian shalat dua rakat setelah beliau memberi salam, dan beliau dalam keadaan duduk, maka yang demikian jumlahnya sebelas. Wahai anakku, maka ketika Nabi shallallahu `alaihi wa sallam menjadi gemuk, beliau berwitir tujuh rakaat, beliau mengerjakan di dua rakaat sebagaimana yang beliau kerjakan (dengan duduk). Yang demikian jumlahnya sembilan rakaat wahai anakku.
Penjelasan
Diriwayatkan oleh Muslim II:169-170, Abu Awanah II:321-325, Abu Dawud I:210-211, Nasai I/244-250, Ibnu Nashr halaman 49, Baihaqi III:30 dan Ahmad VI:53,54,168.
Keenam.
Shalat 9 rakaat, dari jumlah ini, 6 rakaat beliau kerjakan tanpa duduk (tasyahud) kecuali pada rakaat yang keenam tersebut, beliau bertasyahud dan bershalawat atas Nabi shallallahu `alaihi wa sallam kemudian beliau bangkit dan tidak memberi salam sedangkan beliau dalam keadaan duduk.
Yang menjadi dasar adalah hadits Aisyah radiyallahu anha seperti telah disebutkan pada cara yang kelima.
Itulah cara-cara shalat malam dan witir yng pernah dikerjakan Rasulullah, cara yang lain dari itu bisa juga ditambahkan yang penting tidak melebihi sebelas rakaat. Adapun kurang dari jumlah itu tidak dianggap menyalahi karena yang demikian memang dibolehkan, bahkan berwitir satu rakaatpun juga boleh sebagaimana sabdanya yang lalu: “….Maka barang siapa ingin maka ia boleh berwitir 5 rakaat, dan barangsiapa ingin ia boleh berwitir 3 rakaat, dan barangsiapa ingin ia boleh berwitir dengan satu rakaat.”
Hadits di atas merupakan nash boleh ia berwitir dengan salah satu dari rakaat-rakaat tersebut, hanya saja seperti yang dinyatakan hadits Aisyah bahwasaya beliau tidk berwitir kurang dari 7 rakaat.
Tentang witir yang lima rakaat dan tiga rakaat dapat dilakukan dengan berbagai cara:
a. Dengan sekali duduk dan sekali salam
b. Duduk at tahiyat setiap dua rakaat
c. Memberi salam setiap dua rakaat
Al-Hafidh Muhammad bin Nashr al-Maruzi dalam kitab Qiyamul Lail halaman 119 mengatakan: Cara yang kami pilih untuk mengerjakan shalat malam, baik Ramadlan atau lainnya adalah dengan memberi salam setiap dua rakaat. Kalau seorang ingin mengerjakan tiga rakaat, maka di rakaat pertama hendaknya membaca surah “Sabbihisma Rabbikal A’la” dan pada rakaat kedua membaca surah “Al-Kafirun”, dan bertasyahud dirakaat kedua kemudian memberi salam. Selanjutya bangkit lagi dan shalat satu rakaat, pada rakaat ini dibaca Al-Fatihah dan Al-Ikhlash, Mu`awwidzatain (Al-Falaq dan An-Naas), setelah itu beliau (Muhammad bin Nashr) menyebutkan cara-cara yang telah diuraikan terdahulu.
Semua cara-cara tersebut boleh dilakukan, hanya saja kami pilih cara yang disebutkan di atas karen didasarkan pada jawaban Nabi shallallahu `alaihi wa sallam ketika beliau ditanya tentang shalat malam, maka beliau menjawab: bahwa shalat malam itu dua rakaat dua rakaat, jadi kami memilih cara seperti yang beliau pilih.
Adapun tentang witir yang tiga rakaat, tidak kami dapatkan keterangan yang pasti dan terperinci dari Nabi shallallahu `alaihi wa sallam bahwasanya beliau tidak memberi salam kecuali pada rakat yang ketiga, seperti yang disebutkan tentang Witir lima rakaat, tujuh dan sembilan rakaat. Yang kami dapati adalah bahwa beliau berwitir tiga rakaat dengan tidak disebutkan tentang salam sedangkan tidak disebutkan itu tidak dapat diartikan bahwa beliau tidak mengerjakan, bahkan mungkin beliau melakukannya.
Yang jelas tentang pelaksanaan yang tiga rakaat ini mengandung beberapa ihtimaalat (kemungkinan), diantaranya kemungkinan beliau justru memberi salam, karena demikialah yang kami tafsirkan dari shalat beliau yang sepuluh rakaat, meskipun di sana tidak diceritakan tentang adanya salam setiap dua rakaat, tapi berdasar keumuman sabdanya bahwa asal shalat malam atau siang itu adalah dua rakaat, dua rakaat.
Sedangkan hadits Ubay bin Ka’ab yang sering dijadikan dasar tidak adanya salam kecuali pada rakaat yang ketiga (laa yusallimu illa fii akhirihinna), ternyata tambahan ini tidak dapat dipakai, karena Abdul Aziz bin Khalid bersendiri dengan tambahan tersebut, sedangkan Abdul Aziz ini, tidak dianggap tsiqah oleh ulama Hadits. Dalam at-Taqrib dinyatakan bahwa dia maqbul apabila ada mutaba’ah (hadits lain yang mengiringi), kalau tidak ia termasuk Layyinul Hadits. Di samping itu tambahan riwayatnya menyalahi riwayat dari Sa’id bin Abi Urubah yang tanpa tambahan tersebut. Ibnu Nashr, Nasai dan Daruqutni juga meriwayatkan tanpa tambahan. Dengan ini, jelas bahwa tambahan tersebut adalah munkar dan tidak dapat dijadikan hujjah.
Tapi walaupun demikian diriwayatkan bahwa shahabat-shahabat Nabi shallallahu `alaihi wa sallam mengerjakan witir tiga rakaat dengan tanpa memberi salam kecuali pada rakaat yang terakhir dan ittiba’ kepada mereka ini lebih baik baik daripada mengerjakan yang tidak dicontohkan. Dari sisi lain perlu juga diketengahkan bahwa terdapat banyak riwayat baik dari Nabi shallallahu `alaihi wa sallam, para shahabat ataupun tabi’in yang menunjukan tidak disukainya shalat witir tiga rakaat, diantaranya: “Janganlah engkau mengerjakan witir tiga rakaat yang menyerupai Maghrib, tetapi hendaklah engkau berwitir lima rakaat.” (HR. Al-Baihaqi, At Thohawi dan Daruquthny dan selain keduanya, lihat Sholatut Tarawih hal 99-110).
Hadits ini tidak dapat dipakai karena mempunyai kelemahan pada sanadnya, tapi Thahawi meriwayatkan hadits ini melalui jalan lain dengan sanad yang shahih. Adapun maksudnya adalah melarang witir tiga rakaat apabila menyerupai Maghrib yaitu dengan dua tasyahud, namun kalau witir tiga rakaat dengan tidak pakai tasyahud awwal, maka yang demikian tidak dapat dikatakan menyerupai. Pendapat ini juga dinyatakan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari II:385 dan dianggap baik oleh Shan’aani dalam Subulus Salam II:8.
Kesimpulan dari yang kami uraikan di atas bahwa semua cara witir yang disebutkan di atas adalah baik, hanya perlu dinyatakan bahwa witir tiga rakaat dengan dua kali tasyahhud, tidak pernah ada contohnya dari Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bahkan yang demikian tidak luput dari kesalahan, oleh karenanya kami memilih untuk tidak duduk di rakaat genap (kedua), kalau duduk berarti memberi salam, dan cara ini adalah yang lebih utama.

Jumat, 20 Agustus 2010

peraturan lelang yang baru

SALINAN
PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 93 /PMK.06/2010

TENTANG

PETUNJUK PELAKSANAAN LELANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN,

Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan pelayanan lelang, serta mewujudkan pelaksanaan lelang yang lebih efisien, efektif, transparan, akuntabel, adil, dan menjamin kepastian hukum, dipandang perlu untuk melakukan penyempurnaan ketentuan mengenai lelang;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang;
Mengingat : 1. Undang-Undang Lelang (Vendu Reglement, Ordonantie 28 Februari 1908 Staatsblad 1908:189 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Staatsblad 1941:3);
2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3687);
3. Instruksi Lelang (Vendu Instructie, Staatsblad 1908:190 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Staatsblad 1930:85);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2003 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Departemen Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 95, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4313);
5. Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2005 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Kementerian Negara Republik Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 50 Tahun 2008;
6. Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal di Lingkungan Departemen Keuangan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2007;
7. Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara;
8. Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009;

9. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 100/PMK.01/2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Keuangan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 143.1/PMK.01/2009;

10. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 102/PMK.01/2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal Direktorat Jenderal Kekayaan Negara;
11. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 347/KMK.01/2008 tentang Pelimpahan Wewenang Kepada Pejabat Eselon I di Lingkungan Departemen Keuangan untuk dan Atas Nama Menteri Keuangan Menandatangani Surat dan atau Keputusan Menteri Keuangan;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN LELANG.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan:
1. Lelang adalah penjualan barang yang terbuka untuk umum dengan penawaran harga secara tertulis dan/atau lisan yang semakin meningkat atau menurun untuk mencapai harga tertinggi, yang didahului dengan Pengumuman Lelang.
2. Barang adalah tiap benda atau hak yang dapat dijual secara lelang.
3. Pengumuman Lelang adalah pemberitahuan kepada masyarakat tentang akan adanya Lelang dengan maksud untuk menghimpun peminat lelang dan pemberitahuan kepada pihak yang berkepentingan.
4. Lelang Eksekusi adalah lelang untuk melaksanakan putusan/penetapan pengadilan, dokumen-dokumen lain yang dipersamakan dengan itu, dan/atau melaksanakan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan.
5. Lelang Noneksekusi Wajib adalah lelang untuk melaksanakan penjualan barang yang oleh peraturan perundang-undangan diharuskan dijual secara lelang.
6. Lelang Noneksekusi Sukarela adalah lelang atas barang milik swasta, orang atau badan hukum/badan usaha yang dilelang secara sukarela.
7. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia.
8. Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, yang selanjutnya disebut DJKN, adalah unit Eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan yang mempunyai tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang kekayaan negara, piutang negara dan lelang sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
9. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Kekayaan Negara.
10. Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, yang selanjutnya disebut Kantor Wilayah, adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Kekayaan Negara yang berada di bawah dan bertanggungjawab langsung kepada Direktur Jenderal Kekayaan Negara.
11. Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang, yang selanjutnya disebut KPKNL, adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Kekayaan Negara yang berada di bawah dan bertanggungjawab langsung kepada Kepala Kantor Wilayah.
12. Kantor Pejabat Lelang Kelas II adalah kantor swasta tempat kedudukan Pejabat Lelang Kelas II.
13. Balai Lelang adalah Badan Hukum Indonesia berbentuk Perseroan Terbatas (PT) yang khusus didirikan untuk melakukan kegiatan usaha di bidang lelang.
14. Pejabat Lelang adalah orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan diberi wewenang khusus untuk melaksanakan penjualan barang secara lelang.
15. Pejabat Lelang Kelas I adalah Pejabat Lelang pegawai Direktorat Jenderal Kekayaan Negara yang berwenang melaksanakan Lelang Eksekusi, Lelang Noneksekusi Wajib, dan Lelang Noneksekusi Sukarela.
16. Pejabat Lelang Kelas II adalah Pejabat Lelang swasta yang berwenang melaksanakan Lelang Noneksekusi Sukarela.
17. Pemandu Lelang (Afslager) adalah orang yang membantu Pejabat Lelang untuk menawarkan dan menjelaskan barang dalam suatu pelaksanaan lelang.
18. Pengawas Lelang (Superintenden) adalah pejabat yang diberi kewenangan untuk melakukan pembinaan dan pengawasan kepada Pejabat Lelang.
19. Penjual adalah orang, badan hukum/usaha atau instansi yang berdasarkan peraturan perundang-undangan atau perjanjian berwenang untuk menjual barang secara lelang.
20. Pemilik Barang adalah orang atau badan hukum/usaha yang memiliki hak kepemilikan atas suatu barang yang dilelang.
21. Peserta Lelang adalah orang atau badan hukum/badan usaha yang telah memenuhi syarat untuk mengikuti lelang.
22. Pembeli adalah orang atau badan hukum/badan usaha yang mengajukan penawaran tertinggi dan disahkan sebagai pemenang lelang oleh Pejabat Lelang.
23. Legalitas formal subjek dan objek lelang adalah suatu kondisi dimana dokumen persyaratan lelang telah dipenuhi oleh pemohon lelang/Penjual sesuai jenis lelangnya dan tidak ada perbedaan data, menunjukkan hubungan hukum antara pemohon lelang/Penjual (subjek lelang) dengan barang yang akan dilelang (objek lelang), sehingga meyakinkan Pejabat Lelang bahwa subjek lelang berhak melelang objek lelang, dan objek lelang dapat dilelang.
24. Lelang Ulang adalah pelaksanaan lelang yang dilakukan untuk mengulang lelang yang tidak ada peminat, lelang yang ditahan atau lelang yang Pembelinya wanprestasi.
25. Uang Jaminan Penawaran Lelang adalah uang yang disetor kepada Kantor Lelang/Balai Lelang atau Pejabat Lelang oleh calon Peserta Lelang sebelum pelaksanaan lelang sebagai syarat menjadi Peserta Lelang.
26. Nilai Limit adalah harga minimal barang yang akan dilelang dan ditetapkan oleh Penjual/Pemilik Barang.
27. Harga Lelang adalah harga penawaran tertinggi yang diajukan oleh peserta lelang yang telah disahkan sebagai pemenang lelang oleh Pejabat Lelang.
28. Pokok Lelang adalah Harga Lelang yang belum termasuk Bea Lelang pembeli dalam lelang yang diselenggarakan dengan penawaran harga secara ekslusif atau Harga Lelang dikurangi Bea Lelang pembeli dalam lelang yang diselenggarakan dengan penawaran harga secara inklusif.
29. Hasil Bersih Lelang adalah Pokok Lelang dikurangi Bea Lelang Penjual dan/atau Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan (PPh Final) dalam lelang dengan penawaran harga lelang ekslusif, dalam lelang dengan penawaran harga inklusif dikurangi Bea Lelang Pembeli.
30. Kewajiban Pembayaran Lelang adalah harga yang harus dibayar oleh Pembeli dalam pelaksanaan lelang yang meliputi Pokok Lelang dan Bea Lelang Pembeli.
31. Bea Lelang adalah bea yang berdasarkan peraturan perundang-undangan, dikenakan kepada Penjual dan/atau Pembeli atas setiap pelaksanaan lelang, yang merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak.
32. Risalah Lelang adalah berita acara pelaksanaan lelang yang dibuat oleh Pejabat Lelang yang merupakan akta otentik dan mempunyai kekuatan pembuktian sempurna.
33. Minuta Risalah Lelang adalah Asli Risalah Lelang berikut lampirannya, yang merupakan dokumen/arsip Negara.
34. Salinan Risalah Lelang adalah salinan kata demi kata dari seluruh Risalah Lelang.
35. Kutipan Risalah Lelang adalah kutipan kata demi kata dari satu atau beberapa bagian Risalah Lelang.
36. Grosse Risalah Lelang adalah Salinan asli dari Risalah Lelang yang berkepala "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pasal 2
Setiap pelaksanaan lelang harus dilakukan oleh dan/atau dihadapan Pejabat Lelang kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah.
Pasal 3
Lelang yang telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, tidak dapat dibatalkan.
Pasal 4
(1) Lelang tetap dilaksanakan walaupun hanya diikuti oleh 1 (satu) orang peserta lelang.
(2) Dalam hal tidak ada peserta lelang, lelang tetap dilaksanakan dan dibuatkan Risalah Lelang Tidak Ada Penawaran.
Pasal 5
Lelang Eksekusi termasuk tetapi tidak terbatas pada: Lelang Eksekusi Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN), Lelang Eksekusi Pengadilan, Lelang Eksekusi Pajak, Lelang Eksekusi Harta Pailit, Lelang Eksekusi Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT), Lelang Eksekusi Benda Sitaan Pasal 45 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Lelang Eksekusi Barang Rampasan, Lelang Eksekusi Jaminan Fidusia, Lelang Eksekusi Barang yang Dinyatakan Tidak Dikuasai atau Barang yang Dikuasai Negara-Bea Cukai, Lelang Barang Temuan, Lelang Eksekusi Gadai, Lelang Eksekusi Benda Sitaan Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Pasal 6
Lelang Noneksekusi Wajib termasuk tetapi tidak terbatas pada: Lelang Barang Milik Negara/Daerah, Lelang Barang Milik Badan Usaha Milik Negara/Daerah (BUMN/D), Lelang Barang Yang Menjadi Milik Negara-Bea Cukai, Lelang Benda Berharga Asal Muatan Kapal Yang Tenggelam (BMKT), dan Lelang Kayu dan Hasil Hutan Lainnya dari tangan pertama.
Pasal 7
Lelang Noneksekusi Sukarela termasuk tetapi tidak terbatas pada: Lelang Barang Milik BUMN/D berbentuk Persero, Lelang harta milik bank dalam likuidasi kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan, Lelang Barang Milik Perwakilan Negara Asing, dan Lelang Barang Milik Swasta.
BAB II
PEJABAT LELANG
Pasal 8
(1) Pejabat Lelang terdiri dari:
a. Pejabat Lelang Kelas I; dan
b. Pejabat Lelang Kelas II.
(2) Pejabat Lelang Kelas I berwenang melaksanakan lelang untuk semua jenis lelang atas permohonan Penjual/Pemilik Barang.
(3) Pejabat Lelang Kelas II berwenang melaksanakan lelang Noneksekusi Sukarela atas permohonan Balai Lelang atau Penjual/Pemilik Barang.
Pasal 9
Ketentuan lebih lanjut mengenai Pejabat Lelang Kelas I, Pejabat Lelang Kelas II dan Balai Lelang, diatur dengan Peraturan Menteri.
BAB III
PERSIAPAN LELANG
Bagian Kesatu
Permohonan Lelang
Pasal 10
(1) Penjual/Pemilik Barang yang bermaksud melakukan penjualan barang secara lelang melalui KPKNL, harus mengajukan surat permohonan lelang secara tertulis kepada Kepala KPKNL untuk dimintakan jadwal pelaksanaan lelang, disertai dokumen persyaratan lelang sesuai dengan jenis lelangnya.
(2) Dalam hal Lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa Lelang Eksekusi Panitia Urusan Piutang Negara, permohonan lelang diajukan dalam bentuk Nota Dinas oleh Kepala Seksi Piutang Negara KPKNL kepada Kepala KPKNL.
(3) Penjual/Pemilik Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menggunakan Balai Lelang untuk memberikan jasa pralelang dan/atau jasa pascalelang.
Pasal 11
(1) Penjual/Pemilik Barang yang bermaksud melakukan penjualan barang secara lelang melalui Balai Lelang atau Kantor Pejabat Lelang Kelas II, harus mengajukan surat permohonan lelang secara tertulis kepada Pemimpin Balai Lelang/Pejabat Lelang Kelas II, disertai dokumen persyaratan lelang sesuai dengan jenis lelangnya.
(2) Dalam hal legalitas formal subjek dan objek lelang telah dipenuhi dan Pemilik Barang telah memberikan kuasa kepada Balai Lelang untuk menjual secara lelang, Pemimpin Balai Lelang mengajukan surat permohonan lelang kepada Kepala KPKNL/Pejabat Lelang Kelas II untuk dimintakan jadwal pelaksanaan lelangnya.
Pasal 12
Kepala KPKNL/Pejabat Lelang Kelas II tidak boleh menolak permohonan lelang yang diajukan kepadanya sepanjang dokumen persyaratan lelang sudah lengkap dan telah memenuhi legalitas formal subjek dan objek lelang.
Pasal 13
(1) Dalam hal terdapat gugatan terhadap objek lelang hak tanggungan dari pihak lain selain debitor/suami atau istri debitor/tereksekusi, pelaksanaan lelang dilakukan berdasarkan titel eksekutorial dari Sertifikat Hak Tanggungan yang memerlukan fiat eksekusi.
(2) Permohonan atas pelaksanaan lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pengadilan Negeri.
Pasal 14
Dalam hal terdapat permohonan lelang eksekusi dari kreditur pemegang hak agunan kebendaan yang terkait dengan putusan pernyataan pailit, maka pelaksanaan lelang dilakukan dengan memperhatikan Undang-Undang Kepailitan.
Pasal 15
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara permohonan lelang dan dokumen persyaratan lelang diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal.
Bagian Kedua
Penjual/Pemilik Barang
Pasal 16
(1) Penjual/Pemilik Barang bertanggung jawab terhadap:
a. keabsahan kepemilikan barang;
b. keabsahan dokumen persyaratan lelang;
c. penyerahan barang bergerak dan/atau barang tidak bergerak; dan
d. dokumen kepemilikan kepada Pembeli.
(2) Penjual/Pemilik Barang bertanggung jawab terhadap gugatan perdata maupun tuntutan pidana yang timbul akibat tidak dipenuhinya peraturan perundang-undangan di bidang lelang.
(3) Penjual/Pemilik Barang bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi terhadap kerugian yang timbul karena ketidakabsahan barang dan dokumen persyaratan lelang.
(4) Penjual/Pemilik Barang harus menguasai fisik barang bergerak yang akan dilelang, kecuali barang tak berwujud, termasuk tetapi tidak terbatas pada saham tanpa warkat, hak tagih, hak cipta, merek, dan/atau hak paten.
