Cari Blog Ini

Rabu, 25 Mei 2011

TATA CARA PENYELESAIAN BARANG KENA CUKAI DAN BARANG-BARANG LAIN YANG DIRAMPAS UNTUK NEGARA ATAU YANG DIKUASAI NEGARA

MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN MENTERI KEUANGAN

NOMOR 136/PMK.04/2010

TENTANG

TATA CARA PENYELESAIAN BARANG KENA CUKAI DAN BARANG-BARANG LAIN
 YANG DIRAMPAS UNTUK NEGARA ATAU YANG DIKUASAI NEGARA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN,

Menimbang
:
bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 62 ayat (3) dan Pasal 66 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Penyelesaian Barang Kena Cukai dan Barang-Barang Lain yang Dirampas untuk Negara atau Yang Dikuasai Negara;
Mengingat
:
1.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3613) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 105, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4755);


2.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3612) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4609);


3.


MEMUTUSKAN:
Menetapkan
:
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PENYELESAIAN BARANG KENA CUKAI DAN BARANG-BARANG LAIN YANG DIRAMPAS UNTUK NEGARA ATAU YANG DIKUASAI NEGARA.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1


Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan:


1.
Undang-Undang Kepabeanan adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006.


2.
Undang-Undang Cukai adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007.


3.
Barang-Barang Lain adalah barang-barang yang berkaitan langsung dengan barang kena cukai, seperti sarana pengangkut yang digunakan untuk mengangkut barang kena cukai, peralatan atau mesin yang digunakan untuk membuat barang kena cukai.


4.
Tempat Penimbunan Pabean adalah bangunan dan/atau lapangan atau tempat lain yang disamakan dengan itu, yang disediakan oleh pemerintah di kantor pabean, yang berada di bawah pengelolaan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk menyimpan barang yang dinyatakan tidak dikuasai, barang yang dikuasai negara, dan barang-barang yang menjadi milik negara berdasarkan Undang-Undang Kepabeanan.


5.
Pelanggar Tidak Dikenal adalah orang yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan cukai, baik ketentuan administrasi maupun ketentuan pidana, yang tidak diketahui.


6.
Kantor Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang selanjutnya disebut Kantor adalah Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai atau Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.


7.
Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia.

BAB II
BARANG YANG DIRAMPAS UNTUK NEGARA

Pasal 2


(1)
Barang kena cukai dan Barang-Barang Lain yang tersangkut tindak pidana di bidang cukai berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dinyatakan dirampas untuk negara.


(2)
Barang kena cukai dan Barang-Barang Lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada di bawah pengawasan Menteri selaku pengelola kekayaan negara.

Pasal 3


(1)
Kepala Kantor tempat terjadinya tindak pidana di bidang cukai menerima penyerahan barang kena cukai dan Barang-Barang Lain yang dinyatakan dirampas untuk negara dari jaksa selaku pelaksana putusan pengadilan.


(2)
Atas penyerahan barang kena cukai dan Barang-Barang Lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuatkan berita acara penyerahan.

Pasal 4


(1)
Atas penyerahan barang kena cukai dan Barang-Barang Lain yang dinyatakan dirampas untuk negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), berlaku ketentuan sebagai berikut:



a.
kepala Kantor mengadministrasikan barang kena cukai dan Barang-Barang Lain yang dirampas untuk negara dengan baik dan benar; dan



b.
kepala Kantor menimbun barang yang dirampas untuk negara di Tempat Penimbunan Pabean atau tempat penimbunan lain yang berfungsi sebagai Tempat Penimbunan Pabean yang ditetapkan oleh kepala Kantor atas nama Menteri.


(2)
Penyelesaian atas barang kena cukai dan Barang-Barang Lain yang dirampas untuk negara, ditetapkan sebagai berikut:



a.
terhadap barang kena cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c Undang-Undang Cukai harus dimusnahkan oleh pejabat bea dan cukai atau oleh pihak lain di bawah pengawasan pejabat bea dan cukai;



b.
terhadap barang kena cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf d Undang-Undang Cukai dan Barang-Barang Lain, penetapan peruntukan lebih lanjut ditetapkan oleh Menteri.


(3)
Atas pemusnahan barang kena cukai dan/atau Barang-Barang Lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuatkan berita acara pemusnahan.

