Cari Blog Ini

Kamis, 17 Februari 2011

PEDOMAN PEMBENTUKAN BADAN PENGELOLA PERBATASAN DI DAERAH

SALINAN

MENTERI DALAM NEGERI
REPUBLIK INDONESIA


PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI
NOMOR 2 TAHUN 2011

TENTANG

PEDOMAN PEMBENTUKAN BADAN PENGELOLA PERBATASAN DI DAERAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI DALAM NEGERI,

Menimbang : bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 24 Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2010 tentang Badan Nasional Pengelola Perbatasan, perlu menetapkan Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang Pedoman Pembentukan Badan Pengelola Perbatasan di Daerah;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916);
3. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 177, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4925);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 89, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4741);
6. Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2010 tentang Badan Nasional Pengelola Perbatasan;
7. 6 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 31 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Tetap Badan Nasional Pengelola Perbatasan;




MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN BADAN PENGELOLA PERBATASAN DI DAERAH.


BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Daerah adalah Provinsi, Kabupaten dan Kota.
2. Kepala Daerah adalah Gubernur, Bupati dan WaliKota.
3. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
4. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintah oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
5. Perangkat Daerah adalah lembaga yang membantu Kepala Daerah dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
6. Badan Nasional Pengelola Perbatasan, yang selanjutnya disingkat BNPP, adalah Badan Pengelola Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan sebagaimana dimaksud Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara.
7. Badan Pengelola Perbatasan Provinsi, yang selanjutnya disebut BPP Provinsi, adalah perangkat daerah Provinsi yang dibentuk dalam rangka melaksanakan tugas dan fungsi untuk melaksanakan pengelola perbatasan.
8. Badan Pengelola Perbatasan Kabupaten/Kota, yang selanjutnya disebut BPP Kabupaten/Kota, adalah perangkat daerah kabupaten/kota yang dibentuk dalam rangka melaksanakan tugas dan fungsi untuk melaksanakan pengelola perbatasan.
9. Kawasan Perbatasan adalah bagian dari Wilayah Negara yang terletak pada sisi dalam sepanjang batas wilayah Indonesia dengan negara lain, dalam hal Batas Wilayah Negara di darat, Kawasan Perbatasan berada di kecamatan.


BAB II
PEMBENTUKAN DAN KEDUDUKAN
BPP PROVINSI DAN BPP KABUPATEN/KOTA

Bagian Kesatu
Pembentukan

Pasal 2

(1) Di setiap provinsi yang berbatasan dengan antar negara dibentuk BPP Provinsi.
(2) Pembentukan BPP Provinsi ditetapkan dengan Peraturan Daerah.




Pasal 3

(1) Di setiap kabupaten/kota yang berbatasan dengan antar negara dibentuk BPP Kabupaten/Kota.
(2) Pembentukan BPP Kabupaten/Kota ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

Bagian Kedua
Kedudukan

Pasal 4

(1) BPP Provinsi berada di bawah dan bertanggungjawab kepada gubernur.
(2) BPP Provinsi dipimpin Kepala Badan.
(3) Pengangkatan Kepala BPP Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Gubernur.

Pasal 5

(1) BPP Kabupaten/kota berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Bupati/Walikota.
(2) BPP Kabupaten/Kota dipimpin Kepala Badan.
(3) Pengangkatan Kepala BPP Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Bupati/Walikota.


BAB III
WEWENANG, TUGAS, DAN FUNGSI
BPP PROVINSI DAN BPP KABUPATEN/KOTA

Bagian Kesatu
Wewenang

Pasal 6

BPP Provinsi dalam pengelolaan wilayah negara dan kawasan perbatasan mempunyai wewenang:
a. melaksanakan kebijakan Pemerintah dan menetapkan kebijakan lainnya dalam rangka otonomi daerah dan tugas pembantuan;
b. melakukan koordinasi pembangunan di Kawasan Perbatasan;
c. melakukan pembangunan Kawasan Perbatasan antar-pemerintah daerah dan/atau antara pemerintah daerah dengan pihak ketiga; dan
d. melakukan pengawasan pelaksanaan pembangunan Kawasan Perbatasan yang dilaksanakan Pemerintah Kabupaten/Kota.

Pasal 7

BPP Kabupaten/Kota dalam pengelolaan wilayah negara dan kawasan perbatasan mempunyai wewenang:
a. melaksanakan kebijakan Pemerintah dan menetapkan kebijakan lainnya dalam rangka otonomi daerah dan tugas pembantuan;
b. menjaga dan memelihara tanda batas;
c. melakukan koordinasi dalam rangka pelaksanaan tugas pembangunan di Kawasan Perbatasan di wilayahnya; dan
d. melakukan pembangunan Kawasan Perbatasan antar-pemerintah daerah dan/atau antara pemerintah daerah dengan pihak ketiga.

Bagian Kedua
Tugas

Pasal 8

BPP Provinsi dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, mempunyai tugas menetapkan kebijakan program pembangunan perbatasan, menetapkan rencana kebutuhan anggaran, mengoordinasikan pelaksanaan, dan melaksanakan evaluasi dan pengawasan di provinsi.

Pasal 9

BPP Kabupaten/Kota dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, mempunyai tugas menetapkan kebijakan program pembangunan perbatasan, menetapkan rencana kebutuhan anggaran, mengoordinasikan pelaksanaan, dan melaksanakan evaluasi dan pengawasan di kabupaten/kota.