(5) Dalam hal yang dilelang berupa barang tak berwujud sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Penjual/Pemilik Barang harus menyebutkan jenis barang yang dilelang dalam surat permohonan lelang.
Pasal 17
(1) Penjual/Pemilik Barang dapat mengajukan syarat-syarat lelang tambahan sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, termasuk tetapi tidak terbatas pada:
a. jangka waktu bagi peserta lelang untuk melihat, meneliti secara fisik barang yang akan dilelang;
b. jangka waktu pengambilan barang oleh Pembeli; dan/atau
c. jadwal penjelasan lelang kepada peserta lelang sebelum pelaksanaan lelang (aanwijzing).
(2) Syarat-syarat lelang tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampirkan dalam surat permohonan lelang.
Pasal 18
(1) Penjual/Pemilik Barang wajib memperlihatkan atau menyerahkan asli dokumen kepemilikan kepada Pejabat Lelang paling lama 1 (satu) hari kerja sebelum pelaksanaan lelang, kecuali Lelang Eksekusi yang menurut peraturan perundang-undangan tetap dapat dilaksanakan meskipun asli dokumen kepemilikannya tidak dikuasai oleh Penjual.
(2) Dalam hal Penjual/Pemilik Barang menyerahkan asli dokumen kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Pejabat Lelang, Pejabat Lelang wajib memperlihatkannya kepada Peserta Lelang sebelum lelang dimulai.
(3) Dalam hal Penjual/Pemilik Barang tidak menyerahkan asli dokumen kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Pejabat Lelang, Penjual/Pemilik Barang wajib memperlihatkannya kepada Peserta Lelang sebelum lelang dimulai.
Bagian Ketiga
Tempat Pelaksanaan Lelang
Pasal 19
Tempat pelaksanaan lelang harus dalam wilayah kerja KPKNL atau wilayah jabatan Pejabat Lelang Kelas II tempat barang berada.
Pasal 20
(1) Pengecualian terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 hanya dapat dilaksanakan setelah mendapat persetujuan tertulis dari pejabat yang berwenang, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan.
(2) Pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain:
a. Direktur Jenderal atas nama Menteri untuk barang yang berada di luar wilayah Republik Indonesia;
b. Direktur Lelang atas nama Direktur Jenderal untuk barang yang berada dalam wilayah antar Kantor Wilayah; atau
c. Kepala Kantor Wilayah setempat untuk barang yang berada dalam wilayah Kantor Wilayah setempat.
(3) Permohonan persetujuan pelaksanaan lelang atas barang yang berada di luar wilayah kerja KPKNL atau di luar wilayah jabatan Pejabat Lelang Kelas II, diajukan oleh Penjual kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dengan syarat sebagian barang harus berada di dalam wilayah kerja KPKNL/Pejabat Lelang Kelas II tempat lelang yang dikehendaki.
(4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal persetujuan dan dilampirkan pada Surat Permohonan Lelang.
Bagian Keempat
Waktu Pelaksanaan Lelang
Pasal 21
(1) Waktu pelaksanaan lelang ditetapkan oleh Kepala KPKNL atau Pejabat Lelang Kelas II.
(2) Waktu pelaksanaan lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada jam dan hari kerja KPKNL, kecuali untuk Lelang Noneksekusi Sukarela, dapat dilaksanakan di luar jam dan hari kerja dengan persetujuan tertulis Kepala Kantor Wilayah setempat.
(3) Surat permohonan persetujuan pelaksanaan lelang di luar jam dan hari kerja diajukan oleh Penjual/Pemilik Barang.
(4) Surat persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilampirkan pada Surat Permohonan Lelang.
Bagian Kelima
Surat Keterangan Tanah (SKT)
Pasal 22
(1) Pelaksanaan lelang atas tanah atau tanah dan bangunan wajib dilengkapi dengan SKT dari Kantor Pertanahan setempat.
(2) Permintaan penerbitan SKT kepada Kepala Kantor Pertanahan setempat diajukan oleh Kepala KPKNL atau Pejabat Lelang Kelas II.
(3) Dalam hal tanah atau tanah dan bangunan yang akan dilelang belum terdaftar di Kantor Pertanahan setempat, Kepala KPKNL atau Pejabat Lelang Kelas II mensyaratkan kepada Penjual untuk meminta Surat Keterangan dari Lurah/Kepala Desa yang menerangkan status kepemilikan.
(4) Berdasarkan Surat Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Kepala KPKNL atau Pejabat Lelang Kelas II meminta SKT ke Kantor Pertanahan setempat.
(5) Biaya pengurusan SKT menjadi tanggung jawab Penjual/Pemilik Barang.
Pasal 23
(1) SKT dapat digunakan berkali-kali apabila tidak ada perubahan data fisik atau data yuridis dari tanah atau tanah dan bangunan yang akan dilelang, sepanjang dokumen kepemilikan dikuasai oleh Penjual.
(2) Dalam hal tidak ada perubahan data fisik atau data yuridis dari tanah atau tanah dan bangunan yang akan dilelang ulang, Penjual harus mencantumkan dalam surat permohonan lelang.
(3) Dalam hal terjadi perubahan data fisik atau data yuridis dari tanah atau tanah dan bangunan yang akan dilelang ulang, Penjual harus menginformasikan secara tertulis hal tersebut kepada Kepala KPKNL atau Pejabat Lelang Kelas II untuk dimintakan SKT baru.
(4) Dalam hal dokumen kepemilikan tidak dikuasai oleh Penjual, setiap dilaksanakan lelang harus dimintakan SKT baru.
Bagian Keenam
Pembatalan Sebelum Lelang
Pasal 24
Lelang yang akan dilaksanakan hanya dapat dibatalkan dengan permintaan Penjual atau penetapan provisional atau putusan dari lembaga peradilan umum.
Pasal 25
(1) Pembatalan lelang dengan putusan/penetapan pengadilan disampaikan secara tertulis dan harus sudah diterima oleh Pejabat Lelang paling lama sebelum lelang dimulai.
(2) Dalam hal terjadi pembatalan sebelum lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penjual dan Pejabat Lelang harus mengumumkan kepada Peserta Lelang pada saat pelaksanaan lelang.
Pasal 26
(1) Pembatalan lelang atas permintaan Penjual dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku bagi Penjual.
(2) Pembatalan lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis dan sudah harus diterima oleh Pejabat Lelang paling lama 3 (tiga) hari kerja sebelum pelaksanaan lelang, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan.
(3) Dalam hal terjadi pembatalan sebelum lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penjual harus mengumumkan pembatalan pelaksanaan, paling lama 2 (dua) hari sebelum pelaksanaan lelang, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan.
(4) Pengumuman pembatalan pelaksanaan lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus diumumkan dalam surat kabar harian yang sama dalam hal Pengumuman Lelang dilakukan melalui surat kabar harian.
Pasal 27
Pembatalan lelang sebelum pelaksanaan lelang diluar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dilakukan oleh Pejabat Lelang dalam hal:
a. SKT untuk pelaksanaan lelang tanah atau tanah dan bangunan belum ada;
b. barang yang akan dilelang dalam status sita pidana, khusus Lelang Eksekusi;
c. terdapat gugatan atas rencana pelaksanaan Lelang Eksekusi berdasarkan Pasal 6 UUHT dari pihak lain selain debitor/suami atau istri debitor/tereksekusi;
d. barang yang akan dilelang dalam status sita jaminan/sita eksekusi/sita pidana, khusus Lelang Noneksekusi;
e. tidak memenuhi legalitas formal subjek dan objek lelang karena terdapat perbedaan data pada dokumen persyaratan lelang;
f. Penjual tidak dapat memperlihatkan atau menyerahkan asli dokumen kepemilikan kepada Pejabat Lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18;
g. Penjual tidak hadir pada saat pelaksanaan lelang, kecuali lelang yang dilakukan melalui internet;
h. Pengumuman Lelang yang dilaksanakan Penjual tidak dilaksanakan sesuai peraturan perundang-undangan;
i. keadaan memaksa (force majeur)/kahar;
j. Nilai Limit yang dicantumkan dalam Pengumuman Lelang tidak sesuai dengan surat penetapan Nilai Limit yang dibuat oleh Penjual/Pemilik Barang; atau
k. Penjual tidak menguasai secara fisik barang bergerak yang dilelang.
Pasal 28
Dalam hal terjadi pembatalan lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dan Pasal 27, Peserta Lelang yang telah menyetorkan Uang Jaminan Penawaran Lelang tidak berhak menuntut ganti rugi.
Bagian Ketujuh
Uang Jaminan Penawaran Lelang
Pasal 29
(1) Setiap lelang disyaratkan adanya uang jaminan penawaran lelang.
(2) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat tidak diberlakukan pada Lelang Kayu dan Hasil Hutan Lainnya dari tangan pertama dan Lelang Noneksekusi Sukarela.
Pasal 30
(1) Penyetoran Uang Jaminan Penawaran Lelang dilakukan:
a. melalui rekening KPKNL atau langsung ke Bendahara Penerimaan KPKNL atau Pejabat Lelang Kelas I untuk lelang yang diselenggarakan oleh KPKNL;
b. melalui rekening Balai Lelang atau langsung ke Balai Lelang untuk jenis Lelang Noneksekusi Sukarela, yang diselenggarakan oleh Balai Lelang dan dilaksanakan oleh Pejabat Lelang Kelas I/Pejabat Lelang Kelas II; atau
c. melalui rekening khusus atas nama jabatan Pejabat Lelang Kelas II atau langsung ke Pejabat Lelang Kelas II untuk lelang yang diselenggarakan oleh Pejabat Lelang Kelas II.
(2) Dalam setiap pelaksanaan Lelang, 1 (satu) penyetoran Uang Jaminan Penawaran Lelang hanya berlaku untuk 1 (satu) barang atau paket barang yang ditawar.
Pasal 31
(1) Uang Jaminan Penawaran Lelang dengan jumlah paling banyak Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) dapat disetorkan secara langsung kepada Bendahara Penerimaan KPKNL, Pejabat Lelang Kelas I, Balai Lelang atau Pejabat Lelang Kelas II paling lama sebelum lelang dimulai.
(2) Lelang dengan Uang Jaminan Penawaran Lelang di atas Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) harus disetorkan melalui rekening Bendahara Penerimaan KPKNL, rekening Balai Lelang atau rekening khusus atas nama jabatan Pejabat Lelang Kelas II paling lama 1 (satu) hari kerja sebelum pelaksanaan lelang harus sudah efektif pada rekening tersebut.
Pasal 32
Besarnya Uang Jaminan Penawaran Lelang ditentukan oleh Penjual/Pemilik Barang paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari Nilai Limit dan paling banyak sama dengan Nilai Limit.
Pasal 33
(1) Uang Jaminan Penawaran Lelang yang telah disetorkan, dikembalikan seluruhnya tanpa potongan kepada peserta lelang yang tidak disahkan sebagai Pembeli.
(2) Pengembalian Uang Jaminan Penawaran Lelang paling lama 1 (satu) hari kerja sejak permintaan pengembalian dari Peserta Lelang diterima.
(3) Permintaan pengembalian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disertai penyerahan asli bukti setor dan fotokopi identitas dengan menunjukkan aslinya serta dokumen pendukung lainnya.
(4) Uang Jaminan Penawaran Lelang dari Peserta Lelang yang disahkan sebagai Pembeli, akan diperhitungkan dengan pelunasan seluruh kewajibannya sesuai dengan ketentuan lelang.
Pasal 34
(1) Dalam pelaksanaan Lelang Eksekusi dan Lelang Noneksekusi Wajib, jika Pembeli tidak melunasi Kewajiban Pembayaran Lelang sesuai ketentuan (wanprestasi), Uang Jaminan Penawaran Lelang disetorkan seluruhnya ke Kas Negara dalam waktu 1 (satu) hari kerja setelah pembatalan penunjukan Pembeli oleh Pejabat Lelang.
(2) Dalam pelaksanaan Lelang Noneksekusi Sukarela yang diselenggarakan oleh KPKNL, jika Pembeli tidak melunasi Kewajiban Pembayaran Lelang sesuai ketentuan (wanprestasi), Uang Jaminan Penawaran Lelang disetorkan sebesar 50% (lima puluh persen) ke Kas Negara dalam waktu 1 (satu) hari kerja setelah pembatalan penunjukan Pembeli oleh Pejabat Lelang, dan sebesar 50% (lima puluh persen) menjadi milik Pemilik Barang.
(3) Dalam pelaksanaan Lelang Noneksekusi Sukarela yang diselenggarakan oleh Balai Lelang bekerjasama dengan Pejabat Lelang Kelas I, jika Pembeli tidak melunasi Kewajiban Pembayaran Lelang sesuai ketentuan (wanprestasi), Uang Jaminan Penawaran Lelang disetorkan sebesar 50% (lima puluh persen) ke Kas Negara dalam waktu 1 (satu) hari kerja setelah pembatalan penunjukan Pembeli oleh Pejabat Lelang, dan sebesar 50% (lima puluh persen) menjadi milik Pemilik Barang dan/atau Balai Lelang sesuai kesepakatan antara Pemilik Barang dan Balai Lelang.
(4) Dalam pelaksanaan lelang yang diselenggarakan oleh Balai Lelang bekerjasama dengan Pejabat Lelang Kelas II, jika Pembeli tidak melunasi Kewajiban Pembayaran Lelang sesuai ketentuan (wanprestasi), Uang Jaminan Penawaran Lelang menjadi milik Pemilik Barang dan/atau Balai Lelang sesuai kesepakatan antara Pemilik Barang dan Balai Lelang.