BAB III
BARANG YANG DIKUASAI NEGARA YANG BERASAL DARI
PELANGGAR TIDAK DIKENAL

Pasal 5


(1)
Barang kena cukai dan Barang-Barang Lain yang berasal dari Pelanggar Tidak Dikenal dikuasai negara dan berada di bawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.


(2)
Barang yang dikuasai negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditempatkan di Tempat Penimbunan Pabean atau tempat lain yang berfungsi sebagai Tempat Penimbunan Pabean yang ditetapkan oleh kepala Kantor atas nama Menteri.

Pasal 6


(1)
Terhadap barang kena cukai dan Barang-Barang Lain yang berasal dari Pelanggar Tidak Dikenal, setelah 14 (empat belas) hari sejak dikuasai negara pelanggarnya tetap tidak diketahui, dinyatakan menjadi milik negara.


(2)
Penyelesaian lebih lanjut dari barang kena cukai dan Barang-Barang Lain yang dinyatakan menjadi milik negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan sebagai berikut:



a.
terhadap barang kena cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c Undang-Undang Cukai harus dimusnahkan oleh pejabat bea dan cukai atau oleh pihak lain di bawah pengawasan pejabat bea dan cukai;



b.
terhadap barang kena cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf d Undang-Undang Cukai dan Barang-Barang Lain, penetapan peruntukan lebih lanjut ditetapkan oleh Menteri dengan memperhatikan usulan Direktur Jenderal Bea dan Cukai.



c.
terhadap Barang-Barang Lain berupa;




1.
barang yang telah busuk, penyelesaiannya dilakukan dengan cara dimusnahkan;




2.
barang yang cepat busuk, lekas rusak, berbau tidak sedap yang dapat mengganggu kesehatan dan/atau lingkungan atau berbahaya, penyelesaiannya dilakukan dengan cara dimusnahkan;




3.
barang lain selain sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan angka 2, penetapan peruntukan lebih lanjut ditetapkan oleh Menteri dengan memperhatikan usulan Direktur Jenderal Bea dan Cukai.


(3)
Atas pemusnahan barang kena cukai dan/atau Barang-Barang Lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuatkan berita acara pemusnahan.

BAB IV
BARANG KENA CUKAI YANG DIKUASAI NEGARA YANG BERASAL
DARI PEMILIK YANG TIDAK DIKETAHUI

Pasal 7


(1)
Barang kena cukai yang belum diselesaikan kewajiban cukainya, yang pemiliknya tidak diketahui, dinyatakan dikuasai negara dan berada di bawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.


(2)
Barang kena cukai yang dikuasai negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditempatkan di Tempat Penimbunan Pabean atau tempat lain yang berfungsi sebagai Tempat Penimbunan Pabean yang ditetapkan oleh kepala Kantor atas nama Menteri.

Pasal 8


(1)
Kepala Kantor harus segera mengumumkan secara resmi pada Kantor yang bersangkutan mengenai kewajiban bagi pemilik barang kena cukai yang dikuasai negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, untuk menyelesaikan kewajibannya dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak dikuasai negara.


(2)
Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang bersangkutan tidak menyelesaikan kewajibannya, barang kena cukai dinyatakan menjadi milik negara.

Pasal 9


(1)
Penyelesaian lebih lanjut dari barang kena cukai yang dinyatakan menjadi milik negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) ditetapkan sebagai berikut:



a.
terhadap barang kena cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c Undang-Undang Cukai harus dimusnahkan oleh pejabat bea dan cukai atau oleh pihak lain di bawah pengawasan pejabat bea dan cukai;



b.
terhadap barang kena cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf d Undang-Undang Cukai, penetapan peruntukan lebih lanjut ditetapkan oleh Menteri dengan memperhatikan usulan Direktur Jenderal Bea dan Cukai.


(2)
Atas pemusnahan barang kena cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuatkan berita acara pemusnahan.

BAB V
BARANG YANG MENJADI MILIK NEGARA

Pasal 10


(1)
Barang-barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 6 ayat (1), dan Pasal 8 ayat (2) dinyatakan sebagai barang yang menjadi milik negara yang merupakan kekayaan negara.


(2)
Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disimpan di Tempat Penimbunan Pabean atau tempat lain yang berfungsi sebagai Tempat Penimbunan Pabean yang ditetapkan oleh kepala Kantor atas nama Menteri.


(3)
Direktur Jenderal Bea dan Cukai menyampaikan kepada Menteri daftar barang milik negara atas barang kena cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a, Pasal 6 ayat (2) huruf a dan Pasal 9 ayat (1) huruf a beserta usulan untuk dimusnahkan.


