Cari Blog Ini

Jumat, 17 Juni 2011

PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN LINDUNG UNTUK PENAMBANGAN BAWAH TANAH

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 28 TAHUN 2011
TENTANG
PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN LINDUNG UNTUK PENAMBANGAN BAWAH TANAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:     bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 5 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan, perlu menetapkan Peraturan Presiden tentang Penggunaan Kawasan Hutan Lindung Untuk Penambangan Bawah Tanah;

Mengingat:     1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Tahun 1999 Nomor 41 tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 30, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5112);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:   PERATURAN PRESIDEN TENTANG PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN LINDUNG UNTUK PENAMBANGAN BAWAH TANAH.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Peraturan Presiden ini yang dimaksud dengan:
1. Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.
2. Penambangan bawah tanah di hutan lindung adalah penambangan yang kegiatannya dilakukan di bawah tanah (tidak langsung berhubungan dengan udara luar) dengan cara terlebih dahulu membuat jalan masuk berupa sumuran (shaft) atau terowongan (tunnel) atau terowongan buntu (adit) termasuk sarana dan prasarana yang menunjang kegiatan produksi di hutan lindung.
3. Perlindungan hutan adalah usaha untuk mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan, yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama dan penyakit serta mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat dan perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan.
4. Reklamasi areal bekas penambangan bawah tanah adalah usaha untuk memulihkan kembali fungsi pokok hutan lindung yang terganggu akibat penambangan bawah tanah.
5. Analisis mengenai dampak lingkungan hidup selanjutnya disebut AMDAL adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.
6. Penerimaan Negara Bukan Pajak Penggunaan Kawasan Hutan yang selanjutnya disebut PNBP Penggunaan Kawasan Hutan adalah Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berasal dari penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang berlaku pada Kementerian Kehutanan sebagai pengganti lahan kompensasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
7. Menteri adalah menteri yang diserahi tugas dan bertanggung jawab di bidang kehutanan.
8. Lembaga REDD+ (Reducing Emission from Deforestration andForest Degradation) adalah lembaga yang dibentuk oleh Presiden untuk mengoordinasikan perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan REDD+.

Pasal 2
(1) Di dalam kawasan hutan lindung dapat dilakukan kegiatan penambangan dengan metode penambangan bawah tanah.
(2) Penggunaan kawasan hutan lindung untuk kegiatan penambangan bawah tanah dilakukan tanpa mengubah peruntukan dan fungsi pokok kawasan hutan lindung.

Pasal 3
(1) Penggunaan kawasan hutan lindung untuk kegiatan penambangan bawah tanah harus mendapatkan izin dari Menteri.
(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan melalui 2 (dua) tahap yaitu:
a. persetujuan prinsip; dan
b. izin pinjam pakai kawasan hutan lindung.

BAB II
TATA CARA PERMOHONAN DAN PEMBERIAN IZIN

Pasal 4
Izin penggunaan kawasan hutan lindung untuk kegiatan penambangan bawah tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 hanya dapat diajukan oleh pimpinan perusahaan yang berbentuk badan hukum Indonesia yang telah memiliki perizinan atau perjanjian di bidang pertambangan.

Pasal 5
(1) Permohonan izin penggunaan kawasan hutan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 diajukan secara tertulis oleh pemohon kepada Menteri dengan tembusan kepada:
a. menteri yang bertanggung jawab di bidang energi dan sumber daya mineral;
b. menteri yang bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup;
c. gubernur setempat; dan
d. bupati/walikota setempat.
(2) Permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilengkapi dengan persyaratan sebagai berikut:
a. kelayakan usaha di bidang pertambangan yang dinyatakan di dalam Studi Kelayakan berdasarkan hasil eksplorasi yang telah disesuaikan dengan fungsi hutan lindung, yang disahkan oleh gubernur atau bupati/walikota sesuai kewenangan masing-masing setelah mendapatkan pertimbangan teknis dari Menteri yang bertanggung jawab di bidang energi dan sumber daya mineral;
b. keputusan kelayakan lingkungan berdasarkan hasil penilaian AMDAL yang disesuaikan dengan fungsi pokok hutan lindung, yang diterbitkan oleh Menteri yang bertanggung j awab di bidang lingkungan hidup;
c. rekomendasi bupati/walikota dan gubernur setempat yang didasarkan pada pertimbangan teknis dari instansi yang bertanggung jawab di bidang kehutanan;
d. pertimbangan teknis dari badan usaha milik negara (BUMN) yang diberi tugas dan wewenang untuk menyelenggarakan kegiatan pengelolaan hutan, apabila areal yang dimohon merupakan areal kerja BUMN tersebut;
e. rencana penggunaan kawasan hutan lindung dan rencana kerja yang dilampiri dengan peta lokasi dan luas kawasan hutan lindung yang dimohon serta citra satelit terbaru dengan resolusi minimal 15 m;
f. izin atau perjanjian di sektor pertambangan; dan
g. pernyataan kesanggupan di hadapan notaris untuk memenuhi semua kewajiban dan menanggung seluruh biaya sehubungan dengan permohonan pinjam pakai.