(5) Dalam pelaksanaan lelang yang diselenggarakan Pejabat Lelang Kelas II, jika Pembeli tidak melunasi Kewajiban Pembayaran Lelang sesuai ketentuan (wanprestasi), Uang Jaminan Penawaran Lelang menjadi milik Pemilik Barang dan/atau Pejabat Lelang Kelas II sesuai kesepakatan antara Pemilik Barang dan Pejabat Lelang Kelas II.
Bagian Kedelapan
Nilai Limit
Pasal 35
(1) Setiap pelaksanaan lelang disyaratkan adanya Nilai Limit.
(2) Penetapan Nilai Limit menjadi tanggung jawab Penjual/Pemilik Barang.
(3) Persyaratan adanya Nilai Limit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat tidak diberlakukan pada Lelang Noneksekusi Sukarela atas barang bergerak milik orang atau badan hukum/badan usaha swasta.
Pasal 36
(1) Penjual/Pemilik Barang dalam menetapkan Nilai Limit, berdasarkan:
a. penilaian oleh Penilai; atau
b. penaksiran oleh Penaksir/Tim Penaksir.
(2) Penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan pihak yang melakukan penilaian secara independen berdasarkan kompetensi yang dimilikinya.
(3) Penaksir/Tim Penaksir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan pihak yang berasal dari instansi atau perusahaan Penjual, yang melakukan penaksiran berdasarkan metode yang dapat dipertanggungjawabkan, termasuk kurator untuk benda seni dan benda antik/kuno.
(4) Nilai Limit pada Lelang Noneksekusi Sukarela atas barang bergerak milik orang, badan hukum/badan usaha swasta yang menggunakan Nilai Limit ditetapkan oleh Pemilik Barang.
(5) Dalam hal bank kreditor akan ikut menjadi peserta pada Lelang Eksekusi berdasarkan Pasal 6 UUHT, Nilai Limit harus ditetapkan oleh Penjual berdasarkan hasil penilaian dari Penilai.
Pasal 37
(1) Nilai Limit bersifat tidak rahasia.
(2) Untuk Lelang Eksekusi, Lelang Noneksekusi Wajib, dan Lelang Non Eksekusi Sukarela atas barang tidak bergerak, Nilai Limit harus dicantumkan dalam pengumuman lelang.
(3) Untuk lelang kayu dan hasil hutan lainnya dari tangan pertama serta lelang Noneksekusi Sukarela barang bergerak, Nilai Limit dapat tidak dicantumkan dalam pengumuman lelang.
Pasal 38
Dalam hal pelaksanaan Lelang Ulang, Nilai Limit pada lelang sebelumnya dapat diubah oleh Penjual/Pemilik Barang dengan menyebutkan alasan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Pasal 39
Nilai Limit dibuat secara tertulis dan diserahkan oleh Penjual kepada Pejabat Lelang paling lambat sebelum lelang dimulai.
Pasal 40
Ketentuan lebih lanjut mengenai Nilai Limit diatur dengan peraturan Direktur Jenderal.
Bagian Kesembilan
Pengumuman Lelang
Pasal 41
(1) Penjualan secara lelang wajib didahului dengan Pengumuman Lelang yang dilakukan oleh Penjual.
(2) Penjual harus menyerahkan bukti Pengumuman Lelang sesuai ketentuan kepada Pejabat Lelang.
Pasal 42
(1) Pengumuman Lelang paling sedikit memuat:
a. identitas Penjual;
b. hari, tanggal, waktu dan tempat pelaksanaan lelang dilaksanakan;
c. jenis dan jumlah barang;
d. lokasi, luas tanah, jenis hak atas tanah, dan ada/tidak adanya bangunan, khusus untuk barang tidak bergerak berupa tanah dan/atau bangunan;
e. spesifikasi barang, khusus untuk barang bergerak;
f. waktu dan tempat melihat barang yang akan dilelang;
g. Uang Jaminan Penawaran Lelang meliputi besaran, jangka waktu, cara dan tempat penyetoran, dalam hal dipersyaratkan adanya Uang Jaminan Penawaran Lelang;
h. Nilai Limit, kecuali Lelang Kayu dan Hasil Hutan Lainnya dari tangan pertama dan Lelang Noneksekusi Sukarela untuk barang bergerak;
i. cara penawaran lelang; dan
j. jangka waktu Kewajiban Pembayaran Lelang oleh Pembeli.
(2) Pengumuman Lelang diatur sedemikian rupa sehingga terbit pada hari kerja KPKNL dan tidak menyulitkan peminat lelang melakukan penyetoran Uang Jaminan Penawaran Lelang.
Pasal 43
(1) Pengumuman Lelang dilaksanakan melalui surat kabar harian yang terbit di kota/kabupaten tempat barang berada.
(2) Dalam hal tidak ada surat kabar harian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pengumuman Lelang diumumkan dalam surat kabar harian yang terbit di kota/kabupaten terdekat atau di ibukota propinsi atau ibu kota negara dan beredar di wilayah kerja KPKNL atau wilayah jabatan Pejabat Lelang Kelas II tempat barang akan dilelang.
(3) Pengumuman Lelang melalui surat kabar harian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus mempunyai tiras/oplah:
a. paling rendah 5.000 (lima ribu) eksemplar, jika dilakukan dengan surat kabar harian yang terbit di kota/kabupaten; atau
b. paling rendah 15.000 (lima belas ribu) eksemplar, jika dilakukan dengan surat kabar harian yang terbit di ibukota propinsi; atau
c. paling rendah 20.000 (dua puluh ribu) eksemplar, jika dilakukan dengan surat kabar harian yang terbit di ibukota negara.
(4) Dalam hal di suatu daerah tidak terdapat surat kabar harian yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pengumuman Lelang dilakukan pada surat kabar harian yang diperkirakan mempunyai tiras/oplah paling tinggi.
(5) Pengumuman Lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), harus dicantumkan dalam halaman utama/reguler dan tidak dapat dicantumkan pada halaman suplemen/tambahan/khusus.
(6) Penjual dapat menambah Pengumuman Lelang pada media lainnya guna mendapatkan peminat lelang seluas-luasnya.
Pasal 44
(1) Pengumuman Lelang untuk Lelang Eksekusi terhadap barang tidak bergerak atau barang tidak bergerak yang dijual bersama-sama dengan barang bergerak, dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. pengumuman dilakukan 2 (dua) kali, jangka waktu Pengumuman Lelang pertama ke Pengumuman Lelang kedua berselang 15 (lima belas) hari dan diatur sedemikian rupa sehingga Pengumuman Lelang kedua tidak jatuh pada hari libur/hari besar;
b. pengumuman pertama diperkenankan tidak menggunakan surat kabar harian, tetapi dengan cara pengumuman melalui selebaran, tempelan yang mudah dibaca oleh umum, dan/atau melalui media elektronik termasuk Internet, namun demikian dalam hal dikehendaki oleh Penjual, dapat dilakukan melalui surat kabar harian; dan
c. Pengumuman kedua harus dilakukan melalui surat kabar harian dan dilakukan paling singkat 14 (empat belas) hari sebelum pelaksanaan lelang.
(2) Pengumuman Lelang untuk Lelang Eksekusi terhadap barang bergerak dilakukan 1 (satu) kali melalui surat kabar harian paling singkat 6 (enam) hari sebelum pelaksanaan lelang, kecuali:
a. lelang barang yang lekas rusak/busuk atau yang membahayakan atau jika biaya penyimpanan barang tersebut terlalu tinggi, dapat dilakukan kurang dari 6 (enam) hari tetapi tidak boleh kurang dari 2 (dua) hari kerja; dan
b. lelang ikan dan sejenisnya dapat dilakukan kurang dari 6 (enam) hari tetapi tidak boleh kurang dari 1 (satu) hari kerja.
Pasal 45
(1) Pengumuman Lelang Eksekusi terhadap barang bergerak yang Nilai Limit keseluruhannya paling banyak Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) dalam 1 (satu) kali lelang, dapat dilakukan melalui surat kabar harian dalam bentuk iklan baris paling singkat 6 (enam) hari sebelum hari pelaksanaan lelang.
(2) Pengumuman Lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ditambahkan Pengumuman Lelang tempelan pada hari yang sama untuk ditempel di tempat yang mudah dibaca oleh umum atau paling kurang pada papan pengumuman di KPKNL dan di Kantor Penjual, yang memuat hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1).
(3) Pengumuman Lelang dalam bentuk iklan baris melalui surat kabar harian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat identitas Penjual, nama barang yang dilelang, tempat dan waktu lelang, serta informasi adanya Pengumuman Lelang tempelan.
Pasal 46
Khusus Pengumuman Lelang Eksekusi Pajak untuk barang bergerak diumumkan paling singkat 14 (empat belas) hari sebelum hari pelaksanaan lelang dengan ketentuan sebagai berikut:
a. untuk pelaksanaan lelang dengan Nilai Limit keseluruhan paling banyak Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) dalam 1 (satu) kali lelang, pengumuman lelang dapat dilakukan 1 (satu) kali melalui tempelan yang mudah dibaca oleh umum dan/atau melalui media elektronik;
b. untuk pelaksanaan lelang dengan Nilai Limit keseluruhan lebih dari Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) dalam 1 (satu) kali lelang, pengumuman lelang dilakukan 1 (satu) kali melalui surat kabar harian.
Pasal 47
(1) Pengumuman Lelang untuk pelaksanaan Lelang Eksekusi yang diulang, dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. lelang barang tidak bergerak atau barang bergerak yang dijual bersama-sama dengan barang tidak bergerak, dilakukan dengan cara:
1) Pengumuman Lelang Ulang dilakukan 1 (satu) kali melalui surat kabar harian paling singkat 7 (tujuh) hari sebelum pelaksanaan lelang, jika waktu pelaksanaan lelang ulang dimaksud tidak melebihi 60 (enam puluh) hari sejak pelaksanaan lelang terdahulu atau sejak pelaksanaan lelang terakhir; atau
2) Pengumuman Lelang Ulang berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1), jika waktu pelaksanaan lelang ulang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari sejak pelaksanaan lelang terdahulu atau sejak pelaksanaan lelang terakhir.
b. lelang barang bergerak, pengumuman Lelang Ulang dilakukan sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2).
(2) Pengumuman Lelang Ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menunjuk Pengumuman Lelang terakhir.
Pasal 48
(1) Pengumuman Lelang untuk Lelang Noneksekusi Wajib dan Lelang Noneksekusi Sukarela dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. barang tidak bergerak atau barang bergerak yang dijual bersama-sama dengan barang tidak bergerak, dilakukan 1 (satu) kali melalui surat kabar harian paling singkat 7 (tujuh) hari sebelum pelaksanaan lelang;
b. barang bergerak dilakukan 1 (satu) kali melalui surat kabar harian paling singkat 5 (lima) hari sebelum pelaksanaan lelang.
(2) Pengumuman Lelang untuk Lelang Noneksekusi Wajib dan Lelang Noneksekusi Sukarela yang diulang berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 49
(1) Pengumuman Lelang untuk pelaksanaan Lelang Noneksekusi Wajib dan Lelang Noneksekusi Sukarela yang Nilai Limit keseluruhannya paling banyak Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) dalam 1 (satu) kali lelang, dapat dilakukan 1 (satu) kali melalui tempelan yang mudah dibaca oleh umum dan/atau melalui media elektronik, paling singkat 5 (lima) hari sebelum hari pelaksanaan lelang.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku dalam hal ada permintaan tertulis dari Penjual dengan menyebutkan alasan mengumumkan melalui tempelan yang mudah dibaca oleh umum dan/atau melalui media elektronik dan disetujui oleh Kepala KPKNL atau Pejabat Lelang Kelas II.
(3) Pengumuman Lelang untuk pelaksanaan Lelang Noneksekusi Wajib dan Lelang Noneksekusi Sukarela yang diulang dengan Nilai Limit keseluruhan paling banyak Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) dalam 1 (satu) kali lelang, berlaku ketentuan pada ayat (1).
Pasal 50
(1) Pengumuman Lelang untuk pelaksanaan Lelang Noneksekusi Wajib dan Lelang Noneksekusi Sukarela yang sudah terjadwal setiap bulan, dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan, dilakukan paling singkat 7 (tujuh) hari sebelum pelaksanaan lelang pertama.
(2) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat identitas Penjual, barang yang akan dilelang, tempat dan waktu pelaksanaan lelang, serta informasi mengenai adanya pengumuman yang lebih rinci melalui tempelan/selebaran/brosur atau media elektronik.
Pasal 51
(1) Pengumuman Lelang yang pelaksanaan lelangnya dilakukan di luar wilayah kerja KPKNL atau wilayah jabatan Pejabat Lelang Kelas II tempat barang berada, dilakukan di surat kabar harian yang terbit di kota/kabupaten di tempat pelaksanaan lelang dan di tempat barang berada.
(2) Dalam hal pengumuman lelang tidak dapat dilakukan di tempat pelaksanaan lelang dan/atau di tempat barang berada, karena tidak terdapat surat kabar harian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengumuman lelang dilakukan di satu surat kabar harian nasional/ibu kota propinsi yang mempunyai peredaran di tempat pelaksanaan lelang.