(4)
Direktur Jenderal Bea dan Cukai menyampaikan kepada Menteri daftar barang milik negara atas barang kena cukai dan Barang-Barang Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b, Pasal 6 ayat (2) huruf b dan huruf c angka 3, dan Pasal 9 ayat (1) huruf b beserta usulan untuk dilelang, dihibahkan, dimusnahkan, dan/atau ditetapkan status penggunaannya.


(5)
Menteri atau Pejabat yang ditunjuknya atas nama Menteri menetapkan peruntukan barang milik negara dengan memperhatikan usulan Direktur Jenderal Bea dan Cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4).

Pasal 11


(1)
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai melakukan pencatatan atas barang milik negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dalam buku catatan barang milik negara.


(2)
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai melaporkan pencatatan barang milik negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Menteri melalui Direktur Jenderal Kekayaan Negara.

Pasal 12


(1)
Dalam rangka penyusunan neraca Pemerintah Pusat dan penetapan peruntukan terhadap barang milik negara, dilakukan penilaian terhadap barang milik negara.


(2)
Penilaian tidak dilakukan terhadap barang milik negara yang ditetapkan peruntukannya untuk dimusnahkan.


(3)
Penilaian terhadap barang milik negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan dapat melibatkan instansi terkait atau penilai independen.


(4)
Penilaian terhadap barang milik negara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan untuk mendapatkan nilai wajar berdasarkan dokumen terkait, harga pasar, atau sumber informasi harga lainnya, dengan mempertimbangkan kondisi barang pada saat penilaian.

Pasal 13


Barang milik negara yang telah ditetapkan peruntukannya oleh Menteri dan telah dilaksanakan, dihapus dari buku catatan barang milik negara.

Pasal 14


Pelaksanaan lelang, pemusnahan, hibah, dan penetapan status penggunaan terhadap barang milik negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1), dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan barang milik negara.

BAB VI
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 15


Penyelesaian barang kena cukai dan/atau Barang-Barang Lain yang dirampas untuk negara atau yang dikuasai negara yang berasal dari impor dilakukan berdasarkan Undang-Undang Kepabeanan.

BAB VI
PENUTUP

Pasal 16


Pada saat Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 322/KMK.05/1996 tentang Tata Cara Penyelesaian Barang Kena Cukai dan Barang Lain Yang Dirampas Untuk Negara atau Yang Dikuasai Negara, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 17


Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku setelah 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diundangkan.


Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan menempatkannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.






Ditetapkan di Jakarta






pada tanggal 29 Juli 2010






MENTERI KEUANGAN,
             
            ttd.
             
            AGUS D.W. MARTOWARDOJO
             


Diundangkan di Jakarta



pada tanggal 29 Juli 2010



MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,

       
    ttd.  
       
    PATRIALIS AKBAR  
       
    BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 363

 

Selasa, 24 Mei 2011

PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 156/PMK.07/2008 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN DANA DEKONSENTRASI DAN TUGAS PEMBANTUAN

MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN MENTERI KEUANGAN

NOMOR 248/PMK.07/2010

TENTANG

PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 156/PMK.07/2008 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN
DANA DEKONSENTRASI DAN TUGAS PEMBANTUAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN,
Menimbang
a.
bahwa pedoman pengelolaan Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 156/PMK.07/2008;


b.
bahwa dalam rangka mengoptimalkan pengelolaan Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan, dipandang perlu mengubah beberapa ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 156/PMK.07/2008;


c.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 156/PMK.07/2008 tentang Pedoman Pengelolaan Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan;
Mengingat
:
1.
Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara;


2.


3.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 156/PMK.07/2008 tentang Pedoman Pengelolaan Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan;


MEMUTUSKAN:
Menetapkan
:
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 156/PMK.07/2008 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN DANA DEKONSENTRASI DAN TUGAS PEMBANTUAN.


Pasal I


Beberapa ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 156/PMK.07/2008 tentang Pedoman Pengelolaan Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan diubah sebagai berikut:


1.
Ketentuan Pasal 1 diubah dengan menambahkan 5 (lima) angka baru setelah angka 20, yakni angka 21, angka 22, angka 23, angka 24, dan angka 25, sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:



Pasal 1



Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan:



1.
Pemerintah Pusat, yang selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.



2.
Kementerian Negara, yang selanjutnya disebut Kementerian, adalah lembaga Pemerintah pelaksana kekuasaan pemerintahan yang membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.