Pasal 6
(1) Menteri melakukan pengkajian teknis terhadap permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.
(2) Dalam hal permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ditolak, Menteri menerbitkan surat penolakan atas permohonan izin tersebut.
(3) Dalam hal permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 disetujui, Menteri menerbitkan surat persetujuan prinsip pinjam pakai kawasan hutan lindung yang memuat kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi oleh pemohon.
(4) Persetujuan prinsip diberikan untuk jangka waktu paling lama 2(dua) tahun sejak ditetapkannya persetujuan prinsip, dan dapat diperpanjang berdasarkan hasil evaluasi oleh Menteri.
(5) Kewajiban pemohon yang telah mendapatkan persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi:
a. dalam hal pemohon yang mendapat persetujuan prinsip pinjam pakai kawasan hutan lindung dengan kompensasi lahan bagi pinjam pakai kawasan hutan pada provinsi yang luas kawasan hutannya di bawah 30 % (tiga puluh per seratus) dari luas daerah aliran sungai dan/atau pulau, menyediakan dan menyerahkan kompensasi lahan dengan ratio paling sedikit 1:2.
b. dalam hal pemohon yang mendapat persetujuan prinsip pinjam pakai kawasan hutan lindung pada provinsi yang luas kawasan hutannya di atas 30 % (tiga puluh per seratus) dari luas daerah aliran sungai dan/atau pulau, membuat pernyataan kesanggupan membayar PNBP Penggunaan Kawasan Hutan dan pernyataan kesanggupan melakukan penanaman dalam rangka rehabilitasi daerah aliran sungai dengan ratio paling sedikit 1:1.
c. menanggung biaya pengukuran, pemetaan, pemancangan tanda batas, inventarisasi tegakan dan penggantian nilai tegakan atas kawasan hutan lindung yang dipinjam pakai;
d. membayar Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
e. membayar penggantian biaya investasi pengelolaan hutan akibat penggunaan kawasan hutan sesuai dengan luas areal dan jangka waktu pinjam pakai kawasan hutan; dan
f. membuat pernyataan kesanggupan di hadapan notaris untuk melaksanakan reklamasi dan reboisasi kawasan hutan lindung yang sudah dipergunakan, perlindungan hutan, pencegahan terjadinya perusakan hutan, erosi, tanah longsor, kebakaran hutan, memberikan kemudahan bagi aparat kehutanan untuk melakukan monitoring dan evaluasi, menanggung biaya pengukuhan lahan kompensasi, dan melaksanakan reboisasi lahan kompensasi.

Pasal 7
(1) Apabila seluruh kewajiban dalam persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (5) telah dipenuhi oleh pemohon, Menteri menerbitkan izin pinjam pakai kawasan hutan lindung.
(2) Izin pinjam pakai kawasan hutan lindung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling lama 20 (dua puluh) tahun sesuai dengan studi kelayakan dan dapat diperpanjang sesuai dengan jangka waktu perizinan atau perjanjian di bidang pertambangan.
(3) Perpanjangan izin pinjam pakai kawasan hutan lindung didasarkan pada hasil evaluasi yang dilakukan oleh Tim Monitoring dan Evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12.

BAB III
HAK DAN KEWAJIBAN

Pasal 8
Pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan lindung berhak untuk:
a. menempati dan mengelola serta melakukan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan kegiatan penambangan bawah tanah dalam kawasan hutan lindung; dan
b. memanfaatkan hasil dari kegiatan yang dilakukan sehubungan pelaksanaan kegiatan penambangan bawah tanah serta membangun sarana dan prasarana pendukung pada kawasan hutan lindung.