(3) Terhadap pelaksanaan lelang yang objek lelangnya tersebar di 3 (tiga) kota atau lebih, pengumuman lelang dapat dilakukan di satu surat kabar harian yang mempunyai peredaran nasional.
Pasal 52
(1) Pengumuman Lelang yang sudah diterbitkan melalui surat kabar harian, atau melalui media lainnya, apabila diketahui terdapat kekeliruan yang prinsipil harus segera diralat.
(2) Kekeliruan yang prinsipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyangkut waktu dan tanggal lelang, spesifikasi barang-barang, atau persyaratan lelang seperti besarnya uang jaminan dan batas waktu penyetoran.
(3) Ralat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diperkenankan dilakukan terhadap hal-hal sebagai berikut:
a. mengubah besarnya Uang Jaminan Penawaran Lelang;
b. memajukan jam dan tanggal pelaksanaan lelang;
c. memajukan batas waktu penyetoran Uang Jaminan Penawaran Lelang; atau
d. memindahkan lokasi dari tempat pelaksanaan lelang semula.
(4) Rencana ralat Pengumuman Lelang diberitahukan secara tertulis kepada Kepala KPKNL atau Pejabat Lelang Kelas II yang bersangkutan paling singkat 2 (dua) hari kerja sebelum pelaksanaan lelang.
(5) Ralat Pengumuman Lelang harus diumumkan melalui surat kabar harian atau media yang sama dengan menunjuk Pengumuman Lelang sebelumnya dan dilakukan paling singkat 1 (satu) hari kerja sebelum hari pelaksanaan lelang.
BAB IV
PELAKSANAAN LELANG
Bagian Kesatu
Pemandu Lelang
Pasal 53
(1) Dalam pelaksanaan lelang, Pejabat Lelang dapat dibantu oleh Pemandu Lelang.
(2) Pemandu Lelang dapat berasal dari Pegawai DJKN atau dari luar DJKN.
(3) Persyaratan menjadi Pemandu Lelang:
a. Pemandu Lelang yang berasal dari Pegawai DJKN:
1) sehat jasmani dan rohani;
2) pendidikan paling rendah Sekolah Menengah Umum atau yang sederajat; dan
3) lulus Diklat Pemandu Lelang atau memiliki kemampuan dan cakap untuk memandu lelang, dan mendapat surat tugas dari Pejabat yang berwenang.
b. Pemandu Lelang yang berasal dari luar DJKN:
1) sehat jasmani dan rohani;
2) pendidikan paling rendah Sekolah Menengah Umum atau yang sederajat; dan
3) memiliki kemampuan dan cakap untuk memandu lelang.
(4) Pemandu Lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat membantu pelaksanaan lelang yang dilakukan oleh Pejabat Lelang Kelas I/Pejabat Lelang Kelas II dan diberitahukan secara tertulis oleh Penjual/Balai Lelang kepada Kepala KPKNL atau Pejabat Lelang Kelas II paling singkat 3 (tiga) hari kerja sebelum pelaksanaan lelang.
(5) Dalam hal pelaksanaan lelang dibantu oleh Pemandu Lelang, Pemandu Lelang mendapat kuasa khusus secara tertulis dari Pejabat Lelang untuk menawarkan barang dengan ketentuan Pejabat Lelang harus tetap mengawasi dan memperhatikan pelaksanaan lelang dan/atau penawaran lelang oleh Pemandu Lelang.
Bagian Kedua
Penawaran Lelang
Pasal 54
Penawaran Lelang Langsung dan/atau Penawaran Lelang Tidak Langsung dilakukan dengan cara:
a. lisan, semakin meningkat atau semakin menurun;
b. tertulis; atau
c. tertulis dilanjutkan dengan lisan, dalam hal penawaran tertinggi belum mencapai Nilai Limit.
Pasal 55
(1) Dalam Penawaran Lelang Langsung, Peserta Lelang yang sah atau kuasanya pada saat pelaksanaan lelang harus hadir di tempat pelaksanaan lelang.
(2) Dalam Penawaran Lelang Tidak Langsung, Peserta Lelang yang sah atau kuasanya pada saat pelaksanaan lelang tidak diharuskan hadir di tempat pelaksanaan lelang dan penawarannya dilakukan dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi.
Pasal 56
(1) Penawaran Lelang dalam Lelang Eksekusi dan Lelang Noneksekusi Wajib harus dilakukan dengan Penawaran Lelang Langsung.
(2) Penawaran Lelang Langsung dapat menggunakan penawaran dengan melalui surat yang dikirim sebelum pelaksanaan lelang.
(3) Penawaran Lelang dalam Lelang Noneksekusi Sukarela dapat dilakukan dengan Penawaran Lelang Langsung atau Penawaran Lelang Tidak Langsung.
Pasal 57
(1) Dalam hal penawaran lelang tidak langsung secara lisan, Peserta Lelang mengajukan penawaran dengan menggunakan media audio visual dan telepon.
(2) Dalam hal penawaran lelang tidak langsung secara tertulis, Peserta Lelang mengajukan penawaran dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi antara lain: LAN (local area network), Intranet, Internet, pesan singkat (short message service/SMS), dan faksimili.
Pasal 58
(1) Penawaran Lelang Tidak Langsung dalam Lelang Noneksekusi Sukarela melalui Internet, harus memenuhi ketentuan di bawah ini, termasuk tetapi tidak terbatas pada:
a. menggunakan perangkat lunak yang khusus untuk penyelenggaraan lelang melalui Internet dengan harga semakin meningkat;
b. Peserta Lelang yang sah mendapatkan nomor Peserta Lelang dan sandi akses (password) sehingga dapat melakukan penawaran;
c. penawaran dilakukan secara berkesinambungan sejak waktu yang ditetapkan sampai dengan penutupan penawaran sebagaimana disebutkan dalam Pengumuman Lelang;
d. Nilai Limit bersifat terbuka/tidak rahasia dan harus ditayangkan dalam situs;
e. Peserta Lelang dapat mengetahui penawaran tertinggi yang diajukan oleh Peserta Lelang lainnya secara berkesinambungan; dan
f. Pejabat Lelang mengesahkan penawar tertinggi sebagai Pembeli berdasarkan cetakan rekapitulasi yang diproses perangkat lunak lelang melalui Internet pada saat penutupan penawaran.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan lelang melalui Internet diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 59
(1) Penawaran lelang yang diselenggarakan KPKNL dapat dilakukan dengan Harga Lelang inklusif atau dengan Harga Lelang eksklusif.
(2) Lelang dengan Harga Lelang inklusif dilakukan dengan harga penawaran sudah termasuk Bea Lelang pembeli.
(3) Lelang dengan Harga Lelang eksklusif dilakukan dengan harga penawaran belum termasuk Bea Lelang pembeli.
Pasal 60
(1) Setiap Peserta Lelang wajib melakukan penawaran dan penawaran tersebut paling sedikit sama dengan Nilai limit dalam hal lelang dengan Nilai Limit diumumkan.
(2) Penawaran yang telah disampaikan oleh Peserta Lelang kepada Pejabat Lelang tidak dapat diubah atau dibatalkan oleh Peserta Lelang.
(3) Dalam hal Peserta Lelang tidak melakukan penawaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenakan sanksi tidak diperbolehkan mengikuti lelang selama 3 (tiga) bulan di wilayah kerja KPKNL yang melaksanakan lelang.
Pasal 61
Dalam hal terdapat beberapa Peserta Lelang yang mengajukan penawaran tertinggi secara lisan semakin menurun atau tertulis dengan nilai yang sama dan/atau telah mencapai atau melampaui Nilai Limit dalam lelang yang menggunakan Nilai Limit, Pejabat Lelang berhak mengesahkan Pembeli dengan cara:
a. melakukan penawaran lanjutan hanya terhadap Peserta Lelang yang mengajukan penawaran sama, yang dilakukan secara lisan semakin meningkat atau tertulis berdasarkan persetujuan Peserta Lelang bersangkutan; atau
b. melakukan pengundian di antara Peserta Lelang yang mengajukan penawaran sama apabila ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a tidak dapat dilaksanakan.
Pasal 62
(1) Pemohon Lelang/Penjual menentukan cara penawaran lelang dengan mencantumkan dalam Pengumuman Lelang.
(2) Dalam hal Pemohon Lelang/Penjual tidak menentukan cara penawaran lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala KPKNL/Pejabat Lelang Kelas I atau Pejabat Lelang Kelas II berhak menentukan sendiri cara penawaran lelang.
Pasal 63
Ketentuan lebih lanjut mengenai penawaran lelang diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal.
Bagian Ketiga
Bea Lelang dan Uang Miskin
Pasal 64
Setiap pelaksanaan lelang dikenakan Bea Lelang dan Uang Miskin sesuai Peraturan Pemerintah tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Kementerian Keuangan.
Pasal 65
(1) Pembatalan terhadap rencana pelaksanaan lelang yang dilakukan oleh Penjual dalam jangka waktu kurang dari 5 (lima) hari kerja sebelum hari pelaksanaan lelang dikenakan Bea Lelang Batal sesuai Peraturan Pemerintah tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Kementerian Keuangan, kecuali lelang Barang Milik Negara/Daerah.
(2) Bea Lelang Batal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibayar oleh Penjual.
(3) Bea Lelang Batal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dikenakan dalam hal terdapat pembatalan lelang karena adanya putusan/penetapan lembaga peradilan atau pembatalan oleh Pejabat Lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 27.
Bagian Keempat
Pembeli
Pasal 66
(1) Pejabat Lelang mengesahkan penawar tertinggi yang telah mencapai atau melampaui Nilai Limit sebagai Pembeli, dalam pelaksanaan lelang yang menggunakan Nilai Limit.
(2) Pejabat Lelang mengesahkan penawar tertinggi sebagai Pembeli dalam pelaksanaan Lelang Noneksekusi Sukarela yang tidak menggunakan Nilai Limit.
(3) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam pelaksanaan Lelang Noneksekusi Sukarela yang penawar tertinggi tidak mencapai Nilai Limit, Pejabat Lelang dapat mengesahkan penawar dimaksud sebagai Pembeli, setelah mendapat persetujuan tertulis dari Pemilik Barang.
Pasal 67
Pembeli dilarang mengambil/menguasai barang yang dibelinya sebelum memenuhi Kewajiban Pembayaran Lelang dan pajak/pungutan sah lainnya sesuai peraturan perundang-undangan.
Pasal 68
(1) Peserta Lelang yang bertindak untuk orang lain atau badan hukum atau badan usaha harus menyampaikan surat kuasa yang bermaterai cukup kepada Pejabat Lelang dengan dilampiri fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP)/Surat Izin Mengemudi (SIM)/Paspor pemberi kuasa dan penerima kuasa dengan menunjukkan aslinya.
(2) Penerima kuasa dilarang menerima lebih dari satu kuasa untuk barang yang sama.
Pasal 69
(1) Pejabat Lelang dan keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas dan ke bawah derajat pertama, suami/istri serta saudara sekandung Pejabat Lelang, Pejabat Penjual, Pemandu Lelang, Hakim, Jaksa, Panitera, Juru Sita, Pengacara/Advokat, Notaris, PPAT, Penilai, Pegawai DJKN, Pegawai Balai Lelang dan Pegawai Kantor Pejabat Lelang Kelas II yang terkait langsung dengan proses lelang dilarang menjadi peserta lelang.
(2) Selain pihak-pihak yang dimaksud pada ayat (1), pada pelaksanaan Lelang Eksekusi, pihak tereksekusi/debitor/tergugat/terpidana yang terkait dengan lelang dilarang menjadi peserta lelang.
Pasal 70
(1) Sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan, bank sebagai kreditor dapat membeli agunannya melalui lelang, dengan ketentuan menyampaikan surat pernyataan dalam bentuk Akte Notaris, bahwa pembelian tersebut dilakukan untuk pihak lain yang akan ditunjuk kemudian dalam jangka waktu 1 (satu) tahun terhitung mulai tanggal pelaksanaan lelang.
(2) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah terlampaui, bank ditetapkan sebagai Pembeli.
Bagian Kelima
Pembayaran dan Penyetoran
Pasal 71
(1) Pembayaran Harga Lelang dan Bea Lelang harus dilakukan secara tunai/cash atau cek/giro paling lama 3 (tiga) hari kerja setelah pelaksanaan lelang.
(2) Pengecualian jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hanya diberikan untuk pembayaran Harga Lelang setelah Penjual mendapat izin tertulis dari Direktur Jenderal atas nama Menteri dan harus dicantumkan dalam pengumuman lelang.
(3) Dalam hal Pembayaran Harga Lelang dilakukan melebihi 3 (tiga) hari kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penyetoran Bea Lelang tetap dilakukan paling lama 3 (tiga) hari kerja setelah pelaksanaan lelang.
Pasal 72
(1) Pelunasan Kewajiban Pembayaran Lelang oleh Pembeli dilakukan melalui rekening KPKNL/Balai Lelang/rekening khusus atas nama jabatan Pejabat Lelang Kelas II atau secara langsung kepada Bendahara Penerimaan KPKNL/Pejabat Lelang Kelas I/Balai Lelang/Pejabat Lelang Kelas II.
(2) Dalam hal Pelunasan Kewajiban Pembayaran Lelang oleh Pembeli dilakukan dengan cek/giro, pembayaran harus sudah diterima efektif pada rekening KPKNL/Balai Lelang/rekening khusus atas nama jabatan Pejabat Lelang Kelas II paling lama 3 (tiga) hari kerja setelah pelaksanaan lelang atau dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (2).
(3) Setiap Pelunasan Kewajiban Pembayaran Lelang oleh Pembeli harus dibuatkan kuitansi atau tanda bukti pembayaran oleh Bendahara Penerimaan KPKNL/Pejabat Lelang Kelas I/Balai Lelang/Pejabat Lelang Kelas II.
