Cari Blog Ini

Selasa, 19 Oktober 2010

Peraturan Pejabat Lelang Kelas I Tahun 2010

MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 174/PMK.06/2010

TENTANG

PEJABAT LELANG KELAS I

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN,

Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 9 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang dan dalam rangka pengembangan profesi pejabat lelang serta meningkatkan pelayanan lelang yang lebih efisien, efektif, transparan, akuntabel, adil, dan menjamin kepastian hukum, perlu melakukan penyempurnaan ketentuan mengenai Pejabat Lelang Kelas I;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pejabat Lelang Kelas I;
Mengingat : 1. Undang-Undang Lelang (Vendu Reglement, Ordonantie 28 Februari 1908 Staatsblad 1908:189 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Staatsblad 1941:3);
2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3687);
3. Instruksi Lelang (Vendu Instructie, Staatsblad 1908:190 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Staatsblad 1930:85);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2003 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Departemen Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 95, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4313);
5. Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2005 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Kementerian Negara Republik Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 50 Tahun 2008;
6. Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal di Lingkungan Departemen Keuangan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2007;
7. Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara;
8. Keputusan Presiden Nomor 56/P Tahun 2010;;

9. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 100/PMK.01/2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Keuangan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 143.1/PMK.01/2009;

10. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 102/PMK.01/2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal Direktorat Jenderal Kekayaan Negara;
11. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang;
12. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 347/KMK.01/2008 tentang Pelimpahan Wewenang Kepada Pejabat Eselon I di Lingkungan Departemen Keuangan untuk dan Atas Nama Menteri Keuangan Menandatangani Surat dan atau Keputusan Menteri Keuangan sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 218/KMK.01/2010;

MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PEJABAT LELANG KELAS I.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan:
1. Pejabat Lelang adalah orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan diberi wewenang khusus untuk melaksanakan penjualan barang secara lelang.
2. Pejabat Lelang Kelas I adalah Pejabat Lelang pegawai Direktorat Jenderal Kekayaan Negara yang berwenang melaksanakan Lelang Eksekusi, Lelang Noneksekusi Wajib, dan Lelang Noneksekusi Sukarela.
3. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia.
4. Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, yang selanjutnya disingkat DJKN, adalah unit Eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan yang mempunyai tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang kekayaan negara, piutang negara dan lelang sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
5. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Kekayaan Negara.
6. Direktur Lelang, yang selanjutnya disebut Direktur, adalah salah satu pejabat unit Eselon II di lingkungan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara yang mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan kegiatan, standardisasi dan bimbingan teknis, evaluasi serta pelaksanaan pembinaan perencanaan lelang, pemeriksaan, pengawasan, dan pembinaan kinerja di bidang lelang berdasarkan kebijakan teknis yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal.
7. Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, yang selanjutnya disebut Kantor Wilayah, adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Kekayaan Negara yang berada di bawah dan bertanggungjawab langsung kepada Direktur Jenderal.
8. Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang, yang selanjutnya disingkat KPKNL, adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Kekayaan Negara yang berada di bawah dan bertanggungjawab langsung kepada Kepala Kantor Wilayah.
9. Pengawas Lelang (Superintenden) adalah pejabat yang diberi kewenangan untuk melakukan pembinaan dan pengawasan kepada Pejabat Lelang.
10. Pemeriksaan langsung adalah kegiatan pemeriksaan yang dilakukan oleh Pengawas Lelang (Superintenden) terhadap Pejabat Lelang Kelas I dalam rangka pembinaan, pengawasan dan/atau penilaian kinerja.
11. Pemeriksaan tidak langsung adalah kegiatan pemeriksaan yang dilakukan oleh Pengawas Lelang (Superintenden) terhadap dokumen lelang dan laporan kegiatan Pejabat Lelang Kelas I serta data lainnya.
BAB II
PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 2
Pejabat Lelang Kelas I diangkat dan diberhentikan oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri.
Bagian Kedua
Pengangkatan
Pasal 3
Syarat-syarat untuk diangkat sebagai Pejabat Lelang Kelas I sebagai berikut:
a. sehat jasmani dan rohani;
b. berpendidikan paling rendah Sarjana (S1) diutamakan bidang hukum, ekonomi manajemen/akuntansi, atau penilai;
c. berpangkat paling rendah Pengatur (Golongan II/c);
d. lulus pendidikan dan pelatihan (diklat) Pejabat Lelang, Diklat Lelang II, Diklat Lelang III, atau DPT III PPLN; dan
e. tidak pernah mendapat peringatan tertulis atau menjalani hukuman disiplin yang dinyatakan dengan surat keterangan dari atasan setingkat eselon III dalam unit kerja yang bersangkutan.
Pasal 4
Pengangkatan Pejabat Lelang Kelas I diusulkan oleh Kepala KPKNL/Kepala Kantor Wilayah/Pejabat Eselon II Kantor Pusat DJKN dengan disertai dokumen persyaratan yang meliputi:
a. fotokopi ijazah sarjana (S1);
b. fotokopi surat keputusan kepangkatan terakhir;
c. fotokopi sertifikat kelulusan Diklat Pejabat Lelang, Diklat Lelang II, Diklat Lelang III, atau DPT III PPLN; dan
d. surat keterangan tidak pernah mendapat peringatan tertulis atau menjalani hukuman disiplin dari atasan setingkat eselon III dalam unit kerja yang bersangkutan.
Pasal 5
(1) Kepala KPKNL mengajukan surat usulan pengangkatan Pejabat Lelang Kelas I kepada Kepala Kantor Wilayah setempat disertai dengan pertimbangan usulan pengangkatan, termasuk tetapi tidak terbatas pada adanya kekurangan jumlah Pejabat Lelang.
(2) Kepala Kantor Wilayah meneruskan usulan Kepala KPKNL dan/atau mengusulkan pengangkatan Pejabat Lelang Kelas I dalam lingkungan Kantor Wilayah setempat kepada Direktur Jenderal melalui Sekretaris DJKN dengan tembusan kepada Direktur.
(3) Pejabat Eselon II Kantor Pusat DJKN mengajukan surat usulan pengangkatan Pejabat Lelang Kelas I kepada Direktur Jenderal melalui Direktur untuk diteruskan kepada Sekretaris DJKN.
(4) Direktur Jenderal atas nama Menteri menerbitkan Keputusan Pengangkatan Pejabat Lelang Kelas I.
Pasal 6
(1) Sebelum memangku jabatan, Pejabat Lelang Kelas I wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agama atau kepercayaannya dan dilantik di hadapan dan oleh Kepala Kantor Wilayah yang membawahi Pejabat Lelang Kelas I yang bersangkutan.
(2) Pengambilan sumpah atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didampingi oleh seorang rohaniawan dan disaksikan paling kurang 2 (dua) orang saksi.
(3) Bunyi sumpah atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai berikut:
"Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya untuk memangku jabatan saya ini, langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada siapapun juga yang bertentangan dengan jabatan saya".
"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan saya ini, tiada sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga sesuatu janji atau pemberian yang bertentangan dengan jabatan saya".
"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, akan setia kepada dan akan mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai Dasar dan Ideologi Negara, Undang-Undang Dasar 1945, dan segala Undang-Undang, serta peraturan lain bagi Negara Republik Indonesia".
"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan saya ini dengan jujur, seksama dan dengan tidak membeda-bedakan orang dalam melaksanakan kewajiban saya dan akan berlaku sebaik-baiknya dan seadil-adilnya seperti layaknya bagi seorang Pejabat Lelang yang berbudi baik dan jujur, menegakkan hukum dan keadilan".
Bagian Ketiga
Pemberhentian
Pasal 7
Pemberhentian Pejabat Lelang Kelas I berupa pemberhentian dengan hormat atau pemberhentian tidak dengan hormat.
Pasal 8
Pemberhentian dengan hormat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dilakukan jika Pejabat Lelang Kelas I:
a. meninggal dunia;
b. mundur atas permintaan sendiri;
c. pensiun dari Pegawai Negeri Sipil;
d. tidak mampu secara jasmani dan/atau rohani untuk melaksanakan tugas jabatan Pejabat Lelang Kelas I secara terus menerus lebih dari 1 (satu) tahun; atau
e. berstatus sebagai terdakwa dalam perkara pidana dan telah dibebastugaskan selama 18 (delapan belas) bulan.
Pasal 9
(1) Kepala Kantor Wilayah mengajukan usulan Pemberhentian dengan hormat terhadap Pejabat Lelang Kelas I secara tertulis kepada Direktur Jenderal dengan tembusan kepada Direktur, dengan melampirkan dokumen sebagai berikut:
a. surat keterangan meninggal dunia;
b. surat permohonan berhenti sebagai Pejabat Lelang Kelas I;
c. surat keputusan pensiun;
d. surat keterangan dokter Pemerintah yang menyatakan Pejabat Lelang Kelas I tidak mampu melaksanakan tugas jabatannya secara terus menerus lebih dari 1 (satu) tahun; atau
e. surat keterangan Kepala Kantor Wilayah yang menyatakan Pejabat Lelang Kelas I telah dibebastugaskan selama 18 (delapan belas) bulan.
(2) Direktur Jenderal atas nama Menteri menerbitkan keputusan mengenai pemberhentian dengan hormat kepada Pejabat Lelang Kelas I, dengan tembusan kepada Direktur, paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah usulan pemberhentian dari Kepala Kantor Wilayah diterima oleh Direktur Jenderal.
Pasal 10
Pejabat Lelang Kelas I yang telah diberhentikan tidak dengan hormat tidak dapat diangkat kembali menjadi Pejabat Lelang.
BAB III
KEWENANGAN, KEWAJIBAN, DAN LARANGAN
Bagian Kesatu
Wewenang
Pasal 11
(1) Pejabat Lelang Kelas I berwenang melaksanakan lelang untuk semua jenis lelang atas permohonan Penjual/Pemilik Barang.
(2) Pejabat Lelang Kelas I dapat melaksanakan lelang atas permohonan Balai Lelang, meskipun di wilayah kerjanya terdapat Pejabat Lelang Kelas II.
(3) Pejabat Lelang Kelas I hanya dapat melaksanakan lelang setelah mendapat surat tugas dari Kepala KPKNL.
Pasal 12
Pejabat Lelang Kelas I berwenang untuk:
a. menolak melaksanakan lelang dalam hal tidak yakin akan kebenaran formal berkas persyaratan lelang;
b. melihat barang yang akan dilelang;
c. menegur dan/atau mengeluarkan peserta dan/atau pengunjung lelang jika menggangu jalannya pelaksanaan lelang dan/atau melanggar tata tertib pelaksanaan lelang;
d. menghentikan pelaksanaan lelang untuk sementara waktu, apabila diperlukan dalam rangka menjaga ketertiban pelaksanaan lelang;
e. meminta bantuan aparat keamanan dalam hal diperlukan;
f. mengesahkan pembeli lelang; dan/atau
g. membatalkan pengesahan pembeli lelang yang wanprestasi dengan membuat pernyataan pembatalan.
Bagian Kedua
Kewajiban
Pasal 13
Pejabat Lelang Kelas I dalam melaksanakan jabatannya berkewajiban:
a. bertindak jujur, seksama, mandiri, tidak berpihak dan menjaga kepentingan pihak yang terkait;
b. meneliti legalitas formal subjek dan objek lelang;
c. membuat bagian Kepala Risalah Lelang sebelum pelaksanaan lelang;
d. membacakan bagian Kepala Risalah Lelang di hadapan peserta lelang pada saat pelaksanaan lelang, kecuali dalam Lelang Noneksekusi Sukarela melalui internet;
e. menjaga ketertiban pelaksanaan lelang;
f. membuat Minuta Risalah Lelang;
g. membuat Salinan Risalah Lelang, Kutipan Risalah Lelang atau Grosse Risalah Lelang sesuai peraturan perundang-undangan; dan
h. meminta dan meneliti keabsahan bukti pelunasan harga lelang, Bea Lelang, Pajak Penghasilan Final, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan, dan pungutan-pungutan lain yang diatur sesuai peraturan perundang-undangan.
Bagian Ketiga
Larangan
Pasal 14
Pejabat Lelang Kelas I dalam melaksanakan tugasnya dilarang:
a. melayani permohonan lelang di luar kewenangannya;
b. dengan sengaja tidak hadir dalam pelaksanaan lelang yang telah dijadwalkan;
c. membeli barang yang dilelang di hadapannya baik secara langsung maupun tidak langsung;
d. melakukan pungutan lain di luar yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan;
e. melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan kepatutan sebagai Pejabat Lelang;
f. menolak permohonan lelang yang telah memenuhi legalitas formal subjek dan objek lelang dengan dilengkapi dokumen yang dipersyaratkan; dan/atau
g. melibatkan keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas dan ke bawah derajat pertama, suami/isteri serta saudara sekandung Pejabat Lelang dalam pelaksanaan lelang yang dipimpinnya.
BAB IV
WILAYAH JABATAN DAN TEMPAT KEDUDUKAN
Pasal 15
Pejabat Lelang Kelas I mempunyai wilayah jabatan tertentu sesuai dengan wilayah kerja KPKNL, tempat Pejabat Lelang Kelas I berkedudukan.
Pasal 16
Pejabat Lelang Kelas I berwenang melaksanakan lelang, apabila berkedudukan pada KPKNL.
Pasal 17
Dalam hal terjadi kekosongan/kekurangan Pejabat Lelang Kelas I pada suatu KPKNL, lelang dapat dilaksanakan oleh Pejabat Lelang Kelas I yang berkedudukan di KPKNL lain yang masih dalam satu wilayah kerja Kantor Wilayah yang sama, atau Pejabat Lelang Kelas I yang berkedudukan di Kantor Wilayah setempat, setelah mendapat persetujuan Kepala Kantor Wilayah.
BAB V
PENGAWAS LELANG (SUPERINTENDEN)
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 18
Direktur Jenderal dan Kepala Kantor Wilayah karena jabatannya (ex officio) menjadi Pengawas Lelang (Superintenden) Pejabat Lelang Kelas I.
Bagian Kedua
Pembinaan dan Pengawasan
Pasal 19