3.
Lembaga adalah organisasi non-kementerian negara dan instansi lain pengguna anggaran yang dibentuk untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau peraturan perundang-undangan lainnya.



4.
Satuan Kerja Perangkat Daerah, yang selanjutnya disingkat SKPD, adalah organisasi/lembaga pada pemerintah daerah yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan Dekonsentrasi/tugas pemerintahan di bidang tertentu di daerah provinsi.



5.
Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari Pemerintah kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah.



6.
Tugas Pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau desa atau sebutan lain dengan kewajiban melaporkan dan mempertanggungjawabkan pelaksanaannya kepada yang menugaskan.



7.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, yang selanjutnya disingkat APBN, adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan ditetapkan dengan undang-undang.



8.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, yang selanjutnya disingkat APBD, adalah rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan ditetapkan dengan peraturan daerah.



9.
Dana Dekonsentrasi adalah dana yang berasal dari APBN yang dilaksanakan oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan Dekonsentrasi, tidak termasuk dana yang dialokasikan untuk instansi vertikal pusat di daerah.



10.
Dana Tugas Pembantuan adalah dana yang berasal dari APBN yang dilaksanakan oleh daerah dan desa yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan Tugas Pembantuan.



11.
Rencana Kerja Pemerintah, yang selanjutnya disingkat RKP, adalah dokumen perencanaan nasional untuk periode 1 (satu) tahun.



12.
Rencana Kerja Kementerian/Lembaga, yang selanjutnya disebut Renja-KL, adalah dokumen perencanaan Kementerian/Lembaga untuk periode 1 (satu) tahun.



13.
Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga, yang selanjutnya disingkat RKA-KL, adalah dokumen perencanaan dan penganggaran yang berisi program dan kegiatan suatu Kementerian/Lembaga yang merupakan penjabaran dari Rencana Kerja Pemerintah dan Rencana Strategis Kementerian/Lembaga yang bersangkutan dalam satu tahun anggaran, serta anggaran yang diperlukan untuk melaksanakannya.



14.
Rencana Kerja dan Anggaran Satuan Kerja, yang selanjutnya disingkat RKA Satker, adalah RKA-KL pada tingkat satuan kerja yang berisikan informasi mengenai rencana kerja, rincian belanja, target pendapatan, dan prakiraan maju.



15.
Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran, yang selanjutnya disebut DIPA atau dokumen lain yang dipersamakan dengan DIPA, adalah suatu dokumen pelaksanaan anggaran yang dibuat oleh menteri/pimpinan Lembaga serta disahkan oleh Menteri Keuangan dan berfungsi sebagai dokumen pelaksanaan pendanaan kegiatan serta dokumen pendukung kegiatan akuntansi Pemerintah.



16.
Program adalah instrumen kebijakan yang berisi satu atau lebih kegiatan yang dilaksanakan instansi Pemerintah/Lembaga untuk mencapai sasaran dan tujuan serta memperoleh alokasi anggaran, atau kegiatan masyarakat yang dikoordinasikan oleh instansi Pemerintah.



17.
Kegiatan adalah bagian dari program yang dilaksanakan oleh satu atau beberapa satuan kerja sebagai bagian dari pencapaian sasaran terukur pada suatu program dan terdiri dari sekumpulan tindakan pengerahan sumber daya baik yang bersifat personil (sumber daya manusia), barang modal termasuk peralatan dan teknologi, dana, atau kombinasi dari beberapa atau kesemua jenis sumber daya tersebut sebagai masukan untuk menghasilkan keluaran dalam bentuk barang/jasa.



18.
Unit Akuntansi Pembantu Pengguna Anggaran/Barang-Wilayah Dekonsentrasi, yang selanjutnya disebut UAPPA/B-W Dekonsentrasi, adalah unit akuntansi yang berada di pemerintah daerah provinsi yang melakukan kegiatan penggabungan laporan keuangan/barang dari seluruh SKPD yang mendapatkan alokasi Dana Dekonsentrasi di wilayah kerjanya.



19.
Unit Akuntansi Pembantu Pengguna Anggaran/Barang-Wilayah Tugas Pembantuan, yang selanjutnya disebut UAPPA/B-W Tugas Pembantuan, adalah unit akuntansi yang berada di pemerintah daerah yang melakukan kegiatan penggabungan laporan keuangan/barang dari seluruh SKPD yang mendapatkan alokasi Dana Tugas Pembantuan di wilayah kerjanya.