Pasal 73
(1) Dalam hal Pembeli tidak melunasi Kewajiban Pembayaran Lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, pada hari kerja berikutnya Pejabat Lelang harus membatalkan pengesahannya sebagai Pembeli dengan membuat Pernyataan Pembatalan.
(2) Pembeli yang tidak dapat memenuhi kewajibannya setelah disahkan sebagai Pembeli Lelang, tidak diperbolehkan mengikuti lelang di seluruh wilayah Indonesia dalam waktu 6 (enam) bulan.
Pasal 74
(1) Hasil Bersih Lelang atas lelang Barang Milik Negara/Daerah, Barang Temuan, Barang Rampasan dan Barang yang Menjadi Milik Negara-Bea Cukai serta barang-barang yang sesuai peraturan perundang-undangan, harus disetor ke Kas Negara, dilakukan paling lama 1 (satu) hari kerja setelah pembayaran diterima oleh Bendahara Penerimaan KPKNL.
(2) Penyetoran Bea Lelang dan Pajak Penghasilan (PPh) ke Kas Negara paling lama 1 (satu) hari kerja setelah pembayaran diterima oleh Bendahara Penerimaan KPKNL/Balai Lelang/Pejabat Lelang Kelas II.
(3) Penyetoran Hasil Bersih Lelang ke Penjual/Pemilik Barang paling lama 3 (tiga) hari kerja setelah pembayaran diterima oleh Bendahara Penerimaan KPKNL/Balai Lelang/Pejabat Lelang Kelas II.
Pasal 75
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembayaran dan penyetoran diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal.
Bagian Keenam
Penyerahan Dokumen Kepemilikan Barang
Pasal 76
(1) Dalam hal Penjual/Pemilik Barang menyerahkan asli dokumen kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) kepada Pejabat Lelang, Pejabat Lelang harus menyerahkan asli dokumen kepemilikan dan/atau barang yang dilelang kepada Pembeli, paling lama 1 (satu) hari kerja setelah Pembeli menunjukkan bukti pelunasan pembayaran dan menyerahkan bukti setor Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
(2) Dalam hal Penjual/Pemilik Barang tidak menyerahkan asli dokumen kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3) kepada Pejabat Lelang, Penjual/Pemilik Barang harus menyerahkan asli dokumen kepemilikan dan/atau barang yang dilelang kepada Pembeli, paling lama 1 (satu) hari kerja setelah Pembeli menunjukkan bukti pelunasan pembayaran dan menyerahkan bukti setor BPHTB.
BAB V
RISALAH LELANG
Pasal 77
(1) Pejabat Lelang yang melaksanakan lelang wajib membuat berita acara lelang yang disebut Risalah Lelang.
(2) Risalah Lelang terdiri dari:
a. Bagian Kepala;
b. Bagian Badan; dan
c. Bagian Kaki.
(3) Risalah Lelang dibuat dalam Bahasa Indonesia.
(4) Setiap Risalah Lelang diberi nomor urut.
Pasal 78
Bagian Kepala Risalah Lelang paling kurang memuat:
a. hari, tanggal, dan jam lelang ditulis dengan huruf dan angka;
b. nama lengkap dan tempat kedudukan Pejabat Lelang;
c. nomor/tanggal Surat Keputusan Pengangkatan Pejabat Lelang, dan nomor/tanggal surat tugas khusus untuk Pejabat Lelang Kelas I;
d. nama lengkap, pekerjaan dan tempat kedudukan/domisili Penjual;
e. nomor/tanggal surat permohonan lelang;
f. tempat pelaksanaan lelang;
g. sifat barang yang dilelang dan alasan barang tersebut dilelang;
h. dalam hal yang dilelang berupa barang tidak bergerak berupa tanah atau tanah dan bangunan harus disebutkan:
1) status hak atau surat-surat lain yang menjelaskan bukti kepemilikan;
2) SKT dari Kantor Pertanahan; dan
3) keterangan lain yang membebani, apabila ada;
i. dalam hal yang dilelang barang bergerak harus disebutkan jumlah, jenis dan spesifikasi barang;
j. cara Pengumuman Lelang yang telah dilaksanakan oleh Penjual;
k. cara penawaran lelang; dan
i. syarat-syarat lelang.
Pasal 79
Bagian Badan Risalah Lelang paling kurang memuat:
a. banyaknya penawaran lelang yang masuk dan sah;
b. nama/merek/jenis/tipe dan jumlah barang yang dilelang;
c. nama, pekerjaan dan alamat Pembeli atas nama sendiri atau sebagai kuasa atas nama orang lain;
d. bank kreditor sebagai Pembeli untuk orang atau badan hukum/usaha yang akan ditunjuk namanya, dalam hal bank kreditor sebagai Pembeli Lelang;
e. harga lelang dengan angka dan huruf; dan
f. daftar barang yang laku terjual maupun yang ditahan disertai dengan nilai, nama, dan alamat peserta lelang yang menawar tertinggi.
Pasal 80
Bagian Kaki Risalah Lelang paling kurang memuat:
a. banyaknya barang yang ditawarkan/dilelang dengan angka dan huruf;
b. banyaknya barang yang laku/terjual dengan angka dan huruf;
c. jumlah harga barang yang telah terjual dengan angka dan huruf;
d. jumlah harga barang yang ditahan dengan angka dan huruf;
e. banyaknya dokumen/surat-surat yang dilampirkan pada Risalah Lelang dengan angka dan huruf;
f. jumlah perubahan yang dilakukan (catatan, tambahan, coretan dengan penggantinya) maupun tidak adanya perubahan ditulis dengan angka dan huruf; dan
g. tanda tangan Pejabat Lelang dan Penjual/kuasa Penjual, dalam hal lelang barang bergerak atau tanda tangan Pejabat Lelang, Penjual/kuasa Penjual dan Pembeli/kuasa Pembeli, dalam hal lelang barang tidak bergerak.
Pasal 81
(1) Pembetulan kesalahan redaksional Risalah Lelang berupa pencoretan, penambahan dan/atau perubahan, dilakukan sebagai berikut:
a. pencoretan, kesalahan kata, huruf atau angka dilakukan dengan garis lurus tipis, sehingga yang dicoret dapat dibaca; dan/atau
b. tambahan kata atau kalimat, ditulis di sebelah pinggir kiri dari lembar Risalah Lelang atau ditulis pada bagian bawah dari bagian kaki Risalah Lelang dengan menunjuk lembar dan garis yang berhubungan dengan perubahan itu, apabila penulisan di pinggir kiri dari lembar Risalah Lelang tidak mencukupi.
(2) Jumlah kata, huruf atau angka yang dicoret/ditambahkan diterangkan pada sebelah pinggir lembar Risalah Lelang, begitu pula banyaknya kata/angka yang ditambahkan.
(3) Perubahan sesudah Risalah Lelang ditutup dan ditandatangani tidak boleh dilakukan.
Pasal 82
(1) Minuta Risalah Lelang ditandatangani oleh Pejabat Lelang pada saat penutupan pelaksanaan lelang.
(2) Penandatanganan Risalah Lelang dilakukan oleh:
a. Pejabat Lelang pada setiap lembar di sebelah kanan atas dari Risalah Lelang, kecuali lembar yang terakhir;
b. Pejabat Lelang dan Penjual/kuasa Penjual pada lembar terakhir dalam hal lelang barang bergerak; atau
c. Pejabat Lelang, Penjual/kuasa Penjual dan Pembeli/kuasa Pembeli pada lembar terakhir dalam hal lelang barang tidak bergerak.
(3) Dalam hal Penjual/kuasa Penjual tidak mau menandatangani Risalah Lelang atau tidak hadir sewaktu Risalah Lelang ditutup, Pejabat Lelang membuat catatan keadaan tersebut pada Bagian Kaki Risalah Lelang dan menyatakan catatan tersebut sebagai tanda tangan Penjual.
(4) Dalam hal Pejabat Lelang berhalangan tetap, penandatanganan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Kepala KPKNL untuk Pejabat Lelang Kelas I dan oleh Pengawas Lelang (Superintenden) untuk Pejabat Lelang Kelas II.
Pasal 83
(1) Dalam hal terdapat hal-hal penting yang diketahui setelah penutupan Risalah Lelang, Pejabat Lelang harus membuat catatan hal-hal tersebut pada bagian bawah setelah Kaki Minuta Risalah Lelang dan membubuhi tanggal dan tanda tangan.
(2) Hal-hal penting sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. ada atau tidak ada verzet terhadap hasil lelang;
b. adanya Pembeli wanprestasi;
c. adanya pemberian pengganti Kutipan Risalah Lelang yang hilang atau rusak;
d. adanya pemberian Grosse Risalah Lelang atas permintaan Pembeli;
e. adanya Penjual yang tidak mau menandatangani Risalah Lelang atau tidak hadir sewaktu Risalah Lelang ditutup;
f. adanya Pembatalan Risalah Lelang berdasarkan putusan hakim yang sudah berkekuatan hukum tetap; atau
g. hal-hal lain yang akan ditetapkan oleh Direktur Jenderal.
(3) Dalam hal Pejabat Lelang Kelas I dibebastugaskan, cuti, berhalangan tetap atau dipindahtugaskan, pencatatan dan penandatanganan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Kepala KPKNL.
(4) Dalam hal Pejabat Lelang Kelas II dibebastugaskan, cuti atau berhalangan tetap, pencatatan dan penandatanganan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Kepala Kantor Wilayah setempat selaku Pengawas Lelang (Superintenden).
Pasal 84
(1) Minuta Risalah Lelang dibuat dan diselesaikan paling lama 3 (tiga) hari kerja setelah pelaksanaan lelang.
(2) Minuta Risalah Lelang yang dibuat oleh Pejabat Lelang Kelas I disimpan pada KPKNL.
(3) Minuta Risalah Lelang yang dibuat oleh Pejabat Lelang Kelas II disimpan oleh yang bersangkutan.
(4) Jangka waktu simpan Minuta Risalah Lelang selama 30 (tiga puluh) tahun sejak pelaksanaan lelang.
Pasal 85
KPKNL atau Pejabat Lelang Kelas II hanya dapat memperlihatkan atau memberitahukan Minuta Risalah Lelang kepada pihak yang berkepentingan langsung dengan Risalah Lelang, ahli warisnya atau orang yang memperoleh hak, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan.
Pasal 86
(1) Pihak yang berkepentingan dapat memperoleh Kutipan/Salinan/Grosse yang otentik dari Minuta Risalah Lelang dengan dibebani Bea Materai.
(2) Pihak yang berkepentingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Pembeli memperoleh Kutipan Risalah Lelang sebagai Akta Jual Beli untuk kepentingan balik nama atau Grosse Risalah Lelang sesuai kebutuhan;
b. Penjual memperoleh Salinan Risalah Lelang untuk laporan pelaksanaan lelang atau Grosse Risalah Lelang sesuai kebutuhan;
c. Pengawas Lelang (Superintenden) memperoleh Salinan Risalah Lelang untuk laporan pelaksanaan lelang/kepentingan dinas; atau
d. Instansi yang berwenang dalam balik nama kepemilikan hak objek lelang memperoleh Salinan Risalah Lelang sesuai kebutuhan.
(3) Kutipan/Salinan/Grosse yang otentik dari Minuta Risalah Lelang ditandatangani, diberikan teraan cap/stempel basah dan diberi tanggal pengeluaran oleh Kepala KPKNL atau Pejabat Lelang Kelas II yang bersangkutan.
(4) Kutipan Risalah Lelang untuk lelang tanah atau tanah dan bangunan ditandatangani oleh Kepala KPKNL/Pejabat Lelang Kelas II setelah Pembeli menyerahkan bukti pembayaran BPHTB.
(5) Kutipan Risalah Lelang yang hilang atau rusak dapat diterbitkan pengganti atas permintaan Pembeli.
Pasal 87
(1) Dalam rangka kepentingan proses peradilan, fotokopi Minuta Risalah Lelang dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Risalah Lelang dapat diberikan kepada penyidik, penuntut umum atau hakim, dengan persetujuan Kepala KPKNL bagi Pejabat Lelang Kelas I atau Pengawas Lelang (Superintenden) bagi Pejabat Lelang Kelas II.
(2) Pengambilan fotokopi Minuta Risalah Lelang dan/atau surat-surat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat Berita Acara Penyerahan.
Pasal 88
Ketentuan lebih lanjut mengenai Risalah Lelang diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal.
BAB VI
ADMINISTRASI PERKANTORAN
DAN PELAPORAN
Pasal 89
(1) KPKNL, Balai Lelang dan Kantor Pejabat Lelang Kelas II menyelenggarakan administrasi perkantoran dan membuat laporan yang berkaitan dengan pelaksanaan lelang.
(2) Kantor Wilayah dan Kantor Pusat DJKN membuat laporan rekapitulasi pelaksanaan lelang sesuai jenis lelangnya.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan administrasi perkantoran dan pelaporan pada KPKNL, Balai Lelang dan Kantor Pejabat Lelang Kelas II sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal.
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 90
Pada saat Peraturan Menteri Keuangan ini berlaku:
a. Permohonan lelang yang telah ditetapkan jadwal pelaksanaan lelangnya, dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 40/PMK.07/2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang.
b. Sebelum ditetapkannya Peraturan Pemerintah tentang Tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kementerian Keuangan yang baru, pengenaan tarif Bea Lelang masih berlaku ketentuan yang lama.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 91
Pada saat Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 40/PMK.07/2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 61/PMK.06/2008, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 92
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku setelah 2 (dua) bulan sejak tanggal pengundangan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 23 April 2010
MENTERI KEUANGAN,