(1) Direktur Jenderal selaku Pengawas Lelang (Superintenden) melakukan pembinaan dan pengawasan kepada seluruh Pejabat Lelang Kelas I.
(2) Pembinaan dan pengawasan oleh Direktur Jenderal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Direktur.
(3) Pembinaan dan pengawasan oleh Direktur sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan dalam hal tertentu yang meliputi:
a. melakukan pembinaan teknis dan yuridis terhadap Pejabat Lelang Kelas I;
b. melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan lelang yang dilakukan oleh Pejabat Lelang Kelas I;
c. melakukan pemeriksaan langsung atau tidak langsung dan melaporkan hasil pemeriksaan kepada Direktur Jenderal; dan
d. melakukan pemantauan pelaksanaan lelang.
Pasal 20
(1) Pembinaan terhadap Pejabat Lelang Kelas I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) berupa pemberian penghargaan atau sanksi.
(2) Penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa surat atau piagam.
(3) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pembebastugasan atau pemberhentian dengan tidak hormat.
Pasal 21
(1) Kepala Kantor Wilayah selaku Pengawas Lelang (Superintenden) melakukan pembinaan dan pengawasan kepada Pejabat Lelang Kelas I yang berkedudukan di wilayahnya.
(2) Pembinaan dan pengawasan oleh Kepala Kantor Wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
a. melakukan penilaian kinerja;
b. melakukan pemeriksaan langsung atau tidak langsung dan melaporkan hasil pemeriksaan kepada Direktur Jenderal;
c. melakukan pemantauan pelaksanaan sanksi yang dijatuhkan kepada Pejabat Lelang;
d. melakukan bimbingan teknis dan yuridis lelang;
e. melakukan pengawasan pelaksanaan lelang; dan
f. menjatuhkan sanksi peringatan tertulis.
(3) Kepala Kantor Wilayah selaku Pengawas Lelang (Superintenden) berwenang:
a. mengambil sumpah/janji Pejabat Lelang Kelas I;
b. menunjuk Pejabat Lelang Kelas I, dalam hal terjadi kekosongan/kekurangan Pejabat Lelang Kelas I pada suatu KPKNL; dan
c. menghentikan sementara pelaksanaan lelang jika Pejabat Lelang Kelas I dalam melaksanakan lelang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 22
(1) Pengawas Lelang (Superintenden) dapat menunjuk pejabat/pegawai di lingkungannya untuk melakukan pemeriksaan langsung terhadap Pejabat Lelang Kelas I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (3) huruf c dan Pasal 21 ayat (2) huruf b.
(2) Dalam pemeriksaan langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pejabat Lelang Kelas I yang diperiksa wajib memperlihatkan Risalah Lelang, buku, catatan, dokumen, dan memberikan keterangan yang diperlukan atas pelaksanaan lelang yang dilaksanakannya.
Bagian Ketiga
Penilaian Kinerja
Pasal 23
Penilaian kinerja Pejabat Lelang Kelas I didasarkan pada:
a. kualitas pelayanan lelang, meliputi:
1. kesesuaian dengan peraturan;
2. kecermatan dan ketelitian dalam membuat Minuta Risalah Lelang dan turunannya;
3. kecermatan dalam menganalisa dokumen;
4. kelancaran dan ketertiban pelaksanaan lelang; dan
5. optimalisasi harga lelang;
b. kuantitas pelayanan lelang, meliputi:
1. jumlah Minuta Risalah Lelang, salinan, kutipan, dan grosse yang dihasilkan baik dengan kondisi barang laku, ditahan, atau tidak ada penawaran; dan
2. jumlah Harga Lelang, Bea Lelang, dan pungutan Pajak/pungutan lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 24
(1) Penilaian Kinerja Pejabat Lelang Kelas I oleh Kepala Kantor Wilayah selaku Pengawas Lelang (Superintenden) dilakukan paling sedikit 1 (satu) tahun sekali.
(2) Kepala Kantor Wilayah dapat menunjuk pejabat/pegawai di lingkungannya untuk melakukan Penilaian Kinerja terhadap Pejabat Lelang Kelas I sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Penilaian Kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menggunakan standar pemeriksaan yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal.
(4) Kepala Kantor Wilayah menganalisis dan melaporkan hasil Penilaian Kinerja Pejabat Lelang Kelas I serta mengajukan usul kepada Direktur Jenderal melalui Direktur dengan tembusan kepada Sekretaris DJKN untuk memberikan penghargaan atau menjatuhkan sanksi.
(5) Direktur meneliti hasil penilaian Kinerja Pejabat Lelang Kelas I dan meneruskan usul kepada Direktur Jenderal untuk memberikan penghargaan atau menjatuhkan sanksi.
BAB VI
SANKSI
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 25
Sanksi yang dijatuhkan kepada Pejabat Lelang Kelas I meliputi:
a. peringatan tertulis;
b. pembebastugasan; atau
c. pemberhentian tidak dengan hormat.
Bagian Kedua
Peringatan Tertulis
Pasal 26
(1) Peringatan tertulis dijatuhkan kepada Pejabat Lelang Kelas I dalam hal:
a. melakukan kesalahan dalam pembuatan Risalah Lelang, termasuk tetapi tidak terbatas pada perbedaan data objek lelang, Harga Lelang, pengenaan tarif Bea Lelang;
b. tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13; dan/atau
c. terlambat membuat Minuta Risalah Lelang.
(2) Kepala Kantor Wilayah menjatuhkan peringatan tertulis paling lambat 7 (tujuh) hari berdasarkan hasil pemeriksaan langsung atau tidak langsung dan/atau Hasil Penilaian Kinerja Pejabat Lelang Kelas I.
(3) Pejabat Lelang Kelas I yang tidak memenuhi peringatan tertulis dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak diterimanya surat peringatan, oleh Kepala Kantor Wilayah diusulkan untuk dibebastugaskan kepada Direktur Jenderal dengan tembusan kepada Direktur.
Bagian Ketiga
Pembebastugasan
Pasal 27
(1) Pembebastugasan Pejabat Lelang Kelas I dilakukan oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri.
(2) Pembebastugasan dijatuhkan kepada Pejabat Lelang Kelas I dalam hal:
a. adanya usulan pembebastugasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (3);
b. melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14;
c. melaksanakan lelang tanah dan/atau tanah dan bangunan tanpa dilengkapi Surat Keterangan Tanah dari Kantor Pertanahan; atau
d. telah berstatus sebagai terdakwa dalam perkara pidana dengan ancaman hukuman penjara.
Pasal 28
Usulan pembebastugasan Pejabat Lelang Kelas I diajukan oleh Kepala Kantor Wilayah kepada Direktur Jenderal dengan melampirkan:
a. surat peringatan dari Kepala Kantor Wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2);
b. bukti adanya pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) huruf b dan huruf c; dan/atau
c. surat keterangan dari Pejabat yang berwenang bahwa Pejabat Lelang Kelas I berstatus sebagai terdakwa.
Pasal 29
(1) Pembebastugasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dijatuhkan kepada Pejabat Lelang Kelas I oleh Direktur Jenderal dengan menetapkan keputusan pembebastugasan yang berisi larangan melaksanakan jabatannya selama 6 (enam) bulan sejak tanggal ditetapkan dengan tembusan kepada Direktur.
(2) Jika Pejabat Lelang Kelas I yang telah dibebastugaskan 1 (satu) kali mengulangi perbuatan/pelanggaran yang sama atau pelanggaran lainnya, maka Direktur Jenderal membebastugaskan Pejabat Lelang Kelas I dimaksud dengan menetapkan keputusan pembebastugasan kedua yang berisi larangan melaksanakan jabatannya selama 1 (satu) tahun.
(3) Jika Pejabat Lelang Kelas I yang telah dibebastugaskan sebanyak 2 (dua) kali sebagaimana dimaksud pada ayat (2), mengulangi perbuatan/pelanggaran yang sama atau pelanggaran lainnya, Direktur Jenderal menetapkan keputusan pemberhentian tidak dengan hormat terhadap yang bersangkutan selaku Pejabat Lelang Kelas I.
(4) Keputusan Direktur Jenderal tentang pembebastugasan Pejabat Lelang Kelas I diterbitkan paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah usul pembebastugasan dari Kepala Kantor Wilayah diterima oleh Direktur Jenderal.
Pasal 30
(1) Dikecualikan dari ketentuan Pasal 29 ayat (2) dan ayat (3), jangka waktu pembebastugasan diberikan untuk setiap 6 (enam) bulan dan dapat diperpanjang paling lama 18 (delapan belas) bulan untuk Pejabat Lelang Kelas I yang berstatus sebagai terdakwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) huruf d.
(2) Usulan perpanjangan pembebastugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Kepala Kantor Wilayah yang bersangkutan kepada Direktur Jenderal.
(3) Apabila jangka waktu pembebastugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah berakhir, namun proses perkara belum selesai, yang bersangkutan diberhentikan dengan hormat selaku Pejabat Lelang Kelas I.
(4) Dalam hal Pejabat Lelang Kelas I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) huruf d tidak terbukti bersalah berdasarkan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, Pejabat Lelang Kelas I yang telah diberhentikan dengan hormat atau sedang dalam masa pembebastugasan dapat mengajukan permohonan pengangkatan kembali atau pencabutan sanksi pembebastugasan kepada Kepala Kantor Wilayah setempat melalui Kepala KPKNL.
(5) Dalam hal berdasarkan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap Pejabat Lelang Kelas I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) huruf d terbukti bersalah, yang bersangkutan diberhentikan tidak dengan hormat selaku Pejabat Lelang Kelas I.
Pasal 31
Permohonan pengangkatan kembali atau pencabutan sanksi pembebastugasan Pejabat Lelang Kelas I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (4), harus melampirkan:
a. Surat Keputusan pengangkatan Pejabat Lelang Kelas I;
b. Surat Keputusan pemberhentian dengan hormat/pembebastugasan; dan
c. Salinan/fotokopi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Bagian Keempat
Pemberhentian Tidak Dengan Hormat
Pasal 32
(1) Pejabat Lelang Kelas I diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya, jika:
a. melaksanakan lelang tanpa surat tugas Kepala KPKNL;
b. melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3); atau
c. dijatuhi hukuman pidana penjara berdasarkan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (5).
(2) Sanksi pemberhentian tidak dengan hormat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak perlu didahului dengan surat peringatan.
Pasal 33
(1) Kepala Kantor Wilayah mengajukan usulan pemberhentian tidak dengan hormat Pejabat Lelang Kelas I secara tertulis kepada Direktur Jenderal melalui Sekretaris DJKN dengan tembusan kepada Direktur, paling kurang dengan melampirkan:
a. surat keterangan Kepala Kantor Wilayah berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap Pejabat Lelang Kelas I yang melakukan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) huruf a dan huruf b;
b. salinan atau fotokopi keputusan majelis hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) huruf c; dan/atau
c. keputusan pembebastugasan kesatu dan kedua serta surat keterangan Kepala Kantor Wilayah berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap Pejabat Lelang Kelas I yang mengulangi perbuatan pelanggaran yang sama/pelanggaran lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2).
(2) Direktur Jenderal menerbitkan Keputusan Pemberhentian Tidak Dengan Hormat kepada Pejabat Lelang Kelas I dengan tembusan kepada Direktur, paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah usulan pemberhentian dari Kepala Kantor Wilayah diterima oleh Direktur Jenderal.
Pasal 34
Pembebastugasan dan pemberhentian tidak dengan hormat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dan Pasal 32 tidak menutup kemungkinan penjatuhan sanksi sebagaimana diatur dalam peraturan kepegawaian dan adanya gugatan perdata dan/atau tuntutan pidana sesuai peraturan perundang-undangan.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 35
Pada saat Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 41/PMK.07/2006 tentang Pejabat Lelang Kelas I dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 36
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku sejak tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 September 2010
MENTERI KEUANGAN,