Pasal 9
Pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan lindung wajib untuk:
a. melaksanakan pengelolaan dan pemantauan lingkungan sesuai Dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL);
b. melakukan kegiatan penambangan bawah tanah sesuai dengan perencanaan di dalam dokumen studi kelayakan;
c. melakukan reklamasi dan/atau reboisasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
d. melakukan perlindungan hutan di kawasan hutan lindung yang dipinjam pakai;
e. membayar PNBP Penggunaan Kawasan Hutan dan melakukan penanaman dalam rangka rehabilitasi daerah aliran sungai bagi pemegang izin pada provinsi yang luas kawasan hutannya di atas 30 % (tiga puluh per seratus) dari luas daerah aliran sungai dan/atau pulau sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
f. menanggung biaya pengukuhan lahan kompensasi dan melaksanakan reboisasi lahan kompensasi bagi pemegang izin pada provinsi yang luas kawasan hutannya di bawah 30 % (tiga puluh per seratus) dari luas daerah aliran sungai dan/atau pulau sesuai dengan ketentuan yang berlaku; dan
g. melaporkan pelaksanaan kegiatan secara periodik kepada:
- Menteri;
- Menteri yang bertanggung jawab di bidang energi dan sumber daya mineral; dan
- Menteri yang bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup; dengan tembusan kepada gubernur dan bupati/walikota setempat.

Pasal 10
Pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan lindung dilarang melakukan kegiatan penambangan bawah tanah yang mengakibatkan:
a. terjadinya amblesan (subsidence) permukaan tanah; atau
b. berubahnya fungsi pokok hutan lindung secara permanen.

Pasal 11
Izin pinjam pakai kawasan hutan lindung dapat dialihkan kepada pihak lain setelah mendapatkan persetujuan tertulis dari Menteri.

BAB IV
MONITORING DAN EVALUASI

Pasal 12
(1) Menteri membentuk Tim untuk melakukan monitoring dan evaluasi kegiatan pengunaan kawasan hutan lindung.
(2) Keanggotaan Tim Monitoring dan Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari unsur Kementerian Kehutanan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Lingkungan Hidup, Lembaga REDD+, para pakar terkait, dan unsur-unsur terkait di tingkat Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota.

BAB V
BERAKHIRNYA IZIN DAN PENYERAHAN KEMBALI
KAWASAN HUTAN LINDUNG

Pasal 13
(1) Izin pinjam pakai kawasan hutan lindung berakhir dalam hal:
a. jangka waktu berakhir;
b. diserahkan kembali oleh pemegang izin sebelum jangka waktunya berakhir; atau
c. dicabut oleh Menteri.
(2) Berakhirnya izin pinjam pakai kawasan hutan lindung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak membebaskan kewajiban pemegang izin untuk menyelesaikan seluruh kewajiban yang belum terpenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.

Pasal 14
Pengembalian kawasan hutan lindung untuk penambangan bawah tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf a atau huruf b diterima oleh Menteri setelah dipenuhi kewajiban reklamasi dan/atau reboisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf c.

Pasal 15
Izin pinjam pakai kawasan hutan lindung dicabut oleh Menteri dalam hal pemegang izin:
a. tidak memenuhi salah satu kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, atau huruf e; atau
b. melanggar ketentuan Pasal 10 atau Pasal 11.

Pasal 16
Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan kawasan hutan lindung untuk penambangan bawah tanah diatur dengan Peraturan Menteri setelah berkoordinasi dengan menteri yang bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup dan bidang pertambangan.

BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 17
(1) Pemegang perizinan atau perjanjian di bidang pertambangan yang Studi Kelayakan Penambangan Bawah Tanah-nya sudah disahkan tetapi belum mendapat izin pinjam pakai kawasan hutan lindung sebelum Peraturan Presiden ini ditetapkan, maka studi kelayakannya masih berlaku.
(2) Pemegang perizinan atau perjanjian di bidang pertambangan yang AMDAL-nya masih berlaku tetapi belum mendapat izin pinjam pakai kawasan hutan lindung pada saat ditetapkannya Peraturan Presiden ini, wajib dilakukan koreksi terhadap Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL) terutama yang berkaitan dengan fungsi pokok hutan lindung.
(3) Pemegang perizinan atau perjanjian di bidang pertambangan yang AMDAL-nya masih dalam proses penilaian Komisi Penilai AMDAL Daerah pada saat ditetapkannya Peraturan Presiden ini, maka Komisi Penilai AMDAL Daerah wajib menyerahkan seluruh proses penilaian kepada Komisi Penilai AMDAL Pusat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 18
Selama Lembaga REDD+ sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) belum terbentuk, perannya dilaksanakan oleh Satuan Tugas Persiapan Pembentukan Kelembagaan REDD+ yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 2010 tentang Satuan Tugas Persiapan Pembentukan Kelembagaan REDD+.

BAB VII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 19
Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 19 Mei 2011
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Tidak ada komentar:

Posting Komentar