Bagian Ketiga
Fungsi

Pasal 10

BPP Provinsi dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, menyelenggarakan fungsi:
a. penyusunan dan penetapan rencana aksi pembangunan batas wilayah negara dan kawasan perbatasan di provinsi;
b. pengoordinasian penetapan kebijakan dan pelaksanaan pembangunan, pengelolaan serta pemanfaatan batas wilayah negara dan kawasan perbatasan di provinsi;
c. pengelolaan dan fasilitasi penegasan, pemeliharaan dan pengamanan batas wilayah negara di provinsi;
d. inventarisasi potensi sumber daya dan rekomendasi penetapan zona pengembangan ekonomi, pertahanan, sosial budaya, lingkungan hidup dan zona lainnya di kawasan perbatasan provinsi;
e. penyusunan program dan kebijakan pembangunan sarana dan prasarana perhubungan dan sarana lainnya di kawasan perbatasan provinsi;
f. penyusunan anggaran pembangunan dan pengelolaan batas wilayah negara dan kawasan perbatasan sesuai dengan skala prioritas di provinsi; dan
g. pelaksanaan, pengendalian dan pengawasan serta evaluasi dan pelaporan pelaksanaan pembangunan dan pengelolaan batas wilayah negara dan kawasan perbatasan di provinsi.

Pasal 11

BPP Kabupaten/Kota dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, menyelenggarakan fungsi:
a. penyusunan dan penetapan rencana aksi pembangunan batas wilayah negara dan kawasan perbatasan di kabupaten/kota;
b. pengoordinasian penetapan kebijakan dan pelaksanaan pembangunan, pengelolaan serta pemanfaatan batas wilayah negara dan kawasan perbatasan di kabupaten/kota;
c. pengelolaan dan fasilitasi penegasan, pemeliharaan dan pengamanan batas wilayah negara di kabupaten/kota;
d. inventarisasi potensi sumber daya dan rekomendasi penetapan zona pengembangan ekonomi, pertahanan, sosial budaya, lingkungan hidup dan zona lainnya kawasan perbatasan di kabupaten/kota;
e. penyusunan program dan kebijakan pembangunan sarana dan prasarana perhubungan dan sarana lainnya di kawasan perbatasan kabupaten/kota;
f. penyusunan anggaran pembangunan dan pengelolaan batas wilayah negara dan kawasan perbatasan sesuai dengan skala prioritas di kabupaten/kota; dan
g. pelaksanaan, pengendalian dan pengawasan serta evaluasi dan pelaporan pelaksanaan pembangunan dan pengelolaan batas wilayah negara dan kawasan perbatasan di kabupaten/kota.


BAB IV
UNIT PELAKSANA TEKNIS

Pasal 12

BPP Provinsi dan BPP Kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 dapat dibentuk Unit Pelaksana Teknis sesuai kebutuhan dan kemampuan daerah.


BAB V
ORGANISASI

Pasal 13

(1) Susunan Organisasi BPP Provinsi terdiri atas:
a. Kepala Badan;
b. Sekretariat;
c. Bidang Pengelolaan Batas Negara;
d. Bidang Pengelolaan Potensi Kawasan;
e. Bidang Pengelolaan Infrastruktur Kawasan;
f. Bidang Kerjasama; dan
g. Unit Pelaksana Teknis.
(2) Sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling banyak 3 (tiga) Subbagian dan masing-masing Bidang terdiri atas 2 (dua) Seksi.
(3) Unit pelaksana teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g terdiri atas 1 (satu) subbagian tata usaha dan kelompok jabatan fungsional.
(4) Unit pelaksana teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang belum terdapat jabatan fungsional dapat dibentuk paling banyak 2 (dua) seksi.

Pasal 14

(1) Susunan Organisasi BPP Kabupaten/Kota terdiri atas:
a. Kepala Badan;
b. Sekretariat;
c. Bidang Pengelolaan Batas Negara;
d. Bidang Pengelolaan Potensi Kawasan;
e. Bidang Pengelolaan Infrastruktur Kawasan;
f. Bidang Kerjasama; dan
g. Unit Pelaksana Teknis.
(2) Sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling banyak 3 (tiga) Subbagian.
(3) Bidang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, dan huruf e terdiri atas 2 (dua) Seksi.
(4) Unit Pelaksana Teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g terdiri atas 1 (satu) subbagian tata usaha dan kelompok jabatan fungsional.
(5) Unit Pelaksana Teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (5) yang belum terdapat jabatan fungsional dapat dibentuk paling banyak 2 (dua) seksi.

Pasal 15

Bagan struktur organisasi BPP Provinsi dan BPP Kabupaten/Kota adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri ini.


BAB VI
ESELON DAN KEPEGAWAIAN

Bagian Kesatu
BPP Provinsi

Pasal 16

(1) Kepala BPP Provinsi merupakan jabatan struktural eselon II.a.
(2) Sekretaris BPP Provinsi merupakan jabatan struktural eselon III.a.
(3) Kepala Bidang BPP Provinsi merupakan jabatan struktural eselon III.a.
(4) Kepala Unit Pelaksana Teknis merupakan jabatan struktural eselon IIIa.
(5) Kepala Subbagian dan Kepala Seksi BPP Provinsi merupakan jabatan struktural eselon IV.a.
(6) Kepala seksi dan kepala subbagian pada Unit Pelaksana Teknis merupakan jabatan struktural eselon IVa.