20.
Barang Milik Negara, yang selanjutnya disebut BMN, adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.



21.
Hibah BMN adalah pengalihan kepemilikan barang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, dari pemerintah daerah kepada pemerintah pusat, antar pemerintah daerah, atau dari pemerintah pusat/pemerintah daerah kepada pihak lain, tanpa memperoleh penggantian.



22.
Akun adalah daftar perkiraan/kodefikasi yang disusun dan ditetapkan secara sistematis untuk memudahkan perencanaan, pelaksanaan anggaran, serta pertanggungjawaban dan pelaporan keuangan pemerintah pusat.



23.
Pemindahtanganan adalah pengalihan kepemilikan barang milik negara/daerah sebagai tindak lanjut dari penghapusan dengan cara dijual, dipertukarkan, dihibahkan atau disertakan sebagai modal pemerintah.



24.
Penghapusan adalah tindakan menghapus barang milik negara/daerah dari daftar barang dengan menerbitkan surat keputusan dari pejabat yang berwenang untuk membebaskan pengguna dan/atau kuasa pengguna barang dan/atau pengelola barang dari tanggung jawab administrasi dan fisik atas barang yang berada dalam penguasaannya.



25.
Persediaan adalah aset lancar dalam bentuk barang atau perlengkapan yang dimaksudkan untuk mendukung kegiatan operasional pemerintah, dan barang-barang yang dimaksudkan untuk dijual dan/atau diserahkan dalam rangka pelayanan kepada masyarakat.


2.
Ketentuan Pasal 2 diubah dengan menyisipkan 1 (satu) ayat di antara ayat (2) dan ayat (3) yakni ayat (2a) dan setelah ayat (4) ditambahkan 1 (satu) ayat yakni ayat (5), sehingga Pasal 2 berbunyi sebagai berikut:



Pasal 2



(1)
Pendanaan dalam rangka Dekonsentrasi dialokasikan untuk kegiatan bersifat non-fisik, yaitu kegiatan yang menghasilkan keluaran yang tidak menambah aset tetap.



(2)
Kegiatan yang bersifat non-fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain berupa sinkronisasi dan koordinasi perencanaan, fasilitasi, bimbingan teknis, pelatihan, penyuluhan, supervisi, penelitian dan survey, pembinaan dan pengawasan, serta pengendalian.



(2a)
Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2a) menggunakan akun Belanja Barang sesuai dengan peruntukannya.



(3)
Dalam rangka mendukung pelaksanaan kegiatan Dekonsentrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sebagian kecil Dana Dekonsentrasi dapat dialokasikan sebagai dana penunjang untuk pelaksanaan tugas administratif dan/atau pengadaan input berupa pengadaan barang/jasa dan penunjang lainnya.



(4)
Penentuan besarnya alokasi dana penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus memperhatikan asas kepatutan, kewajaran, ekonomis, dan efisiensi, serta disesuaikan dengan karakteristik kegiatan masing-masing Kementerian/Lembaga.



(5)
Dana penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam hal digunakan dalam Pengadaan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menggunakan akun Belanja Barang penunjang kegiatan Dekonsentrasi dengan kode akun 521311.


3.
Ketentuan Pasal 3 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) diubah, di antara ayat (3) dan ayat (4) disisipkan 2 (dua) ayat yakni ayat (3a) dan ayat (3b), dan di antara ayat (4) dan ayat (5) disisipkan 1 (satu) ayat yakni ayat (4a), sehingga Pasal 3 berbunyi sebagai berikut:



Pasal 3



(1)
Pendanaan dalam rangka Tugas Pembantuan dialokasikan untuk kegiatan bersifat fisik, yaitu kegiatan yang menghasilkan keluaran yang menambah nilai aset pemerintah.



(2)
Kegiatan yang bersifat fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain pengadaan tanah, bangunan, peralatan dan mesin, jalan, irigasi dan jaringan, serta kegiatan fisik lain yang menambah nilai aset pemerintah.



(3)
Kegiatan fisik lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) antara lain pengadaan barang habis pakai, seperti obat-obatan, vaksin, pengadaan bibit dan pupuk yang akan diserahkan kepada pemerintah daerah.



(3a)
Pengadaan aset sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menggunakan akun Belanja Modal sesuai dengan peruntukannya.