SRI MULYANI INDRAWATI

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 23 April 2010
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,


PATRIALIS AKBAR


BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 217

Pengelolaan Rumah Negara

SALINAN
PERATURAN MENTERI KEUANGAN

NOMOR 138/PMK.06/2010

TENTANG

PENGELOLAAN BARANG MILIK NEGARA BERUPA RUMAH NEGARA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN,

Menimbang : a. bahwa dalam rangka mewujudkan akuntabilitas pengelolaan barang milik negara, diperlukan adanya tertib administrasi dalam pengelolaan barang milik negara berupa rumah negara dengan tetap menjunjung tinggi good governance;
b. bahwa Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96/PMK.06/2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penggunaan, Pemanfaatan, Penghapusan, Dan Pemindahtanganan Barang Milik Negara, belum secara khusus mengatur pengelolaan Barang Milik Negara berupa rumah negara;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pengelolaan Barang Milik Negara Berupa Rumah Negara;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1994 tentang Rumah Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3573) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2005 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4515);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4609) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4855);
4. Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pengadaan, Penetapan Status, Pengalihan Status, Dan Pengalihan Hak Atas Rumah Negara;
5. Keputusan Presiden Nomor 56/P Tahun 2010;

MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK NEGARA BERUPA RUMAH NEGARA.
BAB I
KETENTUAN UMUM

Bagian Kesatu
Pengertian

Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan:
1. Barang Milik Negara, yang selanjutnya disingkat BMN, adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.
2. Rumah Negara adalah bangunan yang dimiliki negara dan berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga serta menunjang pelaksanaan tugas pejabat dan/atau Pegawai Negeri.
3. Rumah Negara Golongan I adalah Rumah Negara yang dipergunakan bagi pemegang jabatan tertentu dan karena sifat jabatannya harus bertempat tinggal di rumah tersebut serta hak penghuniannya terbatas selama pejabat yang bersangkutan masih memegang jabatan tertentu tersebut.
4. Rumah Negara Golongan II adalah Rumah Negara yang mempunyai hubungan yang tidak dapat dipisahkan dari suatu instansi dan hanya disediakan untuk didiami oleh Pegawai Negeri dan apabila telah berhenti atau pensiun rumah dikembalikan kepada negara.
5. Rumah Negara Golongan III adalah Rumah Negara yang tidak termasuk golongan I dan golongan II yang dapat dijual kepada penghuninya.
6. Penjualan Rumah Negara Golongan III adalah pengalihan kepemilikan BMN berupa Rumah Negara kepada penghuni dengan menerima penggantian dalam bentuk uang yang dilakukan dalam rangka pengalihan hak Rumah Negara.
7. Penghapusan adalah tindakan menghapus BMN dari daftar barang dengan menerbitkan keputusan dari pejabat yang berwenang untuk membebaskan Pengguna Barang dan/atau Kuasa Pengguna Barang dan/atau Pengelola Barang dari tanggung jawab administrasi dan fisik atas barang yang berada dalam penguasaannya.
8. Pengelola Barang adalah pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab menetapkan kebijakan dan pedoman serta melakukan pengelolaan BMN.
9. Pengguna Barang adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan BMN.
10. Pengguna Barang Rumah Negara Golongan III adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Pekerjaan Umum.
11. Kuasa Pengguna Barang adalah kepala satuan kerja atau pejabat yang ditunjuk oleh Pengguna Barang untuk menggunakan barang yang berada dalam penguasaannya dengan sebaik-baiknya.
12. Kuasa Pengguna Barang Rumah Negara Golongan III adalah kepala satuan kerja atau pejabat pada Kementerian Pekerjaan Umum yang ditunjuk oleh Pengguna Barang Rumah Negara Golongan III untuk mengelola dan mengadministrasikan Rumah Negara Golongan III yang berada dalam penguasaannya dengan sebaik-baiknya.
Bagian Kedua
Maksud dan Tujuan

Pasal 2
(1) Peraturan Menteri Keuangan ini dimaksudkan sebagai pedoman dalam pelaksanaan pengelolaan BMN berupa Rumah Negara.
(2) Peraturan Menteri Keuangan ini bertujuan untuk mewujudkan pengelolaan BMN berupa Rumah Negara yang tertib, terarah, dan akuntabel.
Bagian Ketiga
Ruang Lingkup

Pasal 3
Peraturan Menteri Keuangan ini mengatur penggunaan, pemindahtanganan, penghapusan, penatausahaan, pengawasan dan pengendalian BMN berupa Rumah Negara.
BAB II
KEWENANGAN DAN TANGGUNG JAWAB

Bagian Kesatu
Kewenangan

Pasal 4
(1) Menteri Keuangan selaku Pengelola Barang memiliki kewenangan:
a. menetapkan status penggunaan BMN berupa Rumah Negara;
b. memberikan persetujuan atas usulan alih status penggunaan, pemindahtanganan, dan Penghapusan BMN berupa Rumah Negara; dan
c. melakukan pengawasan dan pengendalian BMN berupa Rumah Negara.
(2) Menteri/pimpinan lembaga selaku Pengguna Barang untuk BMN berupa Rumah Negara Golongan I dan Rumah Negara Golongan II memiliki kewenangan:
a. mengajukan usulan penetapan status penggunaan BMN berupa Rumah Negara;
b. mengajukan permohonan persetujuan alih status penggunaan, pemindahtanganan, dan Penghapusan BMN berupa Rumah Negara;
c. melakukan penggunaan, pemindahtanganan, dan Penghapusan BMN berupa Rumah Negara; dan
d. melakukan pengawasan dan pengendalian BMN berupa Rumah Negara yang berada dalam penguasaannya.
(3) Menteri Pekerjaan Umum selaku Pengguna Barang untuk BMN berupa Rumah Negara Golongan III memiliki kewenangan:
a. mengajukan usulan penetapan status penggunaan BMN berupa Rumah Negara Golongan III;
b. mengajukan permohonan persetujuan penjualan, dan Penghapusan BMN berupa Rumah Negara Golongan III; dan
c. melakukan Penghapusan BMN berupa Rumah Negara Golongan III.
(4) Kepala Satuan Kerja selaku Kuasa Pengguna Barang untuk Rumah Negara Golongan I dan Rumah Negara Golongan II memiliki kewenangan:
a. mengajukan usulan penetapan status penggunaan BMN berupa Rumah Negara;
b. mengajukan permohonan persetujuan alih status penggunaan, pemindahtanganan, dan Penghapusan BMN berupa Rumah Negara;
c. melakukan penggunaan, pemindahtanganan, dan Penghapusan BMN berupa Rumah Negara; dan
d. melakukan pengawasan dan pengendalian BMN berupa Rumah Negara yang berada dalam penguasaannya.
(5) Pejabat Eselon II atau pejabat yang ditunjuk pada Kementerian Pekerjaan Umum selaku Kuasa Pengguna Barang untuk Rumah Negara Golongan III memiliki kewenangan:
a. mengajukan usulan penetapan status penggunaan BMN berupa Rumah Negara Golongan III;
b. mengajukan permohonan persetujuan penjualan, dan Penghapusan BMN berupa Rumah Negara Golongan III; dan
c. melakukan Penghapusan BMN berupa Rumah Negara Golongan III.
Bagian Kedua
Tanggung Jawab

Pasal 5
(1) Menteri Keuangan selaku Pengelola Barang memiliki tanggung jawab untuk melakukan penatausahaan BMN berupa Rumah Negara.
(2) Menteri/pimpinan lembaga selaku Pengguna Barang untuk BMN berupa Rumah Negara Golongan I dan Rumah Negara Golongan II memiliki tanggung jawab:
a. melakukan penatausahaan BMN berupa Rumah Negara yang berada dalam penguasaannya;
b. melakukan pengamanan dan pemeliharaan BMN berupa Rumah Negara; dan
c. melakukan penyerahan BMN berupa Rumah Negara yang tidak digunakan untuk menunjang tugas dan fungsi kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya kepada Pengelola Barang.
(3) Menteri Pekerjaan Umum selaku Pengguna Barang untuk BMN berupa Rumah Negara Golongan III memiliki tanggung jawab melakukan penatausahaan BMN berupa Rumah Negara Golongan III.
(4) Kepala Satuan Kerja selaku Kuasa Pengguna Barang untuk Rumah Negara Golongan I dan Rumah Negara Golongan II memiliki tanggung jawab:
a. melakukan penatausahaan BMN berupa Rumah Negara yang berada dalam penguasaannya;
b. melakukan pengamanan dan pemeliharaan BMN berupa Rumah Negara; dan
c. melakukan penyerahan BMN berupa Rumah Negara yang tidak digunakan untuk menunjang tugas dan fungsi satuan kerja yang dipimpinnya kepada Pengguna Barang.
(5) Pejabat Eselon II atau pejabat yang ditunjuk pada Kementerian Pekerjaan Umum selaku Kuasa Pengguna Barang untuk Rumah Negara Golongan III memiliki tanggung jawab melakukan penatausahaan BMN berupa Rumah Negara Golongan III.
Bagian Ketiga
Pelaksana Fungsional Wewenang dan Tanggung Jawab

Pasal 6
(1) Kewenangan dan tanggung jawab Menteri Keuangan selaku Pengelola Barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (1) secara fungsional dilaksanakan oleh Direktur Jenderal Kekayaan Negara.
(2) Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Kekayaan Negara dapat menunjuk pejabat pada instansi vertikal Direktorat Jenderal Kekayaan Negara untuk melaksanakan sebagian wewenang Pengelola Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Kewenangan dan tanggung jawab Menteri/pimpinan lembaga selaku Pengguna Barang untuk BMN berupa Rumah Negara Golongan I dan Rumah Negara Golongan II sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 5 ayat (2) secara fungsional dilaksanakan oleh unit eselon I yang membidangi kesekretariatan atau pejabat lain yang ditunjuk.
(4) Kewenangan dan tanggung jawab Menteri Pekerjaan Umum selaku Pengguna Barang Rumah Negara Golongan III sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) dan Pasal 5 ayat (3) secara fungsional dilaksanakan oleh Direktur Jenderal Cipta Karya pada Kementerian Pekerjaan Umum atau pejabat yang ditunjuk.
Pasal 7
Ketentuan lebih lanjut mengenai teknis pelaksanaan fungsional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 diatur dengan keputusan Menteri Keuangan, Menteri/pimpinan lembaga, dan Menteri Pekerjaan Umum sesuai kewenangan dan tanggung jawabnya masing-masing.
BAB III
PENGGUNAAN

Pasal 8
(1) BMN berupa Rumah Negara harus dilakukan penetapan status penggunaan oleh Pengelola Barang.
(2) Penetapan status penggunaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:
a. Rumah Negara Golongan I dan Golongan II ditetapkan status penggunaannya pada Pengguna Barang;
b. Rumah Negara Golongan III ditetapkan status penggunaannya pada Pengguna Barang Rumah Negara Golongan III.
(3) Penetapan status penggunaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada permohonan penetapan status penggunaan yang diajukan oleh Pengguna Barang dan Pengguna Barang Rumah Negara Golongan III.
Pasal 9
(1) BMN berupa Rumah Negara dapat dilakukan alih status penggunaan.
(2) Alih status penggunaan:
a. antar Pengguna Barang untuk Rumah Negara Golongan I dan Rumah Negara Golongan II;
b. dari Pengguna Barang kepada Pengguna Barang Rumah Negara Golongan III, untuk Rumah Negara Golongan II yang akan dialihkan statusnya menjadi Rumah Negara Golongan III; atau
c. dari Pengguna Barang Rumah Negara Golongan III kepada Pengguna Barang, untuk Rumah Negara Golongan III yang telah dikembalikan status golongannya menjadi Rumah Negara Golongan II;
dilakukan setelah terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari Pengelola Barang.
(3) Alih status penggunaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, hanya dapat dilakukan apabila BMN berupa Rumah Negara telah berusia paling singkat 10 (sepuluh) tahun sejak dimiliki oleh negara atau sejak ditetapkan perubahan fungsinya sebagai Rumah Negara.
(4) Usulan alih status penggunaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, harus disertai sekurang-kurangnya dengan:
a. persetujuan tertulis dari menteri/pimpinan lembaga selaku Pengguna Barang mengenai pengalihan status golongan Rumah Negara dari Rumah Negara Golongan II menjadi Rumah Negara Golongan III;
b. surat pernyataan bersedia menerima pengalihan dari Pengguna Barang Rumah Negara Golongan III;
c. salinan keputusan penetapan status Rumah Negara Golongan II;
d. salinan Surat Izin Penghunian Rumah Negara Golongan II; dan
e. gambar ledger/gambar arsip berupa rumah dan gambar situasi.
(5) Pengguna Barang bertanggung jawab penuh atas kebenaran dan keabsahan data dan dokumen yang diterbitkan dalam rangka pengajuan usulan pengalihan status penggunaan.
(6) Proses pengajuan dan pemberian persetujuan alih status penggunaan mengikuti ketentuan mengenai alih status penggunaan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan di bidang pengelolaan BMN.
Pasal 10
(1) BMN berupa Rumah Negara hanya dapat digunakan sebagai tempat tinggal pejabat atau pegawai negeri yang memiliki Surat Izin Penghunian.
(2) Pengguna Barang wajib mengoptimalkan penggunaan BMN berupa Rumah Negara Golongan I dan Rumah Negara Golongan II dalam menunjang pelaksanaan tugas dan fungsi.
(3) Pengguna Barang Rumah Negara Golongan I dan Rumah Negara Golongan II wajib menyerahkan BMN berupa Rumah Negara yang tidak digunakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan kepada Pengelola Barang.
Pasal 11
(1) Dalam hal diperlukan, Pengguna Barang dapat melakukan alih fungsi BMN berupa Rumah Negara Golongan I dan Rumah Negara Golongan II, menjadi bangunan kantor.
(2) Alih fungsi BMN berupa Rumah Negara Golongan I dan Rumah Negara Golongan II sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Pengguna Barang.
BAB IV
PEMINDAH TANGANAN