Pasal 17

Pengisian jabatan Kepala BPP Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) berasal dari Pegawai Negeri Sipil dengan persyaratan:
a. paling sedikit menduduki 3 (tiga) kali jabatan struktural di Satuan Kerja Perangkat Daerah yang berbeda;
b. memiliki ijazah paling rendah Sarjana Strata 1 (S1) atau sederajat;
c. berusia paling tinggi 1 (satu) tahun sebelum mencapai batas usia pensiun sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Kepala Daerah setempat; dan
d. semua unsur penilaian prestasi kerja (DP3) paling sedikit bernilai baik dalam 2 (dua) tahun terakhir.


Bagian Kedua
BPP Kabupaten/Kota

Pasal 18

(1) Kepala BPP Kabupaten/Kota merupakan jabatan struktural eselon II.b.
(2) Sekretaris BPP Kabupaten/Kota merupakan jabatan struktural eselon IIIa.

(3) Kepala Bidang BPP Kabupaten/Kota merupakan jabatan struktural eselon III.b.
(4) Kepala Subbagian dan Kepala Seksi BPP Kabupaten/Kota merupakan jabatan struktural eselon IV.a.
(5) Kepala Unit Pelaksana Teknis merupakan jabatan struktural eselon IVa.
(6) Kepala subbagian pada unit pelaksana teknis merupakan jabatan struktural eselon IVb.

Pasal 19

Pengisian jabatan Kepala BPP Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) berasal dari Pegawai Negeri Sipil dengan persyaratan:
a. paling sedikit menduduki 3 (tiga) kali jabatan struktural di Satuan Kerja Perangkat Daerah yang berbeda;
b. memiliki ijazah paling rendah Sarjana Strata 1 (S1) atau sederajat;
c. berusia paling tinggi 1 (satu) tahun sebelum mencapai batas usia pensiun sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Kepala Daerah setempat; dan
d. semua unsur penilaian prestasi kerja (DP3) paling sedikit bernilai baik dalam 2 (dua) tahun terakhir.


BAB VII
TATA KERJA

Pasal 20

BPP Provinsi dan BPP Kabupaten/Kota dalam melaksanakan tugas menerapkan prinsip koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi.

Pasal 21

Kepala BPP Provinsi dan Kepala BPP Kabupaten/Kota melaksanakan sistem pengendalian intern di lingkungan masing-masing.

Pasal 22

Kepala BPP Provinsi dan Kepala BPP Kabupaten/Kota bertanggung jawab memimpin dan mengkoordinasikan bawahan dan memberikan pengarahan serta petunjuk bagi pelaksanaan tugas bawahan.

Pasal 23

Kepala BPP Provinsi dan Kepala BPP Kabupaten/Kota dalam melaksanakan tugas melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap satuan organisasi di bawahnya.

Pasal 24

(1) Rapat koordinasi BPP Provinsi dengan BPP Kabupaten/Kota diadakan paling sedikit 2 (dua) kali dalam 1 (satu) tahun atau sewaktu-waktu sesuai dengan kebutuhan.
(2) Rapat koordinasi nasional BNPP dengan BPP Provinsi dan BPP Kabupaten/Kota diadakan paling sedikit 2 (dua) kali dalam 1 (satu) tahun atau sewaktu-waktu sesuai dengan kebutuhan.



Pasal 25

Rapat koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 berkaitan dengan perencanaan, pengorganisasian/pelaksanaan, monitoring dan evaluasi serta pelaporan pembangunan batas wilayah negara dan kawasan perbatasan.


Pasal 26

Hubungan Kerja antara BNPP dengan BPP Provinsi dan BNPP Kabupaten/Kota dan BPP Provinsi dengan BPP Kabupaten/Kota merupakan hubungan koordinatif.


Pasal 27

Ketentuan lebih lanjut materi rapat koordinasi dan tata kerja BNPP dengan BPP Provinsi dengan BPP Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, Pasal 25, dan Pasal 26 diatur dengan Peraturan Kepala BNPP.


BAB VIII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN


Pasal 28

Pembinaan dan pengawasan dalam pengelola batas wilayah negara dan kawasan perbatasan dilakukan oleh Kepala BNPP.


BAB IX
PEMBIAYAAN


Pasal 29

(1) Pembiayaan BPP Provinsi dalam pengelolaan perbatasan dibebankan pada APBD Provinsi dan sumber anggaran lainnya yang sah dan tidak mengikat.
(2) Pendanaan yang bersifat teknis operasional pengelolaan Perbatasan yang dilakukan oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah Provinsi dikoordinasikan oleh Badan Pengelola Perbatasan Provinsi.


Pasal 30

(1) Pembiayaan BPP Kabupaten/Kota dalam pengelolaan perbatasan dibebankan pada APBD Kabupaten/Kota dan sumber anggaran lainnya yang sah dan tidak mengikat.
(2) Pendanaan yang bersifat teknis operasional pengelolaan Perbatasan yang dilakukan oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah Kabupaten/Kota dikoordinasikan oleh Badan Pengelola Perbatasan Kabupaten/Kota.