AGUS D.W. MARTOWARDOJO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 30 September 2010
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,


PATRIALIS AKBAR


BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 474

Peraturan Pejabat Lelang Kelas II Tahun 2010

MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 175/PMK.06/2010

TENTANG

PEJABAT LELANG KELAS II

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN,

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 9 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pejabat Lelang Kelas II;
Mengingat : 1. Undang-Undang Lelang (Vendu Reglement, Ordonantie 28 Februari 1908 Staatsblad 1908:189 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Staatsblad 1941:3);
2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3687);
3. Instruksi Lelang (Vendu Instructie, Staatsblad 1908:190 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Staatsblad 1930:85);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2003 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Departemen Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 95, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4313);
5. Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2005 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Kementerian Negara Republik Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 50 Tahun 2008;
6. Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal di Lingkungan Departemen Keuangan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2007;
7. Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara;
8. Keputusan Presiden Nomor 56/P Tahun 2010;;

9. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 100/PMK.01/2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Keuangan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 143.1/PMK.01/2009;

10. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 102/PMK.01/2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal Direktorat Jenderal Kekayaan Negara;
11. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang;
12. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 347/KMK.01/2008 tentang Pelimpahan Wewenang Kepada Pejabat Eselon I di Lingkungan Departemen Keuangan untuk dan Atas Nama Menteri Keuangan Menandatangani Surat dan atau Keputusan Menteri Keuangan sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 218/KMK.01/2010;

MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PEJABAT LELANG KELAS II.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan:
1. Pejabat Lelang adalah orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan diberi wewenang khusus untuk melaksanakan penjualan barang secara lelang.
2. Pejabat Lelang Kelas II adalah Pejabat Lelang swasta yang berwenang melaksanakan Lelang Noneksekusi Sukarela.
3. Kantor Pejabat Lelang Kelas II adalah kantor swasta tempat kedudukan Pejabat Lelang Kelas II.
4. Balai Lelang adalah Badan Hukum Indonesia berbentuk Perseroan Terbatas (PT) yang khusus didirikan untuk melakukan kegiatan usaha di bidang lelang.
5. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia.
6. Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, yang selanjutnya disingkat DJKN, adalah unit Eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan yang mempunyai tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang kekayaan negara, piutang negara dan lelang sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
7. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Kekayaan Negara.
8. Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, yang selanjutnya disebut Kantor Wilayah, adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Kekayaan Negara yang berada di bawah dan bertanggungjawab langsung kepada Direktur Jenderal Kekayaan Negara.
9. Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang, yang selanjutnya disingkat KPKNL, adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Kekayaan Negara yang berada di bawah dan bertanggungjawab langsung kepada Kepala Kantor Wilayah.
10. Upah Persepsi adalah imbalan jasa atas pelaksanaan lelang yang diberikan oleh Penjual kepada Pejabat Lelang Kelas II.
11. Pengawas Lelang (Superintenden) adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh Menteri untuk melakukan pembinaan dan pengawasan kepada Pejabat Lelang.
12. Penjual adalah orang, badan hukum/usaha atau instansi yang berdasarkan peraturan perundang-undangan atau perjanjian berwenang untuk menjual barang secara lelang.
13. Pemilik Barang adalah orang atau badan hukum/usaha yang memiliki hak kepemilikan atas suatu barang yang dilelang.
14. Pemeriksaan langsung adalah kegiatan pemeriksaan yang dilakukan oleh Pengawas Lelang (Superintenden) terhadap Pejabat Lelang Kelas II dalam rangka pembinaan, pengawasan dan/atau penilaian kinerja.
15. Pemeriksaan tidak langsung adalah kegiatan pemeriksaan yang dilakukan oleh Pengawas Lelang (Superintenden) terhadap dokumen lelang dan laporan kegiatan Pejabat Lelang Kelas II serta data lainnya.
BAB II
PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN
Bagian Kesatu
Pengangkatan
Pasal 2
(1) Pejabat Lelang Kelas II diangkat dan diberhentikan oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri.
(2) Keputusan Pengangkatan Pejabat Lelang Kelas II berlaku untuk masa jabatan 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang kembali.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai perpanjangan masa jabatan Pejabat Lelang Kelas II sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal.
Pasal 3
(1) Setiap orang yang memenuhi syarat dapat diangkat sebagai Pejabat Lelang Kelas II.
(2) Syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. sehat jasmani dan rohani;
b. berpendidikan paling rendah Sarjana (S1) diutamakan bidang hukum atau ekonomi manajemen/akuntansi;
c. tidak pernah dijatuhi hukuman pidana;
d. tidak pernah terkena sanksi administrasi berat dan memiliki integritas yang tinggi, khusus untuk Pensiunan Pegawai Negeri Sipil (PNS) DJPLN/DJKN dengan pangkat/golongan terakhir paling rendah Penata (III c);
e. memiliki kantor Pejabat Lelang Kelas II paling kurang seluas 36 m2;
f. tidak memiliki kredit macet dan tidak termasuk dalam daftar orang tercela (DOT);
g. lulus pendidikan dan pelatihan untuk Pejabat Lelang Kelas II yang diselenggarakan oleh Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Kementerian Keuangan, kecuali pensiunan PNS DJPLN/DJKN yang pernah menjadi Pejabat Lelang atau yang menguasai tentang lelang;
h. telah mengikuti praktik kerja (magang), kecuali pensiunan PNS DJPLN/DJKN yang pernah menjadi Pejabat Lelang atau yang menguasai tentang lelang; dan
i. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
Pasal 4
(1) Dokumen persyaratan pengangkatan Pejabat Lelang Kelas II sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) meliputi:
a. fotokopi identitas diri;
b. Surat Keterangan dokter Pemerintah yang menyatakan sehat jasmani dan rohani;
c. fotokopi ijazah Sarjana (S1) yang telah dilegalisasi pejabat yang berwenang;
d. Surat Keterangan Catatan Kepolisian;
e. fotokopi sertifikat atau surat tanda bukti kepemilikan atau surat perjanjian sewa dengan jangka waktu sewa paling singkat 2 (dua) tahun dan foto sebagai data pendukung tersedianya fasilitas kantor dengan luas paling kurang 36 m2;
f. surat pernyataan tidak memiliki kredit macet dan tidak termasuk DOT;
g. fotokopi sertifikat lulus Pendidikan dan Pelatihan Pejabat Lelang yang diselenggarakan oleh Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Kementerian Keuangan;
h. Surat Rekomendasi dari Kepala KPKNL, yang menyatakan calon Pejabat Lelang Kelas II yang bersangkutan telah melakukan praktik kerja (magang); dan
i. fotokopi bukti kepemilikan NPWP.
(2) Dokumen persyaratan pengangkatan Pejabat Lelang Kelas II yang berasal dari pensiunan PNS DJPLN/DJKN yang pernah menjadi Pejabat Lelang atau yang menguasai tentang lelang:
a. fotokopi identitas diri;
b. Surat Keterangan dokter Pemerintah yang menyatakan sehat jasmani dan rohani;
c. fotokopi ijazah Sarjana (S1) yang telah dilegalisasi pejabat yang berwenang;
d. surat rekomendasi dari Direktur Jenderal c.q. Sekretaris Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN);
e. Surat Keterangan Catatan Kepolisian;
f. fotokopi Surat Keputusan Pensiun PNS DJPLN/DJKN dengan pangkat/golongan terakhir paling rendah Penata (III/c);
g. fotokopi Surat Keputusan Pengangkatan Pejabat Lelang, khusus bagi pensiunan PNS DJPLN/DJKN yang pernah menjadi Pejabat Lelang;
h. daftar riwayat hidup bagi pensiunan PNS DJPLN/DJKN yang belum pernah menjadi Pejabat Lelang;
i. sertifikat atau surat tanda bukti kepemilikan atau surat perjanjian sewa dengan jangka waktu sewa paling singkat 2 (dua) tahun dan foto sebagai data pendukung tersedianya fasilitas kantor dengan luas paling kurang 36 m2; dan
j. fotokopi bukti kepemilikan NPWP.
Pasal 5
(1) Surat permohonan menjadi Pejabat Lelang Kelas II diajukan oleh calon Pejabat Lelang Kelas II kepada Direktur Jenderal, yang paling kurang memuat:
a. identitas pemohon (nama, tempat dan tanggal lahir, alamat tempat tinggal);
b. tempat kedudukan yang diinginkan.
(2) Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan dokumen persyaratan pengangkatan Pejabat Lelang Kelas II.
(3) Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diteliti oleh Direktur untuk disampaikan usulan pengangkatan kepada Direktur Jenderal.
Pasal 6
(1) Praktik kerja (magang), oleh calon Pejabat Lelang Kelas II sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf h diselenggarakan oleh KPKNL yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Wilayah setempat.
(2) Dalam mengikuti praktik kerja (magang), calon Pejabat Lelang Kelas II melaksanakan kegiatan-kegiatan sebagai berikut:
a. membantu Pejabat Lelang dalam proses pelaksanaan Lelang Noneksekusi yang diselenggarakan oleh KPKNL paling sedikit 10 (sepuluh) kali;
b. membantu Pejabat Lelang dalam pembuatan Risalah Lelang atas Lelang Noneksekusi yang diselenggarakan oleh KPKNL paling sedikit 10 (sepuluh) kali; dan
c. membantu dalam pembuatan seluruh jenis laporan administrasi lelang.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai praktik kerja (magang) diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal.
Pasal 7
(1) Sebelum memangku jabatan, Pejabat Lelang Kelas II wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agama atau kepercayaannya dan dilantik di hadapan dan oleh Kepala Kantor Wilayah yang membawahi Pejabat Lelang Kelas II yang bersangkutan.
(2) Pengambilan sumpah atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didampingi oleh seorang rohaniawan dan disaksikan paling sedikit 2 (dua) orang saksi.
(3) Bunyi sumpah atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai berikut:
"Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya untuk memangku jabatan saya ini, langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada siapapun juga yang bertentangan dengan jabatan saya".
"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan saya ini, tiada sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga sesuatu janji atau pemberian yang bertentangan dengan jabatan saya ".
"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, akan setia kepada dan akan mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai Dasar dan Ideologi Negara, Undang-Undang Dasar 1945, dan segala Undang-Undang, serta peraturan lain yang berlaku bagi Negara Republik Indonesia".
"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan saya ini dengan jujur, seksama dan dengan tidak membeda-bedakan orang dalam melaksanakan kewajiban saya dan akan berlaku sebaik-baiknya dan seadil-adilnya seperti layaknya bagi seorang Pejabat Lelang yang berbudi baik dan jujur, menegakkan hukum dan keadilan".
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengambilan sumpah atau janji dan pelantikan jabatan Pejabat Lelang Kelas II diatur dengan peraturan Direktur Jenderal.
Bagian Kedua
Pemberhentian
Pasal 8
Pemberhentian Pejabat Lelang Kelas II berupa pemberhentian dengan hormat atau pemberhentian tidak dengan hormat.
Pasal 9
Pejabat Lelang Kelas II berhenti atau diberhentikan dengan hormat dari jabatannya jika:
a. meninggal dunia;
b. mundur atas permintaan sendiri;
c. telah mencapai usia 65 (enam puluh lima) tahun;
d. tidak mampu secara jasmani dan/atau rohani untuk melaksanakan tugas jabatan Pejabat Lelang secara terus menerus lebih dari 1 (satu) tahun; atau
e. berstatus sebagai terdakwa dalam perkara pidana dan telah dibebastugaskan selama 18 (delapan belas) bulan.
Pasal 10