(3b)
Pengadaan aset sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menggunakan akun Belanja Barang fisik lainnya Tugas Pembantuan ( 521411).



(4)
Dalam rangka mendukung pelaksanaan kegiatan Tugas Pembantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sebagian kecil Dana Tugas Pembantuan dapat dialokasikan sebagai dana penunjang untuk pelaksanaan tugas administratif dan/atau pengadaan input berupa pengadaan barang/jasa dan penunjang lainnya.



(4a)
Dana penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) yang menghasilkan aset tetap menggunakan akun Belanja Barang Penunjang Kegiatan Tugas Pembantuan dengan kode akun 521321.



(5)
Penentuan besarnya alokasi dana penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus memperhatikan asas kepatutan, kewajaran, ekonomis, dan efisiensi, serta disesuaikan dengan karakteristik kegiatan masing-masing Kementerian/Lembaga.


4.
Ketentuan Pasal 5 ayat (1) diubah, sehingga Pasal 5 berbunyi sebagai berikut:



Pasal 5



(1)
Pemberitahuan indikasi program dan kegiatan yang akan didekonsentrasikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b dijadikan dasar bagi gubernur untuk menetapkan SKPD yang sesuai dengan bidang tugas yang ditangani.



(2)
Pemberitahuan indikasi program dan kegiatan yang akan ditugaskan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf b dijadikan dasar bagi gubernur/bupati/walikota untuk mengusulkan SKPD yang sesuai dengan bidang tugas yang ditangani.



(3)
Penyampaian usulan SKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan paling lambat akhir bulan Juni.


5.
Ketentuan Pasal 12 ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diubah, sehingga Pasal 12 berbunyi sebagai berikut:



Pasal 12



(1)
Kementerian/Lembaga menyampaikan RKA Satker kepada gubernur untuk diteruskan kepada SKPD yang telah ditetapkan, sebagai bahan penyusunan konsep DIPA.



(2)
Penyampaian RKA Satker sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan bersamaan dengan penyampaian Peraturan Menteri/Pimpinan Lembaga tentang pelimpahan wewenang.



(3)
Setelah menerima pelimpahan wewenang dari Kementerian/Lembaga, gubernur menetapkan pejabat pengelola keuangan.



(4)
Pejabat pengelola keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi Kuasa Pengguna Anggaran/Barang, Pejabat Pembuat Komitmen, Pejabat Penguji Tagihan/Penandatangan Surat Perintah Membayar, Pejabat Akuntansi dan Bendahara Pengeluaran.



(5)
Gubernur menyampaikan hasil penetapan Kuasa Pengguna Anggaran/Barang dan pejabat pengelola keuangan kepada menteri/pimpinan Lembaga dengan tembusan kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perbendaharaan.


6.
Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:



Pasal 15



(1)
Kementerian/Lembaga menyampaikan RKA Satker kepada gubernur/bupati/walikota untuk diteruskan kepada SKPD yang telah ditetapkan oleh Kementerian/Lembaga, sebagai bahan penyusunan konsep DIPA.



(2)
Setelah menerima RKA Satker dari Kementerian/Lembaga, gubernur/bupati/walikota mengusulkan pejabat pengelola keuangan kepada menteri/pimpinan Lembaga.



(3)
Pejabat pengelola keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi Kuasa Pengguna Anggaran/Barang, Pejabat Pembuat Komitmen, Pejabat Penguji Tagihan/Penandatangan Surat Perintah Membayar, Pejabat Akuntansi, dan Bendahara Pengeluaran.



(4)
Kementerian/Lembaga menetapkan pejabat pengelola keuangan dan menyampaikannya kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan selambat-lambatnya pada pertengahan bulan November.


7.
Di antara Pasal 15 dan Pasal 16 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 15A sehingga berbunyi sebagai berikut:



Pasal 15A



Gubernur/Bupati/Walikota memberitahukan RKA Satker sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah pada saat pembahasan APBD sebagai bahan sinkronisasi pendanaan program dan kegiatan.


8.
Ketentuan Pasal 26 diubah dengan menambahkan 1 (satu) ayat setelah ayat (2) yakni ayat (3), sehingga Pasal 26 berbunyi sebagai berikut:



Pasal 26



(1)
SKPD yang mendapatkan alokasi Dana Dekonsentrasi merupakan Unit Akuntansi Kuasa Pengguna Anggaran/Barang (UAKPA/B) Dekonsentrasi.