BAB X
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 31

Bagi Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota yang telah membentuk badan pengelola perbatasan atau sebutan lain tetap melaksanakan tugas dan menyesuaikan dengan Peraturan Menteri paling lambat 1 (satu) tahun sejak Peraturan Menteri ini ditetapkan.


BAB XI
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 32

Pembentukan BPP Provinsi dan BPP Kabupaten/Kota paling lambat 1 (satu) tahun sejak Peraturan Menteri ini ditetapkan.

Pasal 33

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Agar setiap orang mengetahui, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 7 Januari 2011
MENTERI DALAM NEGERI,

ttd

GAMAWAN FAUZI

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 7 Januari 2011
MENTERI HUKUM DAN HAM
REPUBLIK INDONESIA,

ttd

PATRIALIS AKBAR

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 5

Salinan sesuai dengan aslinya
Plt. KEPALA BIRO HUKUM



ZUDAN ARIF FAKRULLOH
Pembina (IV/a)
NIP. 19690824 199903 1 001

TATA CARA PENGHITUNGAN DAN PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK

MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN MENTERI KEUANGAN

NOMOR 16/PMK.03/2011

TENTANG

TATA CARA PENGHITUNGAN DAN PENGEMBALIAN
KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa guna meningkatkan pelayanan kepada Wajib Pajak dan memberikan kepastian hukum dalam rangka penghitungan dan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang meliputi Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan Pajak Bumi dan Bangunan, perlu dilakukan penyempurnaan terhadap ketentuan yang mengatur mengenai tata cara penghitungan dan pengembalian kelebihan pembayaran pajak;
b. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 mengatur bahwa terhadap ketentuan yang tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994, berlaku ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 11 ayat (4) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Penghitungan dan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5069);
4. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3312) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3569);
5. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);
6. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Perpajakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4797);
8. Keputusan Presiden Nomor 56/P Tahun 2010;

9. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 99/PMK.06/2006 tentang Modul Penerimaan Negara sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 37/PMK.05/2007;

MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN DAN PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan:
1. Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang selanjutnya disingkat dengan Undang-Undang KUP adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009.
2. Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai yang selanjutnya disingkat Undang-Undang PPN adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009.
3. Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan yang selanjutnya disingkat dengan Undang-Undang PBB adalah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994.
4. Utang Pajak adalah pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi administrasi berupa bunga, denda, atau kenaikan yang tercantum dalam surat ketetapan pajak atau surat sejenisnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
5. Kantor Pelayanan Pajak yang selanjutnya disingkat dengan KPP adalah kantor pelayanan di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar, tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan, dan/atau tempat objek pajak terdaftar.
6. Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disingkat dengan KPPN adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang berada di bawah dan bertanggungjawab langsung kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan, yang menjadi mitra kerja KPP.
7. Surat Keputusan Kelebihan Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan yang selanjutnya disingkat dengan SKKP PBB adalah surat keputusan yang menyatakan jumlah kelebihan pembayaran PBB.
8. Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak yang selanjutnya disingkat dengan SKPKPP adalah surat keputusan sebagai dasar untuk menerbitkan Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak.
9. Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak yang selanjutnya disingkat dengan SPMKP adalah surat perintah dari Kepala KPP kepada KPPN untuk menerbitkan Surat Perintah Pencairan Dana yang ditujukan kepada Bank Operasional mitra kerja KPPN, sebagai dasar kompensasi Utang Pajak dan/atau dasar pembayaran kembali kelebihan pembayaran pajak kepada Wajib Pajak.
10. Surat Perintah Pencairan Dana yang selanjutnya disingkat dengan SP2D adalah surat yang diterbitkan oleh Kepala KPPN selaku kuasa Bendahara Umum Negara di daerah untuk melaksanakan pengeluaran atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara berdasarkan SPMKP.
11. Kompensasi Utang Pajak adalah pembayaran Utang Pajak yang dananya berasal dari kelebihan pembayaran pajak yang telah disetor ke rekening kas negara melalui penerbitan SPMKP dengan SP2D.
12. Pajak Penghasilan yang selanjutnya disingkat dengan PPh adalah pajak sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
13. Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang selanjutnya disingkat dengan PPN dan/atau PPnBM adalah pajak sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009.
14. Pajak Bumi dan Bangunan yang selanjutnya disingkat dengan PBB adalah pajak sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994.
BAB II
KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK
Pasal 2
(1) Kelebihan pembayaran PPh, PPN, dan/atau PPnBM dapat dikembalikan dalam hal terdapat:
a. Pajak yang lebih dibayar sebagaimana tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang KUP;
b. Pajak yang seharusnya tidak terutang sebagaimana tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) Undang-Undang KUP;
c. Pajak yang lebih dibayar sebagaimana tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B Undang-Undang KUP;
d. Pajak yang lebih dibayar sebagaimana tercantum dalam Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C Undang-Undang KUP;
e. Pajak yang lebih dibayar sebagaimana tercantum dalam Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17D Undang-Undang KUP;
f. Pajak yang telah dibayar atas pembelian Barang Kena Pajak yang dibawa ke luar Daerah Pabean oleh orang pribadi pemegang paspor luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17E Undang-Undang KUP dan Pasal 16E Undang-Undang PPN;
g. Pajak yang lebih dibayar sebagaimana tercantum dalam Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4c) Undang-Undang PPN;
h. Pajak yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Keberatan atau Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali oleh Mahkamah Agung;
i. Pajak yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Pembetulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 Undang-Undang KUP;
j. Pajak yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi atau Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf a Undang-Undang KUP;
k. Pajak yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Pengurangan Surat Ketetapan Pajak atau Surat Keputusan Pembatalan Surat Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf b Undang-Undang KUP; atau
l. Pajak yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Pengurangan Surat Tagihan Pajak atau Surat Keputusan Pembatalan Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf c Undang-Undang KUP.
(2) Ketentuan mengenai tata cara pengajuan dan penyelesaian permintaan kembali PPN barang bawaan orang pribadi pemegang paspor luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan tersendiri.
Pasal 3
Kelebihan pembayaran PBB dapat dikembalikan dalam hal terdapat:
a. PBB yang lebih dibayar karena diterbitkan SKKP PBB;
b. PBB yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali oleh Mahkamah Agung;
c. PBB yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Pemberian Pengurangan PBB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Undang-Undang PBB;
d. PBB yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Pengurangan Denda Administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 Undang-Undang PBB;
e. PBB yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Pembetulan PBB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 Undang-Undang KUP;
f. PBB yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi atau Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf a Undang-Undang KUP;
g. PBB yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Pengurangan Surat Ketetapan Pajak PBB atau Surat Keputusan Pembatalan Surat Ketetapan Pajak PBB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf b Undang-Undang KUP; atau
h. PBB yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Pengurangan Surat Tagihan Pajak PBB atau Surat Keputusan Pembatalan Surat Tagihan Pajak PBB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf c Undang-Undang KUP.
Pasal 4
Ketentuan mengenai permohonan pengembalian kelebihan pembayaran PBB diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan tersendiri.
BAB III
TATA CARA PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK
Pasal 5
(1) Kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3, harus diperhitungkan terlebih dahulu dengan Utang Pajak yang diadministrasikan di KPP domisili dan/atau KPP lokasi, sebagaimana tercantum dalam:
a. Surat Tagihan Pajak;
b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Keberatan, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak 2007 dan sebelumnya;
c. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan yang telah disetujui dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, dan Surat Keputusan Keberatan yang tidak diajukan banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak 2008 dan sesudahnya;
d. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan atas jumlah yang tidak disetujui dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak 2008 dan sesudahnya, dalam hal:
1) tidak diajukan keberatan;
2) diajukan keberatan tetapi Surat Keputusan Keberatan mengabulkan sebagian, menolak, atau menambah jumlah pajak terutang dan atas Surat Keputusan Keberatan tersebut tidak diajukan banding; atau
3) diajukan keberatan dan atas Surat Keputusan Keberatan tersebut diajukan banding tetapi Putusan Banding mengabulkan sebagian, menambah jumlah pajak terutang, atau menolak;
e. Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang, Surat Ketetapan Pajak PBB, atau Surat Tagihan Pajak PBB;
f. Surat Keputusan Keberatan untuk PBB yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah tetapi tidak diajukan banding;
g. Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah; dan/atau
h. Surat Keputusan Pembetulan yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah.
(2) Dalam hal setelah dilakukan perhitungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masih terdapat sisa kelebihan pembayaran pajak, atas permohonan Wajib Pajak, sisa kelebihan pembayaran pajak tersebut dapat diperhitungkan dengan pajak yang akan terutang atau dengan Utang Pajak atas nama Wajib Pajak lain.
Pasal 6
(1) Penghitungan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dituangkan dalam Nota Penghitungan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak.
(2) Bentuk format Nota Penghitungan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Peraturan Menteri Keuangan ini, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri Keuangan ini.
(3) Bagi Wajib Pajak yang menggunakan pembukuan dengan mata uang Dollar Amerika Serikat, pengembalian kelebihan pembayaran pajak dalam mata uang Dollar Amerika Serikat diberikan dalam mata uang rupiah, yang dihitung menggunakan nilai tukar atau kurs yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang berlaku pada saat:
a. diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c;
b. diterbitkannya Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf d dan huruf e;
c. diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan atau diucapkannya Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf h; atau
d. diterbitkannya surat keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf i, huruf j, huruf k, dan huruf l.
Pasal 7
(1) Perhitungan kelebihan pembayaran pajak dengan Utang Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ditindaklanjuti dengan kompensasi Utang Pajak, dan dalam hal tidak ada Utang Pajak, seluruh kelebihan pembayaran pajak dikembalikan kepada Wajib Pajak bersangkutan.
(2) Kompensasi Utang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui potongan SPMKP dan/atau transfer pembayaran, dan dianggap sah apabila:
a. Kompensasi Utang Pajak melalui potongan SPMKP telah mendapatkan Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN) dan Nomor Penerimaan Potongan (NPP);
b. Kompensasi Utang Pajak melalui transfer pembayaran telah mendapatkan Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN), dan Nomor Transaksi Bank (NTB) atau Nomor Transaksi Pos (NTP).
(3) Kompensasi Utang Pajak melalui potongan SPMKP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan dalam hal kelebihan pembayaran PPh, PPN, atau PPnBM, dikompensasikan ke Utang Pajak PPh, PPN, atau PPnBM.
(4) Kompensasi Utang Pajak melalui transfer pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilakukan dalam hal:
a. kelebihan pembayaran PPh, PPN, atau PPnBM, dikompensasikan ke Utang Pajak PBB;
b. kelebihan pembayaran PBB dikompensasikan ke Utang Pajak PPh, PPN, PPnBM, atau PBB.
Pasal 8
(1) Kepala KPP atas nama Direktur Jenderal Pajak menerbitkan SKPKPP untuk pengembalian kelebihan pembayaran pajak dan/atau kompensasi Utang Pajak.
(2) Bentuk format SKPKPP adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran II Peraturan Menteri Keuangan ini, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri Keuangan ini.
(3) SKPKPP dibuat dalam rangkap 3 (tiga) dengan peruntukan sebagai berikut:
a. lembar ke-1 untuk Wajib Pajak;
b. lembar ke-2 untuk KPPN; dan
c. lembar ke-3 untuk arsip KPP.
(4) Atas dasar SKPKPP, Kepala KPP atas nama Menteri Keuangan menerbitkan SPMKP.
(5) Bentuk format SPMKP adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran III Peraturan Menteri Keuangan ini, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri Keuangan ini.
(6) SPMKP sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibuat dalam rangkap 4 (empat) dengan peruntukan sebagai berikut:
a. lembar ke-1 dan lembar ke-2 untuk KPPN;
b. lembar ke-3 untuk Wajib Pajak; dan
c. lembar ke-4 untuk arsip KPP.
(7) SPMKP dibebankan pada akun pendapatan pajak tahun anggaran berjalan, yaitu pada akun yang sama dengan akun pada saat diakuinya pendapatan pajak semula.
(8) SPMKP beserta SKPKPP disampaikan secara langsung ke KPPN.
(9) Dalam hal kompensasi Utang Pajak dilakukan melalui potongan SPMKP, SPMKP beserta SKPKPP sebagaimana dimaksud pada ayat (8) harus dilampiri dengan surat setoran.
(10) Dalam hal kompensasi Utang Pajak hanya dilakukan melalui transfer pembayaran, SPMKP beserta SKPKPP sebagaimana dimaksud pada ayat (8) tidak perlu dilampiri dengan surat setoran.
(11) Dalam hal kompensasi Utang Pajak dilakukan melalui potongan SPMKP dan transfer pembayaran, SPMKP beserta SKPKPP sebagaimana dimaksud pada ayat (8) hanya dilampiri dengan surat setoran untuk kompensasi Utang Pajak yang akan dilakukan melalui potongan SPMKP.
Pasal 9
(1) Berdasarkan SPMKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4), Kepala KPPN atas nama Menteri Keuangan menerbitkan SP2D dengan ketentuan:
a. dalam hal seluruh kelebihan pembayaran pajak dikompensasikan ke Utang Pajak melalui potongan SPMKP, KPPN menerbitkan SP2D Nihil;
b. dalam hal kelebihan pembayaran pajak dikompensasikan ke Utang Pajak melalui transfer pembayaran, KPPN menerbitkan SP2D dilampiri dengan daftar rekening tujuan;
c. dalam hal kelebihan pembayaran pajak dikompensasikan ke Utang Pajak melalui potongan SPMKP dan transfer pembayaran, KPPN terlebih dahulu memperhitungkan potongan SPMKP dimaksud dan menerbitkan SP2D dilampiri dengan daftar rekening tujuan;
d. dalam hal masih terdapat sisa kelebihan pembayaran pajak yang harus dikembalikan kepada Wajib Pajak setelah dikompensasikan dengan Utang Pajak melalui potongan SPMKP atau transfer pembayaran sebagaimana dimaksud pada huruf b atau huruf c, KPPN menerbitkan SP2D dilampiri dengan daftar rekening tujuan termasuk rekening Wajib Pajak;
e. dalam hal seluruh kelebihan pembayaran pajak dikembalikan kepada Wajib Pajak, KPPN menerbitkan SP2D sesuai dengan rekening Wajib Pajak bersangkutan.
(2) SP2D sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dalam rangkap 3 (tiga) dengan peruntukan sebagai berikut:
a. lembar ke-1 untuk Bank Operasional I atau Bank Operasional III;
b. lembar ke-2 untuk KPP penerbit SPMKP; dan
c. lembar ke-3 untuk KPPN.
(3) KPPN mengesahkan setiap surat setoran yang dilampirkan dalam SPMKP atas kompensasi melalui potongan SPMKP dengan membubuhkan cap, nama dan tanda tangan pada kolom penyetor.
(4) Dalam hal kelebihan pembayaran pajak dikompensasikan ke Utang Pajak melalui potongan SPMKP, KPPN menerbitkan Bukti Penerimaan Negara (BPN) dengan teraan Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN) dan Nomor Penerimaan Potongan (NPP) sesuai dengan tanggal SP2D.
(5) Dalam hal kelebihan pembayaran pajak dikompensasikan ke Utang Pajak melalui transfer pembayaran, KPP menyampaikan informasi akan adanya transfer penerimaan negara dan menyampaikan surat setoran berupa Surat Setoran Pajak, Surat Setoran Pajak Bumi dan Bangunan, dan/atau Surat Setoran Pajak Pajak Bumi dan Bangunan, ke:
a. Bank/Pos Persepsi tujuan untuk Surat Setoran Pajak;
b. Bank/Pos Persepsi tujuan yang sekaligus merangkap sebagai Bank Operasional III PBB untuk Surat Setoran Pajak Bumi dan Bangunan atau Surat Setoran Pajak Pajak Bumi dan Bangunan.
(6) Bank/Pos Persepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) menerbitkan Bukti Penerimaan Negara (BPN), Nomor Transaksi Bank (NTB) atau Nomor Transaksi Pos (NTP), dan Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN) atas dasar transfer sesuai SP2D dari KPPN dan Surat Setoran Pajak, Surat Setoran Pajak Bumi dan Bangunan, atau Surat Setoran Pajak Pajak Bumi dan Bangunan, yang diterima dari KPP.
(7) KPPN menyampaikan ke KPP penerbit SPMKP lembar ke-2 SPMKP dan lembar ke-2 SP2D, dan dalam hal terdapat kelebihan pembayaran pajak yang dikompensasikan ke Utang Pajak melalui potongan SPMKP disertai dengan surat setoran yang telah disahkan.
Pasal 10
Lembar Bukti Penerimaan Negara (BPN) untuk Wajib Pajak yang diterbitkan oleh Bank/Pos Persepsi dan/atau lembar Surat Setoran Pajak, Surat Setoran Pajak Bumi dan Bangunan, atau Surat Setoran Pajak Pajak Bumi dan Bangunan, untuk Wajib Pajak yang telah diterbitkan Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN) dan Nomor Transaksi Bank (NTB) atau Nomor Transaksi Pos (NTP) oleh Bank/Pos Persepsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (6) disampaikan kepada Wajib Pajak melalui KPP setempat.
Pasal 11
Kepala KPP selaku pejabat yang diberi wewenang untuk menandatangani SKPKPP dan SPMKP menyampaikan spesimen tanda tangan kepada Kepala KPPN setiap awal tahun anggaran atau apabila terjadi perubahan pejabat yang bersangkutan.
BAB IV
JANGKA WAKTU PENGEMBALIAN
Pasal 12
(1) Kelebihan pembayaran PPh, PPN, dan PPnBM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) setelah diperhitungkan dengan Utang Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dikembalikan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak:
a. permohonan pengembalian kelebihan pembayaran sehubungan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a diterima;
b. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b atau huruf c diterbitkan;
c. Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf d, huruf e, atau huruf g diterbitkan;
d. Surat Keputusan Keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf h diterbitkan;
e. Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf h diterima kantor Direktorat Jenderal Pajak yang berwenang melaksanakan Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali;
f. Surat Keputusan Pembetulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf i diterbitkan;
g. Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi atau Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf j diterbitkan;
h. Surat Keputusan Pengurangan Surat Ketetapan Pajak atau Surat Keputusan Pembatalan Surat Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf k diterbitkan; atau
i. Surat Keputusan Pengurangan Surat Tagihan Pajak atau Surat Keputusan Pembatalan Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf l diterbitkan.
(2) Kelebihan pembayaran PBB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 setelah diperhitungkan dengan Utang Pajak, dikembalikan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak:
a. SKKP PBB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a diterbitkan;
b. Surat Keputusan Keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b diterbitkan;
c. Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b diterima kantor Direktorat Jenderal Pajak yang berwenang melaksanakan Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali;
d. Surat Keputusan Pemberian Pengurangan PBB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c diterbitkan;
e. Surat Keputusan Pengurangan Denda Administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf d diterbitkan;
f. Surat Keputusan Pembetulan PBB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf e diterbitkan;
g. Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi atau Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf f diterbitkan;
h. Surat Keputusan Pengurangan Surat Ketetapan Pajak atau Surat Keputusan Pembatalan Surat Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf g diterbitkan; atau
i. Surat Keputusan Pengurangan Surat Tagihan Pajak PBB atau Surat Keputusan Pembatalan Surat Tagihan Pajak PBB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf h diterbitkan.
(3) KPP wajib menyampaikan SPMKP beserta SKPKPP dan/atau Surat Setoran Pajak, Surat Setoran Pajak Bumi dan Bangunan, atau Surat Setoran Pajak Pajak Bumi dan Bangunan, ke KPPN dengan ketentuan sebagai berikut:
a. paling lama 2 (dua) hari kerja sebelum jangka waktu 1 (satu) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terlampaui; atau
b. paling lama 2 (dua) hari kerja sebelum jangka waktu 1 (satu) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terlampaui.
(4) SP2D sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) diterbitkan oleh KPPN sesuai peraturan perundang-undangan di bidang perbendaharaan.
BAB V
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 14
Dengan berlakunya Peraturan Menteri Keuangan ini, kelebihan pembayaran PPh, PPN dan/atau PPnBM yang telah diperhitungkan dengan utang PBB dan belum diselesaikan sampai dengan berlakunya Peraturan Menteri Keuangan ini, diselesaikan dengan cara kompensasi berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan ini.
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 15
Direktur Jenderal Pajak dan Direktur Jenderal Perbendaharaan sesuai bidang tugas dan kewenangannya masing-masing, baik secara bersama sama maupun secara sendiri-sendiri mengatur lebih lanjut ketentuan yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan ini.
Pasal 16
Pada saat Peraturan Menteri Keuangan ini berlaku:
1. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 29/PMK.03/2005 tentang Tata Cara Pembayaran Kembali Kelebihan Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan;
2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 188/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 17
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku setelah 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 24 Januari 2011
MENTERI KEUANGAN,