(1) Kepala Kantor Wilayah mengajukan usulan pemberhentian dengan hormat Pejabat Lelang Kelas II secara tertulis kepada Direktur Jenderal melalui Sekretaris DJKN dengan tembusan kepada Direktur, dengan melampirkan dokumen antara lain:
a. surat keterangan meninggal dunia;
b. surat permohonan berhenti sebagai Pejabat Lelang Kelas II;
c. surat keterangan Kepala Kantor Wilayah yang menyatakan Pejabat Lelang Kelas II telah berusia lebih dari 65 tahun;
d. surat keterangan dokter Pemerintah yang menyatakan Pejabat Lelang Kelas II tidak mampu melaksanakan tugas jabatannya secara terus menerus lebih dari 1 (satu) tahun; atau
e. surat keterangan Kepala Kantor Wilayah yang menyatakan Pejabat Lelang Kelas II telah dibebastugaskan selama 18 (delapan belas) bulan.
(2) Direktur Jenderal atas nama Menteri menerbitkan keputusan mengenai pemberhentian dengan hormat Pejabat Lelang Kelas II dengan tembusan kepada Direktur paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah usulan pemberhentian dari Kepala Kantor Wilayah diterima oleh Direktur Jenderal.
Pasal 11
Pejabat Lelang Kelas II yang telah diberhentikan tidak dengan hormat tidak dapat diangkat kembali menjadi Pejabat Lelang.
BAB III
WEWENANG, KEWAJIBAN, DAN LARANGAN
Bagian Kesatu
Wewenang
Pasal 12
(1) Pejabat Lelang Kelas II berwenang melaksanakan lelang atas permohonan Balai Lelang dan Penjual/Pemilik Barang.
(2) Pelaksanaan lelang oleh Pejabat Lelang Kelas II sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terbatas pada Lelang Noneksekusi Sukarela termasuk tetapi tidak terbatas pada:
a. Lelang Barang Milik BUMN/D berbentuk persero;
b. Lelang harta milik bank dalam likuidasi kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan;
c. Lelang Barang Milik Perwakilan Negara Asing; dan
d. Lelang Barang Milik Swasta.
Pasal 13
Pejabat Lelang Kelas II berwenang untuk:
a. menolak melaksanakan lelang dalam hal tidak yakin akan kebenaran formal berkas persyaratan lelang;
b. melihat barang yang akan dilelang;
c. menegur dan/atau mengeluarkan peserta dan/atau pengunjung lelang jika mengganggu jalannya pelaksanaan lelang dan/atau melanggar tata tertib pelaksanaan lelang;
d. menghentikan pelaksanaan lelang untuk sementara waktu apabila diperlukan untuk menjaga ketertiban pelaksanaan lelang;
e. meminta bantuan aparat keamanan dalam hal diperlukan;
f. mengesahkan pembeli lelang; dan/atau
g. membatalkan pengesahan pembeli lelang yang wanprestasi.
Bagian Kedua
Kewajiban
Pasal 14
(1) Pejabat Lelang Kelas II dalam melaksanakan jabatannya berkewajiban:
a. memiliki rekening khusus atas nama jabatan Pejabat Lelang Kelas II;
b. bertindak jujur, seksama, mandiri, tidak berpihak dan menjaga kepentingan pihak yang terkait;
c. mengadakan perikatan perdata dengan Balai Lelang atau Penjual/Pemilik Barang mengenai pelaksanaan lelang;
d. meneliti legalitas formal subjek dan objek lelang;
e. melaksanakan lelang dalam hal yakin akan legalitas formal subjek dan objek lelang;
f. membuat bagian Kepala Risalah Lelang sebelum pelaksanaan lelang;
g. membacakan bagian Kepala Risalah Lelang di hadapan peserta lelang pada saat pelaksanaan lelang, kecuali dalam Lelang Noneksekusi Sukarela melalui internet;
h. menjaga ketertiban pelaksanaan lelang;
i. membuat Minuta Risalah Lelang dan menyimpannya sesuai peraturan perundang-undangan;
j. membuat Salinan Risalah Lelang, Kutipan Risalah Lelang, dan Grosse Risalah Lelang sesuai peraturan perundang-undangan;
k. menyelenggarakan pembukuan, administrasi perkantoran dan membuat laporan pelaksanaan lelang, sebagaimana format yang diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal.
(2) Dalam hal Balai Lelang sebagai pemohon lelang, Pejabat Lelang Kelas II mempunyai kewajiban untuk meminta bukti pelunasan Kewajiban Pembayaran Lelang, Bea Lelang, Pajak Penghasilan Final, dan pungutan-pungutan lain yang diatur berdasarkan peraturan perundang-undangan kepada Balai Lelang dan meneliti keabsahannya.
(3) Dalam hal Penjual/Pemilik Barang sebagai pemohon lelang, Pejabat Lelang Kelas II mempunyai kewajiban:
a. mengembalikan Uang Jaminan Penawaran Lelang seluruhnya tanpa potongan kepada peserta lelang yang tidak disahkan sebagai Pembeli;
b. menyetorkan Bea Lelang dan PPh Final atas Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan dalam hal yang dilelang berupa tanah dan/atau tanah dan bangunan ke Kas Negara dalam waktu 1 (satu) hari kerja setelah Kewajiban Pembayaran Lelang dibayar oleh Pembeli;
c. menyetorkan Uang Jaminan Penawaran Lelang dari Pembeli yang wanprestasi kepada Pemilik Barang sesuai kesepakatan antara Pemilik Barang dan Pejabat Lelang Kelas II;
d. menyerahkan Hasil Bersih Lelang kepada Penjual/Pemilik Barang paling lama 3 (tiga) hari kerja setelah pembayaran diterima;
e. menyerahkan dokumen kepemilikan objek lelang, kuitansi pembayaran lelang dan Kutipan Risalah Lelang kepada Pembeli setelah kewajiban Pembeli dipenuhi.
Bagian Ketiga
Larangan
Pasal 15
Pejabat Lelang Kelas II dalam melaksanakan jabatannya dilarang:
a. melayani permohonan Lelang di luar kewenangannya;
b. dengan sengaja tidak hadir dalam pelaksanaan lelang yang telah dijadwalkan;
c. membeli barang yang dilelang dihadapannya secara langsung maupun tidak langsung;
d. menerima Uang Jaminan Penawaran Lelang dan Kewajiban Pembayaran Lelang dari Pembeli, dalam hal Balai Lelang sebagai pemohon lelang;
e. melakukan pungutan lain di luar yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku;
f. melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan kepatutan sebagai Pejabat Lelang;
g. menolak permohonan lelang, sepanjang dokumen persyaratan lelang sudah lengkap dan telah memenuhi legalitas formal subjek dan objek lelang;
h. merangkap jabatan atau profesi sebagai Pejabat Negara, Kurator, Penilai, Pengacara/Advokat;
i. merangkap sebagai Komisaris, Direksi, Pemimpin dan pegawai Balai Lelang;
j. menerima/menetapkan permohonan lelang dalam masa cuti; dan/atau
k. melibatkan keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas dan ke bawah derajat pertama, suami/isteri serta saudara sekandung Pejabat Lelang dalam pelaksanaan lelang yang dipimpinnya.
BAB IV
WILAYAH JABATAN, TEMPAT KEDUDUKAN,
FORMASI JABATAN, DAN CUTI
Bagian Kesatu
Wilayah Jabatan dan Tempat Kedudukan
Pasal 16
Pejabat Lelang Kelas II mempunyai wilayah jabatan tertentu sesuai dengan Keputusan Pengangkatan Pejabat Lelang Kelas II.
Pasal 17
(1) Pejabat Lelang Kelas II mempunyai tempat kedudukan di kabupaten atau kota dalam wilayah jabatannya.
(2) Pejabat Lelang Kelas II yang diangkat dari Notaris mempunyai tempat kedudukan yang sama dengan tempat kedudukan Notaris.
(3) Pejabat Lelang Kelas II hanya dapat melaksanakan lelang dalam wilayah jabatannya.
Pasal 18
(1) Pejabat Lelang Kelas II hanya dapat mempunyai 1 (satu) kantor.
(2) Dalam hal Pejabat Lelang Kelas II yang diangkat dari Notaris, dapat berkantor di kantor Notarisnya.
(3) Kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus berada di tempat kedudukan Pejabat Lelang Kelas II.
(4) Dalam 1 (satu) kantor Pejabat Lelang Kelas II, hanya dapat ditempati oleh 1 (satu) Pejabat Lelang Kelas II.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tempat kedudukan Pejabat Lelang Kelas II diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal.
Bagian Kedua
Formasi Jabatan
Pasal 19
(1) Formasi jabatan Pejabat Lelang Kelas II ditetapkan oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri dengan mempertimbangkan, termasuk tetapi tidak terbatas pada:
a. frekuensi pelaksanaan lelang;
b. jumlah penduduk; dan/atau
c. luas wilayah.
(2) Pengangkatan Pejabat Lelang Kelas II dilakukan sesuai dengan formasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Bagian Ketiga
Cuti
Pasal 20
(1) Pejabat Lelang Kelas II mempunyai hak cuti.
(2) Hak cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 20 (dua puluh) hari kerja dalam 1 (satu) tahun dan dapat diambil sekaligus selama masa jabatannya.
(3) Pejabat Lelang Kelas II yang sedang dalam masa cuti, tidak boleh menerima permohonan lelang, menetapkan jadwal lelang dan melaksanakan lelang.
Pasal 21
(1) Pejabat Lelang Kelas II mengajukan permohonan cuti secara tertulis kepada Kepala Kantor Wilayah setempat, dengan tembusan kepada Direktur Jenderal.
(2) Kepala Kantor Wilayah setempat memberikan keputusan menolak atau menerima permohonan cuti, paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah surat permohonan cuti diterima.
BAB V
IMBALAN JASA
Pasal 22
(1) Pejabat Lelang Kelas II berhak mendapat imbalan jasa berupa Upah Persepsi dalam setiap pelaksanaan lelang yang laku.
(2) Upah Persepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebankan kepada Penjual.
(3) Besaran Upah Persepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima sebesar 1% (satu perseratus) dari harga lelang atau paling sedikit Rp.1.000.000,00 (satu juta rupiah).
(4) Dalam hal pelaksanaan lelang tidak laku, Pejabat Lelang Kelas II dapat memperoleh biaya administrasi sesuai dengan perikatan.
BAB VI
PENGAWAS LELANG (SUPERINTENDEN)
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 23
Direktur Jenderal dan Kepala Kantor Wilayah karena jabatannya (ex officio) menjadi Pengawas Lelang (Superintenden) Pejabat Lelang Kelas II.
Bagian Kedua
Pembinaan dan Pengawasan
Pasal 24
(1) Direktur Jenderal selaku Pengawas Lelang (Superintenden) melakukan pembinaan dan pengawasan kepada seluruh Pejabat Lelang Kelas II.
(2) Pembinaan dan pengawasan oleh Direktur Jenderal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Direktur.
(3) Pembinaan dan pengawasan oleh Direktur sebagaimana dimaksud pada ayat (2), meliputi:
a. melakukan pembinaan teknis dan administrasi lelang;
b. melakukan pemeriksaan langsung atau tidak langsung dan melaporkan hasil pemeriksaan kepada Direktur Jenderal;
c. menindaklanjuti usulan sanksi dari Kantor Wilayah dan menyiapkan sanksi yang akan dijatuhkan oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri; dan
d. melakukan pemantauan pelaksanaan lelang;
Pasal 25
(1) Pembinaan terhadap Pejabat Lelang Kelas II sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) berupa pemberian penghargaan atau sanksi.
(2) Penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa surat atau piagam.
(3) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pembebastugasan atau pemberhentian tidak dengan hormat.
Pasal 26
(1) Kepala Kantor Wilayah selaku Pengawas Lelang (Superintenden) melakukan pembinaan dan pengawasan kepada Pejabat Lelang Kelas II yang berkedudukan di wilayahnya.
(2) Pembinaan dan pengawasan oleh Kepala Kantor Wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
a. melakukan penilaian kinerja;
b. melakukan pemeriksaan langsung atau tidak langsung dan melaporkan hasil pemeriksaan kepada Direktur Jenderal;
c. melakukan pemantauan pelaksanaan sanksi yang dijatuhkan kepada Pejabat Lelang;
d. melakukan pengawasan pelaksanaan lelang;
e. melakukan bimbingan teknis dan administrasi lelang; dan
f. menjatuhkan sanksi peringatan tertulis.
(3) Kepala Kantor Wilayah selaku Pengawas Lelang (Superintenden) berwenang:
a. mengambil sumpah/janji Pejabat Lelang Kelas II;
b. menunjuk Pejabat Lelang Kelas II lain sesuai dengan wilayah jabatannya atau Pejabat Lelang Kelas I sesuai dengan wilayah kerjanya untuk melaksanakan lelang yang sudah dijadwalkan, dalam hal Pejabat Lelang Kelas II yang akan melaksanakan lelang berhalangan tetap atau meninggal dunia;
c. menyelesaikan pembuatan Laporan dan/atau Risalah Lelang yang belum diselesaikan oleh Pejabat Lelang Kelas II yang berhalangan tetap atau meninggal dunia;
d. menghentikan sementara pelaksanaan lelang jika Pejabat Lelang Kelas II dalam melaksanakan lelang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 27
(1) Pengawas Lelang (Superintenden) dapat menunjuk pejabat/pegawai di lingkungannya untuk melakukan pemeriksaan langsung terhadap Pejabat Lelang Kelas II sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3) huruf b dan Pasal 26 ayat (2) huruf b.
(2) Dalam pemeriksaan langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pejabat Lelang Kelas II yang diperiksa wajib memperlihatkan Risalah Lelang, buku, catatan, dokumen dan memberikan keterangan yang diperlukan atas pelaksanaan lelang yang dilaksanakannya.
Bagian Ketiga
Penilaian Kinerja
Pasal 28
Penilaian kinerja Pejabat Lelang Kelas II didasarkan pada:
a. kualitas pelayanan lelang, meliputi:
1. kesesuaian dengan peraturan;
2. kecermatan dan ketelitian dalam membuat Minuta Risalah Lelang dan turunannya;
3. kecermatan dalam menganalisis dokumen;
4. kelancaran dan ketertiban pelaksanaan lelang; dan
5. optimalisasi harga lelang;
b. kuantitas pelayanan lelang, meliputi:
1. jumlah Minuta Risalah Lelang, Salinan, Kutipan, dan Grosse yang dihasilkan baik dengan kondisi barang laku, ditahan, atau tidak ada penawaran; dan
2. jumlah Harga Lelang, Bea Lelang, dan pungutan Pajak/pungutan lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 29
(1) Penilaian Kinerja Pejabat Lelang Kelas II oleh Kepala Kantor Wilayah selaku Pengawas Lelang (Superintenden) dilakukan paling sedikit 1 (satu) tahun sekali.
(2) Kepala Kantor Wilayah dapat menunjuk pejabat/pegawai di lingkungannya untuk melakukan Penilaian Kinerja terhadap Pejabat Lelang Kelas II sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Penilaian Kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menggunakan standar pemeriksaan yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal.
(4) Kepala Kantor Wilayah menganalisis dan melaporkan hasil Penilaian Kinerja Pejabat Lelang Kelas II serta mengajukan usul kepada Direktur Jenderal melalui Direktur untuk memberikan penghargaan atau menjatuhkan sanksi.
(5) Direktur meneliti hasil Penilaian Kinerja Pejabat Lelang Kelas II dan meneruskan usul kepada Direktur Jenderal untuk memberikan penghargaan atau menjatuhkan sanksi.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai Penilaian Kinerja Pejabat Lelang Kelas II diatur dengan peraturan Direktur Jenderal.
BAB VII
SANKSI
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 30
Sanksi yang dijatuhkan kepada Pejabat Lelang Kelas II meliputi:
a. peringatan tertulis;
b. pembebastugasan; atau
c. pemberhentian tidak dengan hormat.
Bagian Kedua
Peringatan Tertulis
Pasal 31
(1) Peringatan tertulis dijatuhkan kepada Pejabat Lelang Kelas II dalam hal:
a. melakukan kesalahan dalam pembuatan Risalah Lelang, termasuk tetapi tidak terbatas pada perbedaan data objek lelang, Harga Lelang, pengenaan Tarif Bea Lelang;
b. tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14; dan/atau
c. terlambat membuat Minuta Risalah Lelang;
(2) Kepala Kantor Wilayah menjatuhkan peringatan tertulis paling lambat 7 (tujuh) hari berdasarkan hasil pemeriksaan langsung/tidak langsung dan/atau Hasil Penilaian Kinerja Pejabat Lelang Kelas II.
(3) Pejabat Lelang Kelas II yang tidak memenuhi peringatan tertulis dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak diterimanya Surat Peringatan, oleh Kepala Kantor Wilayah diusulkan untuk dibebastugaskan kepada Direktur Jenderal melalui Direktur.
Bagian Ketiga
Pembebastugasan
Pasal 32
(1) Pembebastugasan Pejabat Lelang Kelas II dilakukan oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri.
(2) Pembebastugasan dijatuhkan kepada Pejabat Lelang Kelas II dalam hal:
a. adanya usulan pembebastugasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (3);
b. melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15;
c. melaksanakan lelang tanah dan/atau tanah dan bangunan tanpa dilengkapi Surat Keterangan Tanah dari Kantor Pertanahan; atau
d. telah berstatus sebagai terdakwa dalam perkara pidana dengan ancaman hukuman penjara.
Pasal 33
Usulan pembebastugasan Pejabat Lelang Kelas II diajukan oleh Kepala Kantor Wilayah kepada Direktur Jenderal dengan melampirkan:
a. surat peringatan dari Kepala Kantor Wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2);
b. bukti adanya pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) huruf b dan huruf c; dan/atau
c. surat keterangan dari Pejabat yang berwenang bahwa Pejabat Lelang Kelas II berstatus sebagai terdakwa.
Pasal 34
(1) Pembebastugasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 diberikan kepada Pejabat Lelang Kelas II oleh Direktur Jenderal dengan menetapkan Surat Keputusan Pembebastugasan yang berisi larangan melaksanakan jabatannya selama 6 (enam) bulan sejak tanggal ditetapkan dengan tembusan kepada Kepala Kantor Wilayah setempat.
(2) Jika Pejabat Lelang Kelas II yang telah dibebastugaskan 1 (satu) kali mengulangi perbuatan/pelanggaran yang sama atau pelanggaran lainnya, maka Direktur Jenderal membebastugaskan Pejabat Lelang Kelas II dimaksud dengan menetapkan keputusan pembebastugasan kedua yang berisi larangan melaksanakan jabatannya selama 1 (satu) tahun.
(3) Jika Pejabat Lelang Kelas II yang telah dibebastugaskan sebanyak 2 (dua) kali sebagaimana dimaksud pada ayat (2), mengulangi perbuatan/pelanggaran yang sama atau pelanggaran lainnya, Direktur Jenderal menetapkan keputusan pemberhentian tidak dengan hormat terhadap yang bersangkutan selaku Pejabat Lelang Kelas II.
(4) Surat Keputusan Direktur Jenderal tentang pembebastugasan Pejabat Lelang Kelas II diterbitkan paling lama 30 (tiga puluh) hari, setelah usul pembebastugasan dari Kepala Kantor Wilayah diterima oleh Direktur Jenderal.
Pasal 35
(1) Dikecualikan dari ketentuan Pasal 34 ayat (2) dan ayat (3), jangka waktu pembebastugasan diberikan untuk setiap 6 (enam) bulan dan dapat diperpanjang paling lama 18 (delapanbelas) bulan, untuk Pejabat Lelang Kelas II yang berstatus sebagai terdakwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) huruf d.
(2) Usulan perpanjangan pembebastugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Kepala Kantor Wilayah yang bersangkutan kepada Direktur Jenderal.
(3) Dalam hal jangka waktu pembebastugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah berakhir, namun proses perkara belum selesai, yang bersangkutan diberhentikan dengan hormat selaku Pejabat Lelang Kelas II.
(4) Dalam hal Pejabat Lelang Kelas II sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) huruf d tidak terbukti bersalah berdasarkan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, Pejabat Lelang Kelas II yang telah diberhentikan dengan hormat atau sedang dalam masa pembebastugasan dapat mengajukan permohonan pengangkatan kembali atau pencabutan pembebastugasan kepada Kepala Kantor Wilayah setempat.
(5) Dalam hal berdasarkan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, Pejabat Lelang Kelas II sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) huruf d terbukti bersalah, yang bersangkutan diberhentikan tidak dengan hormat selaku Pejabat Lelang Kelas II.
Pasal 36
Permohonan pengangkatan kembali atau pencabutan pembebastugasan Pejabat Lelang Kelas II sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (4), dengan melampirkan:
a. Surat Keputusan Pengangkatan Pejabat Lelang Kelas II;
b. Surat Keputusan pemberhentian dengan hormat/pembebastugasan; dan
c. Salinan/fotokopi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Bagian Keempat
Pemberhentian Tidak Dengan Hormat
Pasal 37
(1) Pejabat Lelang Kelas II diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya, jika:
a. melaksanakan lelang di luar wilayah jabatannya sebagaimana dimaksud pada Pasal 16;
b. melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3); atau
c. dijatuhi hukuman pidana penjara berdasarkan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (5).
(2) Pemberhentian tidak dengan hormat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak perlu didahului dengan Surat Peringatan.
Pasal 38
(1) Kepala Kantor Wilayah mengajukan usulan pemberhentian tidak dengan hormat Pejabat Lelang Kelas II secara tertulis kepada Direktur Jenderal melalui Direktur Lelang, paling kurang dengan melampirkan dokumen sebagai berikut:
a. surat keterangan Kepala Kantor Wilayah berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap Pejabat Lelang Kelas II yang melakukan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf a dan huruf b;
b. salinan atau fotokopi keputusan majelis hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (5); dan/atau
c. keputusan pembebastugasan kesatu dan kedua dan surat keterangan Kepala Kantor Wilayah berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap Pejabat Lelang Kelas II yang mengulangi perbuatan pelanggaran yang sama/pelanggaran lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2);
(2) Direktur Jenderal menerbitkan keputusan pemberhentian tidak dengan hormat kepada Pejabat Lelang Kelas II dengan tembusan kepada Direktur, paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah usulan pemberhentian dari Kepala Kantor Wilayah diterima oleh Direktur Jenderal.
Pasal 39
Pembebastugasan dan Pemberhentian tidak dengan hormat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 dan Pasal 37 tidak menutup kemungkinan gugatan perdata dan/atau tuntutan pidana sesuai peraturan perundang-undangan.
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 40
Pada saat Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku:
a. pengangkatan, pembinaan dan pemberhentian dengan hormat Pejabat Lelang Kelas II yang masih dalam proses serta masa jabatan Pejabat Lelang Kelas II, dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 119/PMK.07/2005 tentang Pejabat Lelang Kelas II; dan
b. Pejabat Lelang Kelas II yang masih merangkap sebagai komisaris, direksi, pemimpin atau pegawai Balai Lelang, paling lama 2 (dua) tahun sejak Peraturan Menteri Keuangan ini ditetapkan, wajib melepaskan jabatan Pejabat Lelang Kelas II, atau komisaris, direksi, pemimpin atau pegawai Balai Lelang.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 41
Pada saat Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 119/PMK.07/2005 tentang Pejabat Lelang Kelas II dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 42
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku sejak tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 September 2010
MENTERI KEUANGAN,