Bagian Kesatu
Prinsip Umum

Pasal 12
(1) Pemindahtanganan BMN berupa Rumah Negara dilakukan dengan mekanisme:
a. Penjualan;
b. Tukar menukar;
c. Hibah; atau
d. Penyertaan Modal Pemerintah Pusat.
(2) Pemindahtanganan dengan mekanisme penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a hanya dapat dilakukan terhadap BMN berupa Rumah Negara Golongan III.
(3) Pemindahtanganan dengan mekanisme tukar menukar, hibah atau penyertaan modal pemerintah pusat hanya dapat dilakukan terhadap BMN berupa Rumah Negara Golongan I dan Rumah Negara Golongan II.
(4) Pemindahtanganan dengan mekanisme tukar menukar, hibah atau penyertaan modal pemerintah pusat dapat dilakukan terhadap BMN berupa Rumah Negara Golongan III setelah Rumah Negara tersebut dikembalikan statusnya menjadi Rumah Negara Golongan II.
(5) Rumah Negara Golongan III sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan Rumah Negara Golongan III yang belum mendapatkan persetujuan penjualan dari Pengelola Barang, belum dilakukan proses sewa beli kepada penghuni, dan belum ada penetapan pengalihan hak dari Pengguna Barang Rumah Negara Golongan III.
Bagian Kedua
Pelaksanaan

Pasal 13
(1) Penjualan BMN berupa Rumah Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) dilakukan kepada penghuni yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mekanisme tidak secara lelang.
(3) Penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan terhadap Rumah Negara yang tidak dalam keadaan sengketa.
Pasal 14
(1) Penjualan dilakukan oleh Pengguna Barang Rumah Negara Golongan III setelah terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari Pengelola Barang.
(2) Penjualan BMN berupa Rumah Negara Golongan III sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk pengalihan hak Rumah Negara Golongan III.
(3) Dalam hal nilai usulan penjualan BMN berupa Rumah Negara Golongan III di atas Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah), maka persetujuan penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Pengelola Barang setelah mendapatkan persetujuan Presiden.
(4) Dalam hal usulan penjualan BMN berupa Rumah Negara Golongan III disetujui, maka Pengelola Barang menerbitkan surat persetujuan penjualan BMN berupa Rumah Negara Golongan III.
(5) Dalam hal usulan penjualan BMN berupa Rumah Negara Golongan III tidak disetujui, maka Pengelola Barang menerbitkan surat penolakan usulan penjualan BMN berupa Rumah Negara Golongan III disertai alasannya.
Pasal 15
(1) Pengajuan usul penjualan BMN berupa Rumah Negara Golongan III dilakukan oleh Pengguna Barang Rumah Negara Golongan III kepada Pengelola Barang, yang sekurang-kurangnya disertai dengan data dan dokumen:
a. surat pernyataan dari Pengguna Barang Rumah Negara Golongan III yang menyatakan bahwa Rumah Negara yang diusulkan untuk dijual tidak dalam keadaan sengketa;
b. keputusan penetapan status Rumah Negara Golongan III;
c. persetujuan pengalihan dan penetapan status penggunaan BMN;
d. surat ijin penghunian Rumah Negara Golongan III;
e. gambar/legger, lokasi, tahun perolehan, luas tanah dan bangunan Rumah Negara Golongan III;
f. daftar rekapitulasi Rumah Negara Golongan III yang diusulkan untuk dijual; dan
g. surat pernyataan kelayakan pengalihan hak Rumah Negara Golongan III dari Pengguna Barang Rumah Negara Golongan III.
(2) Pengguna Barang Rumah Negara Golongan III bertanggung jawab penuh atas kebenaran dan keabsahan data dan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 16
(1) Berdasarkan persetujuan Pengelola Barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4), Pengguna Barang Rumah Negara Golongan III menerbitkan keputusan pengalihan hak Rumah Negara Golongan III sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Pelaksanaan penjualan BMN berupa Rumah Negara Golongan III dalam bentuk pengalihan hak harus dilaporkan kepada Pengelola Barang dengan melampirkan salinan Keputusan Pengalihan Hak Rumah Negara dan Penetapan Harga Rumah Negara Golongan III paling lambat 1 (satu) bulan setelah penerbitan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 17
Tukar menukar BMN berupa Rumah Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) yang berdiri sendiri dan/atau berupa satuan rumah susun beserta atau tidak beserta tanahnya harus memperoleh penggantian sekurang-kurangnya berupa Rumah Negara yang jumlah dan tipenya sama dengan Rumah Negara yang dilepas.
Pasal 18
Hibah BMN berupa Rumah Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) dapat dilakukan kepada:
a. Pemerintah Daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah; atau
b. lembaga sosial, lembaga keagamaan, atau organisasi kemanusiaan, yang mendapatkan pernyataan tertulis dari instansi teknis yang kompeten bahwa lembaga yang bersangkutan adalah sebagai lembaga/organisasi termaksud.
Pasal 19
Penyertaan Modal Pemerintah Pusat atas BMN berupa Rumah Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) hanya dapat diberikan kepada:
a. Badan Usaha Milik Negara/Daerah (BUMN/D); atau
b. Badan Hukum Milik Negara (BHMN).
Pasal 20
Pelaksanaan pemindahtanganan dengan mekanisme tukar menukar, hibah dan penyertaan modal pemerintah pusat atas BMN berupa Rumah Negara dilakukan mengikuti ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan di bidang pengelolaan BMN.
BAB V
PENGHAPUSAN

Pasal 21
(1) Penghapusan BMN berupa Rumah Negara dilakukan berdasarkan keputusan Penghapusan BMN yang diterbitkan oleh Pengguna Barang, Pengguna Barang Rumah Negara Golongan III atau Pengelola Barang.
(2) Penghapusan BMN berupa Rumah Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Penghapusan BMN berupa Rumah Negara Golongan I dan Rumah Negara Golongan II dari Daftar Barang Pengguna/Kuasa Penguna pada Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang;
b. Penghapusan BMN berupa Rumah Negara Golongan III dari Daftar Barang Pengguna/Kuasa Penguna pada Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang Rumah Negara Golongan III; atau
c. Penghapusan BMN berupa Rumah Negara dari Daftar BMN pada Pengelola Barang.
(3) Penghapusan BMN berupa Rumah Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan sebagai tindak lanjut dari:
a. penyerahan kepada Pengelola Barang;
b. penetapan status Rumah Negara Golongan III;
c. alih status penggunaan kepada Pengguna Barang lain;
d. alih fungsi menjadi bangunan kantor;
e. pemindahtanganan; atau
f. sebab-sebab lain yang secara normal dapat diperkirakan wajar menjadi penyebab Penghapusan, antara lain terkena bencana alam atau terkena dampak dari terjadinya force majeure.
(4) Penghapusan BMN berupa Rumah Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilakukan sebagai tindak lanjut dari:
a. penyerahan kepada Pengelola Barang;
b. penjualan dalam bentuk pengalihan hak;
c. pembatalan pengalihan status golongan Rumah Negara dari golongan II ke Rumah Negara Golongan III; atau
d. sebab-sebab lain yang secara normal dapat diperkirakan wajar menjadi penyebab Penghapusan, antara lain terkena bencana alam atau terkena dampak dari terjadinya force majeure.
(5) Penghapusan dari Daftar BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dilakukan sebagai tindak lanjut dari:
a. pemindahtanganan; atau
b. sebab-sebab lain yang secara normal dapat diperkirakan wajar menjadi penyebab Penghapusan, antara lain terkena bencana alam, atau terkena dampak dari terjadinya force majeure.
Pasal 22
Penghapusan BMN berupa Rumah Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dilakukan setelah keputusan Penghapusan diterbitkan oleh:
a. Pengguna Barang untuk BMN berupa Rumah Negara Golongan I dan Rumah Negara Golongan II setelah mendapatkan persetujuan Pengelola Barang, untuk Penghapusan dari Daftar Barang Pengguna/Kuasa Pengguna;
b. Pengguna Barang Rumah Negara Golongan III setelah mendapatkan persetujuan Pengelola Barang, untuk Penghapusan dari Daftar Barang Pengguna/Kuasa Pengguna Rumah Negara Golongan III; atau
c. Pengelola Barang, untuk Penghapusan dari Daftar BMN.
Pasal 23
(1) Pengguna Barang wajib menyampaikan laporan pelaksanaan Penghapusan kepada Pengelola Barang dengan melampirkan keputusan Penghapusan dari Daftar Barang Pengguna/Kuasa Pengguna paling lambat 1 (satu) bulan setelah penerbitan keputusan tersebut.
(2) Pengguna Barang Rumah Negara Golongan III wajib menyampaikan laporan pelaksanaan Penghapusan Rumah Negara Golongan III kepada Pengelola Barang dengan melampirkan:
a. keputusan Penghapusan dari Daftar Barang Pengguna/Kuasa Pengguna Rumah Negara Golongan III;
b. keputusan pengalihan hak dan penetapan harga Rumah Negara Golongan III; dan
c. perjanjian sewa beli,
paling lambat 1 (satu) bulan setelah penerbitan keputusan sebagaimana dimaksud pada huruf a.
Pasal 24
Nilai BMN berupa Rumah Negara yang dihapuskan sebesar nilai yang tercantum dalam:
a. DBP/DBKP dan/atau Laporan Barang Pengguna/Kuasa Pengguna;
b. DBP/DBKP Rumah Negara Golongan III dan/atau Laporan Barang Pengguna/Kuasa Pengguna Rumah Negara Golongan III; dan/atau
c. DBMN dan/atau Laporan Barang Milik Negara.
BAB VI
PENATAUSAHAAN

Pasal 25
Penatausahaan BMN berupa Rumah Negara meliputi kegiatan pembukuan, inventarisasi, dan pelaporan.
Pasal 26
(1) Pengguna Barang dan Pengguna Barang Rumah Negara Golongan III melakukan penatausahaan BMN berupa Rumah Negara secara tersendiri atas pelaksanaan pengelolaan BMN berupa Rumah Negara.
(2) Penatausahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pelengkap dari penatausahaan BMN sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan di bidang penatausahaan BMN.
Pasal 27
Pembukuan dalam rangka penatausahaan BMN berupa Rumah Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dilakukan terhadap kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan BMN berupa Rumah Negara, meliputi:
a. penetapan/alih status penggunaan;
b. penetapan/alih status golongan;
c. alih fungsi;
d. pemindahtanganan; dan
e. Penghapusan.
Pasal 28
(1) Inventarisasi dalam rangka penatausahaan BMN berupa Rumah Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya sekali dalam 5 (lima) tahun.
(2) Pelaksanaan inventarisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk mengumpulkan data administrasi dan fisik BMN berupa Rumah Negara sekurang-kurangnya meliputi:
a. bukti kepemilikan tanah dan bangunan;
b. status penggunaan;
c. status penghunian;
d. nilai dan luas tanah dan bangunan;
e. alamat, lokasi, dan tipe bangunan; dan
f. kondisi bangunan
(3) Hasil inventarisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan oleh Pengguna Barang dan Pengguna Barang Rumah Negara Golongan III kepada Pengelola Barang.
(4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus telah disampaikan paling lambat 3 (tiga) bulan sejak selesainya pelaksanaan inventarisasi.
(5) Tata cara pelaksanaan inventarisasi BMN berupa Rumah Negara merupakan bagian dari inventarisasi BMN sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan di bidang penatausahaan BMN.
Pasal 29
(1) Pelaporan dalam rangka penatausahaan BMN berupa Rumah Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) dilaksanakan setiap semester.
(2) Pengguna Barang menyusun laporan semesteran dan tahunan atas BMN berupa Rumah Negara sebagai bagian dari pelaporan BMN sesuai ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan di bidang penatausahaan BMN.
(3) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap kegiatan pembukuan dan inventarisasi BMN berupa Rumah Negara.
(4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Menteri Keuangan cq. Direktur Jenderal Kekayaan Negara.
Pasal 30
Pelaksanaan pembukuan, inventarisasi, dan pelaporan BMN berupa Rumah Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, dan Pasal 29 dilakukan mengikuti ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan di bidang penatausahaan BMN.
BAB VII
PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN

Pasal 31
Pengelola Barang, Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang, dan Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang Rumah Negara Golongan III wajib melakukan pengawasan dan pengendalian BMN berupa Rumah Negara yang berada dalam penguasaannya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 32
(1) Permohonan penetapan status penggunaan yang telah diajukan dan telah ditetapkan status penggunaannya sebelum berlakunya Peraturan Menteri Keuangan ini, dinyatakan tetap berlaku.
(2) Terhadap permohonan penjualan yang telah diajukan sebelum berlakunya Peraturan Menteri Keuangan ini, dapat diproses berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan ini.
(3) Terhadap persetujuan penjualan yang telah diterbitkan oleh Pengelola Barang sebelum berlakunya Peraturan Menteri Keuangan ini, dinyatakan tetap berlaku.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 33
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 2 Agustus 2010
MENTERI KEUANGAN,

ttd.

AGUS D.W. MARTOWARDOJO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 2 Agustus 2010
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,

ttd.

PATRIALIS AKBAR

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 368