ttd.

AGUS D.W. MARTOWARDOJO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 24 Januari 2011
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,

ttd.

PATRIALIS AKBAR

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 35

PERMOHONAN PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN

MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 17/PMK.03/2011

TENTANG

PERMOHONAN PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN
PAJAK BUMI DAN BANGUNAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN,

Menimbang : a. bahwa untuk memberikan kepastian hukum dan meningkatkan pelayanan kepada Wajib Pajak yang mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan, perlu dilakukan penyempurnaan terhadap ketentuan yang mengatur mengenai permohonan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan;
b. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 17 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 diatur bahwa berdasarkan permohonan Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak setelah meneliti kebenaran pembayaran pajak, menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar apabila terdapat pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
c. bahwa dalam ketentuan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 12 Tahun 1994 diatur bahwa terhadap ketentuan yang tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994, berlaku ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Permohonan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3312) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3569);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Perpajakan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4797);
4. Keputusan Presiden Nomor 56/P Tahun 2010;

MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERMOHONAN PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan:
1. Pajak Bumi dan Bangunan yang selanjutnya disingkat dengan PBB adalah pajak sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994.
2. Surat Keputusan Kelebihan Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan yang selanjutnya disingkat dengan SKKP PBB adalah surat keputusan yang menyatakan jumlah kelebihan pembayaran PBB.
3. Surat Pemberitahuan yang selanjutnya disingkat dengan SPb adalah surat keputusan yang menyatakan jumlah pembayaran PBB sama dengan jumlah PBB terutang.
4. Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan yang selanjutnya disingkat dengan SKP PBB adalah surat ketetapan yang menentukan besarnya jumlah PBB yang terutang atau jumlah kekurangan pembayaran pokok PBB, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah yang masih harus dibayar.
5. Perusahaan Jasa Ekspedisi atau Jasa Kurir yang selanjutnya disebut Perusahaan Jasa adalah perusahaan yang berbentuk badan hukum yang memberikan jasa pengiriman surat jenis tertentu.
BAB II
PENGAJUAN PERMOHONAN PENGEMBALIAN
KELEBIHAN PEMBAYARAN PBB
Pasal 2
Kelebihan pembayaran PBB terjadi dalam hal:
a. PBB yang dibayar ternyata lebih besar dari yang seharusnya terutang; atau
b. dilakukan pembayaran PBB yang tidak seharusnya terutang.
Pasal 3
(1) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran PBB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kantor Pelayanan Pajak Pratama tempat objek pajak terdaftar.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan:
a. permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mencantumkan besarnya pengembalian yang dimohon disertai alasan yang jelas;
b. permohonan dilampiri fotokopi Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT), Surat Tagihan Pajak PBB (STP PBB), atau SKP PBB, dan bukti pembayaran PBB yang sah; dan
c. surat permohonan ditandatangani oleh Wajib Pajak, dan dalam hal ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak berlaku ketentuan sebagai berikut:
1) surat permohonan harus dilampiri dengan Surat Kuasa Khusus, untuk:
a. Wajib Pajak badan; atau
b. Wajib Pajak orang pribadi dengan kelebihan pembayaran PBB menurut Wajib Pajak lebih banyak dari Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah);
2) surat permohonan harus dilampiri dengan surat kuasa, untuk Wajib Pajak orang pribadi dengan kelebihan pembayaran PBB menurut Wajib Pajak paling banyak Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah).
3) Permohonan pengembalian yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dianggap bukan sebagai permohonan sehingga tidak dapat dipertimbangkan.
Pasal 4
(1) Berdasarkan hasil pemeriksaan atau penelitian terhadap permohonan pengembalian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal diterimanya surat permohonan pengembalian Wajib Pajak, Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama atas nama Direktur Jenderal Pajak menerbitkan:
a. SKKP PBB apabila jumlah PBB yang dibayar ternyata lebih besar dari jumlah PBB terutang;
b. SPb apabila jumlah PBB yang dibayar sama dengan jumlah PBB terutang;
c. SKP PBB apabila jumlah PBB yang dibayar ternyata kurang dari jumlah PBB terutang.
(2) Tanggal diterimanya surat permohonan pengembalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. tanggal terima surat permohonan pengembalian, dalam hal disampaikan secara langsung oleh Wajib Pajak atau kuasanya kepada petugas Tempat Pelayanan Terpadu (TPT) atau petugas yang ditunjuk; atau
b. tanggal tanda pengiriman surat permohonan pengembalian, dalam hal disampaikan melalui pos atau Perusahaan Jasa dengan bukti pengiriman surat.
(3) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama tidak memberikan keputusan, permohonan tersebut dianggap dikabulkan dan SKKP PBB diterbitkan paling lama 1 (satu) bulan setelah jangka waktu tersebut berakhir.
BAB III
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 5
Ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur penyelesaian pengembalian kelebihan pembayaran PBB diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 6
Peraturan Menteri Keuangan ini berlaku setelah 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 24 Januari 2011
MENTERI KEUANGAN,


AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 24 Januari 2011
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,


PATRIALIS AKBAR


BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 36