Diundangkan di Jakarta AGUS D.W. MARTOWARDOJO
pada Tanggal 30 September 2010
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,



PATRIALIS AKBAR

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 475

Peraturan Balai Lelang Tahun 2010

MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 176/PMK.06/2010

TENTANG

BALAI LELANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN,

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 9 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Balai Lelang;
Mengingat : 1. Undang-Undang Lelang (Vendu Reglement, Ordonantie 28 Februari 1908 Staatsblad 1908:189 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Staatsblad 1941:3);
2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3687);
3. Instruksi Lelang (Vendu Instructie, Staatsblad 1908:190 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Staatsblad 1930:85);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2003 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Departemen Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 95, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4313);
5. Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2005 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Kementerian Negara Republik Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 50 Tahun 2008;
6. Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal di Lingkungan Departemen Keuangan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2007;
7. Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara;
8. Keputusan Presiden Nomor 56/P Tahun 2010;;

9. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 100/PMK.01/2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Keuangan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 143.1/PMK.01/2009;

10. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 102/PMK.01/2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal Direktorat Jenderal Kekayaan Negara;
11. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang;
12. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 347/KMK.01/2008 tentang Pelimpahan Wewenang Kepada Pejabat Eselon I di Lingkungan Departemen Keuangan untuk dan Atas Nama Menteri Keuangan Menandatangani Surat dan atau Keputusan Menteri Keuangan sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 218/KMK.01/2010;

MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG BALAI LELANG.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan:
1. Balai Lelang adalah Badan Hukum Indonesia berbentuk Perseroan Terbatas (PT) yang khusus didirikan untuk melakukan kegiatan usaha di bidang lelang.
2. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia.
3. Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, yang selanjutnya disingkat DJKN, adalah unit Eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan yang mempunyai tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang kekayaan negara, piutang negara dan lelang sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
4. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Kekayaan Negara.
5. Direktur Lelang, yang selanjutnya disebut Direktur, adalah salah satu Pejabat unit Eselon II di lingkungan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara yang mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan kegiatan, standardisasi dan bimbingan teknis, evaluasi serta pelaksanaan pembinaan perencanaan lelang, pemeriksaan, pengawasan, dan pembinaan kinerja di bidang lelang berdasarkan kebijakan teknis yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal.
6. Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, yang selanjutnya disebut Kantor Wilayah, adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Kekayaan Negara yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Direktur Jenderal.
7. Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang, yang selanjutnya disingkat KPKNL, adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Kekayaan Negara yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Kantor Wilayah.
8. Pejabat Lelang Kelas I adalah Pejabat Lelang pegawai Direktorat Jenderal Kekayaan Negara yang berwenang melaksanakan Lelang Eksekusi, Lelang Noneksekusi Wajib, dan Lelang Noneksekusi Sukarela.
9. Pejabat Lelang Kelas II adalah Pejabat Lelang swasta yang berwenang melaksanakan Lelang Noneksekusi Sukarela.
10. Pindah alamat adalah perubahan alamat kantor Balai Lelang dalam satu kota atau kabupaten tempat kedudukannya.
11. Pindah tempat kedudukan adalah perubahan domisili Balai Lelang di luar kota atau kabupaten tempat kedudukan yang lama.
12. Denda adalah kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu kepada negara karena pelanggaran terhadap ketentuan penyetoran Bea Lelang.
Pasal 2
Balai Lelang dapat didirikan oleh:
a. swasta nasional;
b. patungan swasta nasional dengan swasta asing; atau
c. patungan BUMN/D dengan swasta nasional/swasta asing;
sesuai peraturan perundang-undangan.
BAB II
PERIZINAN
Pasal 3
Direktur Jenderal atas nama Menteri memberikan atau mencabut izin operasional Balai Lelang dengan format sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran I A dan Lampiran I B yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri Keuangan ini.
Pasal 4
(1) Direksi Balai Lelang mengajukan permohonan izin operasional Balai Lelang secara tertulis kepada Direktur Jenderal dengan format sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran II yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri Keuangan ini.
(2) Permohonan izin operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilengkapi dokumen persyaratan:
a. akta pendirian Balai Lelang, yang dibuat di hadapan Notaris dan telah disahkan oleh instansi yang berwenang;
b. bukti modal disetor paling kurang Rp.2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah);
c. rekening koran atas nama Balai Lelang yang bersangkutan;
d. proposal pendirian Balai Lelang memuat antara lain:
1) ruang lingkup kegiatan Balai Lelang;
2) struktur organisasi berikut personil, termasuk tenaga penilai, tenaga hukum, apabila tenaga penilai dan tenaga hukum bekerja sebagai karyawan Balai Lelang yang bersangkutan; dan
3) rencana kegiatan lelang selama 1 (satu) tahun;
e. neraca awal Balai Lelang yang bersangkutan;
f. sertifikat atau tanda bukti kepemilikan atau surat perjanjian sewa dengan jangka waktu sewa paling singkat 2 (dua) tahun serta foto sebagai data pendukung tersedianya fasilitas kantor dengan luas paling kurang 60 m2 dan gudang/tempat penyimpanan barang dengan luas paling kurang 100 m2;
g. fotokopi identitas para pemegang saham dan direksi Balai Lelang dengan menunjukkan aslinya;
h. fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) Balai Lelang, para pemegang saham dan direksi dengan menunjukkan aslinya, khusus untuk pemegang saham berkewarganegaraan asing tunduk pada ketentuan perpajakan yang berlaku;
i. Surat Pernyataan dari para pemegang saham dan direksi Balai Lelang bahwa yang bersangkutan tidak memiliki kredit macet di bank pemerintah/swasta dan tidak termasuk dalam Daftar Orang Tercela (DOT) dengan format sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran III yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri Keuangan ini;
j. Surat Keterangan Domisili kantor Balai Lelang dari kelurahan setempat;
k. Surat Izin Tempat Usaha (SITU) atau surat izin/keterangan sejenis yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang;
l. bukti tersedianya tenaga penilai berupa ijazah/sertifikat penilai dan surat perjanjian kerja, apabila tenaga penilai yang bersangkutan berasal dari luar Balai Lelang; dan
m. bukti tersedianya tenaga hukum berupa ijazah sarjana hukum dan surat perjanjian kerja, apabila tenaga hukum yang bersangkutan berasal dari luar Balai Lelang.
(3) Izin operasional Balai Lelang diberikan setelah:
a. dokumen persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan lengkap; dan
b. dilakukan peninjauan lokasi.
BAB III
PINDAH ALAMAT DAN PINDAH TEMPAT KEDUDUKAN
Pasal 5
(1) Balai Lelang yang pindah alamat wajib memberitahukan secara tertulis kepada Kepala Kantor Wilayah setempat dengan tembusan kepada Direktur Jenderal, paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah pindah alamat.
(2) Balai Lelang yang pindah alamat wajib memberitahukan kepada khalayak umum melalui surat kabar harian setempat.
(3) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus melampirkan:
a. fotokopi risalah rapat direksi;
b. surat pernyataan tersedianya fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf f;
c. surat keterangan domisili kantor Balai Lelang dari kelurahan setempat;
d. SITU atau surat izin/surat keterangan sejenis yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang; dan
e. bukti pengumuman pindah alamat.
(4) Setiap pindah alamat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditindaklanjuti dengan peninjauan lokasi yang dilakukan oleh Kantor Wilayah setempat.
Pasal 6
(1) Balai Lelang yang akan pindah tempat kedudukan wajib mengajukan permohonan izin secara tertulis disertai alasan pindah tempat kedudukan kepada Direktur Jenderal dengan tembusan kepada:
a. Kepala Kantor Wilayah setempat dalam hal kedudukan masih dalam satu Kantor Wilayah; atau
b. Kepala Kantor Wilayah tempat kedudukan lama dan Kepala Kantor Wilayah tempat kedudukan yang baru, dalam hal tempat kedudukannya di luar wilayah kerja Kantor Wilayah yang lama.
(2) Permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus melampirkan:
a. fotokopi risalah rapat direksi; dan
b. surat pernyataan tersedianya fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf f.
(3) Permohonan izin pindah tempat kedudukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditindaklanjuti dengan peninjauan lokasi yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal cq. Direktorat Lelang.
(4) Direktur Jenderal memberikan izin pindah tempat kedudukan setelah persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dinyatakan lengkap, dengan format sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran IV yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri Keuangan ini.
(5) Balai Lelang yang telah mendapat izin pindah tempat kedudukan wajib:
a. melengkapi dokumen-dokumen sebagai berikut:
1. fotokopi akta notaris tentang perubahan tempat kedudukan Balai Lelang dan fotokopi surat keterangan penerimaan laporan Akta Perubahan Anggaran Dasar dari instansi yang berwenang;
2. surat keterangan domisili kantor Balai Lelang dari kelurahan setempat; dan
3. SITU atau surat izin/surat keterangan sejenis yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang;
b. memberitahukan kepada khalayak umum melalui surat kabar harian setempat paling lama 5 (lima) hari kerja setelah pindah tempat kedudukan.
(6) Bukti pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b disampaikan kepada Direktur Jenderal dengan tembusan kepada Kepala Kantor Wilayah tempat kedudukan yang lama dan/atau Kepala Kantor Wilayah tempat kedudukan yang baru, paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah diumumkan.
BAB IV
KANTOR PERWAKILAN
Pasal 7
(1) Balai Lelang dapat membuka kantor perwakilan.
(2) Kantor perwakilan Balai Lelang tidak berstatus badan hukum tersendiri.
(3) Direksi Balai Lelang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan kegiatan kantor perwakilan.
(4) Pemimpin kantor perwakilan bertindak untuk dan atas nama direksi Balai Lelang.
Pasal 8
(1) Balai Lelang yang akan membuka kantor perwakilan, wajib mengajukan permohonan izin secara tertulis kepada Direktur Jenderal dengan tembusan kepada Kepala Kantor Wilayah tempat kedudukan Balai Lelang dan/atau Kepala Kantor Wilayah tempat kantor perwakilan Balai Lelang.
(2) Permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus melampirkan:
a. pernyataan dari direksi Balai Lelang yang bersangkutan bahwa Balai Lelang bertanggung jawab terhadap pelayanan jasa lelang oleh kantor perwakilannya;
b. susunan pengurus kantor perwakilan Balai Lelang;
c. sertifikat atau tanda bukti kepemilikan atau surat perjanjian sewa dengan jangka waktu sewa paling singkat 2 (dua) tahun dan foto sebagai data pendukung tersedianya fasilitas kantor dengan luas paling kurang 36 m2;
d. surat keterangan domisili kantor perwakilan Balai Lelang dari kelurahan setempat; dan
e. SITU atau surat izin/surat keterangan sejenis yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang.
(3) Permohonan izin pembukaan kantor perwakilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditindaklanjuti dengan peninjauan lokasi yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal cq. Direktorat Lelang.
(4) Direktur Jenderal memberikan izin pembukaan kantor perwakilan setelah persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dinyatakan lengkap, dengan format sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran V yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri Keuangan ini.
Pasal 9
Balai Lelang yang menutup kantor perwakilan, wajib memberitahukan secara tertulis kepada Direktur Jenderal dengan tembusan kepada Kepala Kantor Wilayah tempat kedudukan Balai Lelang dan/atau Kepala Kantor Wilayah tempat kantor perwakilan Balai Lelang paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah penutupan kantor perwakilan Balai Lelang.
Pasal 10
Pengawasan kantor perwakilan Balai Lelang dilakukan oleh Kepala Kantor Wilayah tempat kedudukan kantor perwakilan Balai Lelang.
BAB V
PERUBAHAN PEMEGANG SAHAM, DIREKSI,
DAN NAMA BALAI LELANG
Pasal 11
(1) Dalam hal terjadi perubahan pemegang saham, Balai Lelang wajib mengajukan permohonan izin secara tertulis kepada Direktur Jenderal dengan tembusan kepada Kepala Kantor Wilayah setempat, paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah keputusan perubahan pemegang saham, dengan melampirkan:
a. fotokopi identitas calon pemegang saham yang baru dengan menunjukkan aslinya;
b. fotokopi NPWP calon pemegang saham yang baru dengan menunjukkan aslinya, khusus untuk calon pemegang saham Asing, ketentuan mengenai hal tersebut tunduk pada ketentuan perpajakan yang berlaku; dan
c. surat pernyataan dari para calon pemegang saham yang baru, bahwa yang bersangkutan tidak memiliki kredit macet di bank pemerintah/swasta dan tidak termasuk dalam DOT.
(2) Direktur Jenderal memberikan izin perubahan pemegang saham setelah persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan lengkap, dengan format sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran VI yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri Keuangan ini.
(3) Balai Lelang yang telah memperoleh izin perubahan pemegang saham, paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah pengesahan perubahan pemegang saham oleh instansi yang berwenang, wajib memberitahukan kepada Direktur Jenderal dengan tembusan kepada Kepala Kantor Wilayah tempat kedudukan Balai Lelang, dengan melampirkan:
a. akta pernyataan keputusan rapat yang dibuat di hadapan Notaris tentang perubahan pemegang saham Balai Lelang;
b. surat keterangan atau pengesahan dari instansi yang berwenang tentang perubahan pemegang saham Balai Lelang; dan
c. fotokopi NPWP para pemegang saham yang baru dengan menunjukkan aslinya.
Pasal 12
Dalam hal terjadi perubahan direksi, Balai Lelang wajib memberitahukan secara tertulis kepada Direktur Jenderal dengan tembusan kepada Kepala Kantor Wilayah setempat, paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah keputusan perubahan direksi, dengan melampirkan:
a. fotokopi identitas direksi yang baru dengan menunjukkan aslinya;
b. fotokopi akta notaris tentang keputusan perubahan direksi;
c. surat pernyataan dari direksi yang baru bahwa yang bersangkutan tidak memiliki kredit macet di bank pemerintah/swasta dan tidak termasuk dalam DOT; dan
d. fotokopi NPWP direksi yang baru dengan menunjukan aslinya.
Pasal 13
Dalam hal terjadi perubahan nama Balai Lelang, berlaku ketentuan sebagaimana pengajuan permohonan untuk memperoleh izin operasional Balai Lelang baru.
BAB VI
WILAYAH KERJA DAN KEGIATAN USAHA
Pasal 14
Wilayah kerja Balai Lelang meliputi seluruh wilayah Indonesia.
Pasal 15
(1) Balai Lelang selaku kuasa pemilik barang dapat bertindak sebagai pemohon lelang atau Penjual hanya untuk jenis Lelang Noneksekusi Sukarela, yaitu:
a. Lelang Barang Milik BUMN/D berbentuk Persero;
b. Lelang harta milik bank dalam likuidasi, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan;
c. Lelang Barang Milik Perwakilan Negara Asing, dan;
d. Lelang barang milik swasta, perorangan atau badan hukum/badan usaha.
(2) Dalam pelaksanaan lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Balai Lelang mengajukan permohonan lelang kepada Kepala KPKNL atau Pejabat Lelang Kelas II.
Pasal 16
Kegiatan usaha Balai Lelang meliputi kegiatan jasa pralelang dan jasa pascalelang untuk semua jenis lelang.
Pasal 17
(1) Jasa pralelang oleh Balai Lelang termasuk tetapi tidak terbatas pada:
a. meneliti kelengkapan dokumen persyaratan lelang dan dokumen barang yang akan dilelang;
b. meneliti legalitas formal subjek dan objek lelang;
c. menerima, mengumpulkan, memilah, memberikan label, dan menyimpan barang yang akan dilelang;
d. menguji kualitas dan menilai harga barang;
e. meningkatkan kualitas barang yang akan dilelang;
f. mengatur asuransi barang yang akan dilelang;
g. memasarkan barang dengan cara-cara efektif, menarik, dan terarah, baik dengan pengumuman, brosur, katalog maupun cara pemasaran lainnya; dan/atau
h. menyiapkan/menyediakan sarana dan prasarana dalam pelaksanaan lelang.
(2) Pemberian jasa pralelang oleh Balai Lelang didasarkan pada perjanjian antara Balai Lelang dengan pemilik barang, yang mengatur termasuk tetapi tidak terbatas pada:
a. besaran imbalan jasa dari pemilik barang kepada Balai Lelang;
b. cara pembayaran imbalan jasa; dan
c. pembagian uang jaminan wanprestasi.
Pasal 18
(1) Balai Lelang selaku pemohon atau kuasa pemilik barang dapat mengadakan perjanjian perdata dengan Pejabat Lelang Kelas II mengenai pelaksanaan lelang dan imbalan jasa Pejabat Lelang Kelas II.
(2) Imbalan Jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebankan kepada Balai Lelang selaku pemohon atau kuasa pemilik barang.
Pasal 19
(1) Jasa pascalelang oleh Balai Lelang termasuk tetapi tidak terbatas pada:
a. pengaturan pengiriman barang;
b. pengurusan balik nama barang yang dibeli atas nama Pembeli; dan/atau
c. jasa lainnya sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Dalam memberikan jasa pascalelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Balai Lelang dapat memperoleh imbalan jasa dari Pembeli yang menginginkan pelayanan jasa pascalelang, sesuai dengan kesepakatan antara Pembeli dengan Balai Lelang.
Pasal 20
Dalam jangka waktu 1 (satu) tahun, Balai Lelang harus melaksanakan kegiatan usaha Balai Lelang paling sedikit 2 (dua) kali jasa pralelang atau jasa pasca lelang atau 1 (satu) kali sebagai pemohon lelang atau Penjual untuk menjual melalui lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1).
Pasal 21
Balai Lelang bertanggung jawab terhadap gugatan perdata dan/atau tuntutan pidana yang timbul akibat kegiatan usahanya.
BAB VII
HAK DAN KEWAJIBAN
Pasal 22
Dalam melakukan kegiatan usahanya, Balai Lelang berhak:
a. mengadakan perjanjian dengan pemilik barang untuk melaksanakan jasa pralelang;
b. mengadakan kesepakatan dengan Pembeli barang untuk melaksanakan jasa pascalelang;
c. menerima imbalan jasa pralelang dan/atau pascalelang yang diperjanjikan/disepakati;
d. mengadakan perjanjian perdata dengan Pejabat Lelang Kelas II untuk melaksanakan jasa pelaksanaan lelang;
e. menentukan cara penawaran lelang;
f. menerima Salinan Risalah Lelang dari KPKNL/ Pejabat Lelang Kelas II; dan
g. mengusulkan Pemandu Lelang.
Pasal 23
Dalam melakukan kegiatan usahanya, Balai Lelang berkewajiban:
a. membayar imbalan jasa Pejabat Lelang Kelas II sesuai ketentuan;
b. menyerahkan bukti pembayaran Uang Jaminan Penawaran Lelang dari peserta lelang dan salinan rekening koran Balai Lelang yang mencantumkan data penyetoran Uang Jaminan Penawaran Lelang sesuai dengan ketentuan kepada Pejabat Lelang yang melaksanakan lelang;
c. mengembalikan Uang Jaminan Penawaran Lelang tanpa potongan kepada peserta lelang yang tidak disahkan sebagai Pembeli;
d. menyetorkan Bea Lelang ke Kas Negara paling lama 1 (satu) hari kerja setelah Harga Lelang dibayar oleh Pembeli;
e. menyetorkan Uang Jaminan Penawaran Lelang dari Pembeli yang wanprestasi kepada yang berhak sesuai dengan perjanjian, dalam hal lelang dilaksanakan oleh Pejabat Lelang Kelas II;
f. menyetorkan Uang Jaminan Penawaran Lelang dari Pembeli yang wanprestasi sebesar 50% (lima puluh persen) ke Kas Negara dalam waktu 1 (satu) hari kerja setelah pembatalan penunjukan Pembeli oleh Pejabat Lelang dan sebesar 50% (lima puluh persen) kepada yang berhak sesuai dengan perjanjian, dalam hal lelang dilaksanakan oleh Pejabat Lelang Kelas I;
g. menyerahkan bukti pelunasan harga lelang berupa kuitansi, bukti setor/transfer, salinan rekening koran Balai Lelang yang mencantumkan data pelunasan harga lelang, bukti setor Bea Lelang, PPh Final atas Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan, kepada Pejabat Lelang pada saat meminta Salinan Risalah Lelang;
h. menyerahkan Kutipan Risalah Lelang dan kuitansi pembayaran lelang kepada Pembeli setelah kewajiban Pembeli dipenuhi;
i. menyerahkan barang dan dokumen kepemilikan objek lelang kepada Pembeli setelah kewajiban Pembeli dipenuhi; dan
j. menyerahkan hasil bersih lelang kepada pemilik barang paling lama 3 (tiga) hari kerja setelah pembayaran diterima;
k. menyelenggarakan administrasi perkantoran dan pelaporan.
BAB VIII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 24
(1) Direktur Jenderal melakukan pembinaan dan pengawasan kepada Balai Lelang.
(2) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Direktur.
(3) Pengawasan Balai Lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagian didelegasikan kepada Kepala Kantor Wilayah.
Pasal 25
(1) Pembinaan terhadap Balai Lelang meliputi pembinaan teknis dan administrasi lelang.
(2) Pembinaan teknis dan administrasi lelang terhadap Balai Lelang dapat dilakukan secara langsung dan/atau tidak langsung.
(3) Pembinaan secara langsung meliputi tetapi tidak terbatas pada sosialisasi, pengarahan dan pemeriksaan.
(4) Pembinaan secara tidak langsung meliputi tetapi tidak terbatas pada memberikan himbauan dan tanggapan secara tertulis.
Pasal 26
(1) Pengawasan terhadap Balai Lelang dapat dilakukan secara langsung dan/atau tidak langsung.
(2) Pengawasan secara langsung meliputi tetapi tidak terbatas pada pemeriksaan catatan/administrasi perkantoran/kinerja perusahaan dan laporan atau pengaduan dari sumber-sumber lainnya.
(3) Pengawasan secara tidak langsung meliputi tetapi tidak terbatas pada melakukan verifikasi dan evaluasi laporan-laporan Balai Lelang.
Pasal 27
(1) Pengawasan Balai Lelang secara langsung oleh Kepala Kantor Wilayah tempat kedudukan Balai Lelang dilakukan paling kurang setiap 1 (satu) tahun sekali.
(2) Dalam melakukan pengawasan Balai Lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Kantor Wilayah tempat kedudukan Balai Lelang dapat menunjuk pejabat/pegawai Kantor Wilayah setempat sebagai pengawas.
Pasal 28
(1) Balai Lelang wajib memperlihatkan buku, catatan, dokumen atau memberikan keterangan yang diperlukan oleh pengawas.
(2) Berdasarkan laporan pengawas, Kepala Kantor Wilayah wajib menyampaikan hasil laporan pengawasan kepada Direktur Jenderal.
(3) Dalam hal dipandang perlu, Direktur dapat melakukan pengawasan langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) dengan menunjuk pejabat/pegawai Direktorat Lelang sebagai pengawas.
BAB IX
LARANGAN DAN SANKSI
Pasal 29
Dalam melakukan kegiatan usahanya, Balai Lelang dilarang:
a. memungut biaya apapun dari Pembeli dan Penjual di luar ketentuan peraturan perundang-undangan, termasuk tetapi tidak terbatas pada buyers premium;
b. berperan serta secara langsung dalam kegiatan pelaksanaan Lelang Eksekusi dan/atau Lelang Noneksekusi Wajib;
c. bertindak selaku pengacara, dan/atau menjadi kuasa sebagai Penjual dari Pemegang Hak Tanggungan;
d. menjual selain dengan cara lelang terhadap barang yang dikuasakan kepadanya untuk dijual secara lelang;
e. melaksanakan lelang tidak di hadapan Pejabat Lelang;
f. melaksanakan Lelang Eksekusi dan/atau Lelang Noneksekusi Wajib;
g. melakukan kegiatan usaha di luar izin yang diberikan, termasuk tetapi tidak terbatas pada melakukan tindakan pemanggilan kepada debitor, penagihan piutang (debt collector); dan/atau
h. membeli sendiri baik langsung maupun tidak langsung barang yang dikuasakan kepadanya yang dijual secara lelang.
Pasal 30
(1) Balai Lelang yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan ini dikenakan sanksi:
a. surat peringatan;
b. surat peringatan terakhir;
c. pembekuan izin operasional;
d. pencabutan izin operasional; dan/atau
e. denda.
(2) Pengenaan sanksi berupa surat peringatan, surat peringatan terakhir dan denda dilakukan oleh Kepala Kantor Wilayah tempat kedudukan Balai Lelang.
(3) Pengenaan sanksi berupa pembekuan izin operasional dan pencabutan izin operasional dilakukan oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri.
(4) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menutup kemungkinan gugatan perdata dan/atau tuntutan pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 31
Balai Lelang diberikan sanksi berupa surat peringatan dalam hal:
(1) Tidak memenuhi kewajiban sebagai berikut:
a. tidak memenuhi fasilitas kantor dan gudang/tempat penyimpanan barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf f pada saat pindah alamat atau pindah tempat kedudukan;
b. tidak memberitahukan secara tertulis mengenai kepindahan alamat atau tidak meminta izin secara tertulis mengenai pindah tempat kedudukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 6 ayat (1);
c. tidak menyampaikan kelengkapan dokumen pindah tempat kedudukan sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 ayat (5) huruf a;
d. tidak memberitahukan kepada khalayak umum melalui surat kabar harian mengenai pindah alamat atau pindah tempat kedudukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 6 ayat (5) huruf b;
e. tidak meminta izin secara tertulis atas pembukaan kantor perwakilan dan tidak memberitahukan secara tertulis atas penutupan kantor perwakilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dan Pasal 9;
f. tidak memenuhi fasilitas kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf c pada saat pembukaan kantor perwakilan;
g. tidak mengajukan permohonan izin secara tertulis mengenai perubahan pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1);
h. tidak memberitahukan secara tertulis mengenai perubahan direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12;
i. terlambat menyetorkan Bea Lelang dan PPh ke Kas Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf d dan Pasal 23 huruf g;
j. terlambat menyetorkan Uang Jaminan Penawaran Lelang dari Pembeli yang wanprestasi kepada yang berhak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf e dan Pasal 23 huruf f;
k. terlambat menyerahkan Hasil Bersih Lelang kepada Pemilik Barang sesuai dengan perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf i;
l. tidak menyerahkan barang, dokumen kepemilikan objek lelang, dan kuitansi pembayaran lelang kepada Pembeli Lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf j;
m. tidak menyelenggarakan administrasi perkantoran dan terlambat atau tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf k;
n. terlambat menyetorkan denda atas keterlambatan penyetoran Bea Lelang;
o. tidak memperlihatkan buku, catatan, dokumen atau memberikan keterangan yang diperlukan oleh pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1); dan/atau
p. terlambat mengembalikan Uang Jaminan Penawaran Lelang kepada peserta lelang yang tidak ditunjuk sebagai Pembeli.
(2) Melakukan pelanggaran sebagai berikut:
a. memungut biaya apapun dari Pembeli dan Penjual di luar ketentuan peraturan perundang-undangan, termasuk tetapi tidak terbatas pada buyers premium sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 huruf a;
b. berperan serta secara langsung dalam kegiatan pelaksanaan Lelang Eksekusi dan/atau Lelang Noneksekusi Wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 huruf b; dan/atau
c. bertindak selaku pengacara, dan/atau menjadi kuasa sebagai Penjual dari Pemegang Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 huruf c.
Pasal 32
(1) Terhadap Balai Lelang yang tidak memenuhi surat peringatan atas tidak dipenuhinya kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1), dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari kerja sejak tanggal surat peringatan, diberikan surat peringatan terakhir oleh Kepala Kantor Wilayah tempat kedudukan Balai Lelang.
(2) Terhadap Balai Lelang yang tidak mengindahkan surat peringatan atas pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2), diberikan surat peringatan terakhir oleh Kepala Kantor Wilayah tempat kedudukan Balai Lelang.
Pasal 33
(1) Dalam hal Balai Lelang tidak memenuhi atau tidak mengindahkan surat peringatan terakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32, dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak tanggal surat peringatan terakhir, Kepala Kantor Wilayah mengajukan usul pemberian sanksi pembekuan izin operasional Balai Lelang.
(2) Direktur Jenderal atas nama Menteri melakukan pembekuan izin operasional Balai Lelang yang melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan usul dari Kepala Kantor Wilayah setempat dan pertimbangan dari Direktur.
(3) Direktur Jenderal melakukan pembekuan izin operasional Balai Lelang paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterimanya usul pembekuan izin operasional dari Kepala Kantor Wilayah dengan menggunakan format sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran VII yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri Keuangan ini.
(4) Pembekuan izin operasional Balai Lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada para Kepala Kantor Wilayah untuk disebarluaskan.
(5) Pembekuan izin operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.
Pasal 34
Selama masa pembekuan izin operasional, Balai Lelang harus menyelesaikan kewajibannya dan dilarang melakukan kegiatan usaha, pengalihan saham, dan perubahan manajemen.
Pasal 35
Pembekuan izin operasional Balai Lelang dicabut, jika yang bersangkutan telah menyelesaikan kewajibannya.
Pasal 36
Pencabutan izin operasional Balai Lelang dilakukan, jika Balai Lelang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34.
Pasal 37
Izin operasional Balai Lelang dicabut tanpa didahului dengan surat peringatan, surat peringatan terakhir dan pembekuan izin operasional jika:
a. setelah izin operasional diberikan ternyata diperoleh keterangan/data yang tidak benar atau palsu;
b. menjual barang yang diserahkan kepadanya selain dengan cara lelang;
c. melaksanakan lelang tidak dihadapan Pejabat Lelang;
d. melaksanakan Lelang Eksekusi dan/atau Lelang Noneksekusi Wajib;
e. melakukan kegiatan usaha di luar izin yang diberikan, termasuk tetapi tidak terbatas pada melakukan tindakan pemanggilan kepada debitor, penagihan piutang (debt collector); dan/atau
f. membeli sendiri barang yang dilelang baik langsung maupun tidak langsung.
Pasal 38
(1) Pencabutan izin operasional Balai Lelang bersifat final.
(2) Pemegang saham dan direksi Balai Lelang yang telah dicabut izin operasionalnya tidak dapat diberikan izin operasional Balai Lelang yang baru untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak izin operasional dicabut.
Pasal 39
(1) Balai Lelang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf d, dikenakan denda sebesar 2% perbulan dari jumlah yang terlambat dibayar.
(2) Pembayaran denda dihitung sejak jatuh tempo penyetoran Bea Lelang ke Kas Negara paling lama 24 (duapuluh empat) bulan.
(3) Dalam menghitung pengenaan denda, bagian dari bulan dihitung menjadi 1 (satu) bulan penuh.
(4) Denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disetorkan ke Kas Negara oleh Balai Lelang sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak, melalui Mata Anggaran Penerimaan (MAP) Bea Lelang dan dilaporkan kepada Kepala Kantor Wilayah tempat kedudukan Balai Lelang dan/atau Kepala Kantor Wilayah tempat pelaksanaan lelang serta Direktur Jenderal.
BAB X
ADMINISTRASI PERKANTORAN DAN PELAPORAN
Pasal 40
Balai Lelang dalam melaksanakan administrasi perkantoran wajib mempunyai:
a. Buku Register Permintaan Lelang dengan menggunakan format sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran VIII yang merupakan yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri Keuangan ini;
b. Buku Kegiatan Pralelang dan Pascalelang dengan menggunakan format sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran IX yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri Keuangan ini;
c. Buku Penerimaan dan Penyerahan Barang dengan menggunakan format sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran X yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri Keuangan ini; dan
d. Buku Penerimaan dan Penyetoran Harga Lelang dengan menggunakan format sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XI yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri Keuangan ini.
Pasal 41
(1) Balai Lelang wajib menyampaikan:
a. Laporan Bulanan Realisasi Pelaksanaan Lelang dengan menggunakan format sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XII yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri Keuangan ini;
b. Laporan Bulanan Kas/Bank dengan menggunakan format sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XIII yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri Keuangan ini dengan melampirkan bukti-bukti antara lain fotokopi Buku Kas Harian dan fotokopi Rekening Koran;
c. Laporan Bulanan Realisasi Pelaksanaan Jasa Pralelang dan Pascalelang dengan menggunakan format sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XIV yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri Keuangan ini; dan
d. Laporan Kegiatan Tahunan Balai Lelang dengan menggunakan format sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XV yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri Keuangan ini.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Direktur Jenderal c.q Direktur Lelang dan Kepala Kantor Wilayah setempat paling lambat tanggal 10 (sepuluh) sesudah bulan laporan, kecuali Laporan Kegiatan Tahunan disampaikan paling lambat tanggal 10 Januari sesudah tahun laporan.
BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 42
Pada saat Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku:
a. Permohonan izin operasional Balai Lelang yang masih dalam proses penyelesaian tetap diproses sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.07/2005 tentang Balai Lelang; dan
b. Izin operasional Balai Lelang yang telah diterbitkan dinyatakan tetap berlaku.
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 43
Pada saat Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.07/2005 tentang Balai Lelang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 44
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku sejak tanggal diundangan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 September 2010
MENTERI KEUANGAN,



Diundangkan di Jakarta AGUS D.W. MARTOWARDOJO
pada Tanggal 30 September 2010
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,



PATRIALIS AKBAR

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 476