(2)
Penanggung Jawab UAKPA/B Dekonsentrasi adalah kepala SKPD.



(3)
SKPD sebagai penanggungjawab UAKPA/B Dana Dekonsentrasi wajib menyusun Laporan Keuangan dan Laporan Barang.


9.
Ketentuan Pasal 27 diubah dengan menambahkan 1 (satu) ayat setelah ayat (2) yakni ayat (3), sehingga Pasal 27 berbunyi sebagai berikut:



Pasal 27



(1)
SKPD yang mendapatkan alokasi Dana Tugas Pembantuan merupakan Unit Akuntansi Kuasa Pengguna Anggaran/Barang (UAKPA/B) Tugas Pembantuan.



(2)
Penanggung Jawab UAKPA/B Tugas Pembantuan adalah kepala SKPD.



(3)
SKPD sebagai penanggungjawab UAKPA/B Dana Tugas Pembantuan wajib menyusun Laporan Keuangan dan Laporan Barang.


10.
Pasal 36 dihapus.


11.
Pasal 37 dihapus.


12.
Di antara Pasal 37 dan Pasal 38 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 37A, Pasal 37B, dan Pasal 37C, sehingga berbunyi sebagai berikut:



Pasal 37A



(1)
Barang yang diperoleh dari Dana Dekonsentrasi merupakan BMN.



(2)
BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicatat sebagai persediaan (eks Dekonsentrasi).



(3)
BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ditatausahakan dalam Sistem Informasi Manajemen dan Akuntansi Barang Milik Negara.



(4)
Persediaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diserahkan oleh Pengguna Barang kepada Pemerintahan Daerah c.q SKPD pelaksana tugas Dekonsentrasi dengan Berita Acara Serah Terima selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah realisasi pengadaan barang.



(5)
Berdasarkan Berita Acara Serah Terima, SKPD penerima sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib menatausahakan dan melaporkan pada neraca Pemerintahan Daerah.



(6)
Pengguna barang melaporkan serah terima barang kepada Menteri Keuangan selaku Pengelola Barang c.q Direktorat Jenderal Kekayaan Negara dengan melampirkan Berita Acara Serah Terima.



(7)
Dalam hal Kementerian/Lembaga tidak menyerahkan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak pengadaan atau SKPD tidak bersedia menerima BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka BMN yang dimaksud direklasifikasi menjadi aset tetap pada Kementerian/Lembaga.



Pasal 37B



(1)
Barang yang diperoleh dari dana Tugas Pembantuan merupakan BMN.



(2)
BMN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) selain yang berasal dari kegiatan fisik lain dicatat sebagai aset tetap.



(3)
BMN yang dihasilkan dari kegiatan fisik lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dan yang berasal dari dana penunjang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) dicatat sebagai persediaan.



(4)
BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ditatausahakan dalam Sistem Informasi Manajemen dan Akuntansi Barang Milik Negara oleh SKPD pelaksana Tugas Pembantuan.



Pasal 37C



(1)
Aset Tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37B ayat (2) dihibahkan oleh Pengguna Barang kepada Pemerintahan Daerah c.q SKPD pelaksana tugas Pembantuan sepanjang pihak Kementerian/Lembaga bermaksud menyerahkan yang dituangkan dalam Surat Pernyataan Kesediaan Menghibahkan dan Pemerintah Daerah menyatakan kesediaannya untuk menerima aset tetap dimaksud yang dituangkan dalam Surat Pernyataan Kesediaan Menerima Hibah.



(2)
Surat Pernyataan Kesediaan Menghibahkan dan Surat Pernyataan Kesediaan Menerima Hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan sebelum disampaikannya surat Keputusan Menteri K/L tentang penugasan atas program dan kegiatan yang akan dilaksanakan di daerah.



(3)
Pelaksanaan Hibah BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan hibah BMN sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai tata cara pelaksanaan penggunaan, pemanfaatan, penghapusan, dan pemindahtanganan BMN.



(4)
Permohonan persetujuan hibah kepada Menteri Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Kekayaan Negara harus diajukan oleh menteri/pimpinan Lembaga selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah realisasi pengadaan barang.



(5)
Pengguna barang melaporkan pelaksanaan Hibah kepada Menteri Keuangan selaku Pengelola Barang c.q Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang dan Direktorat Jenderal Anggaran dengan melampirkan Berita Acara Serah Terima.



(6)
Dalam hal Kementerian/Lembaga tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) maka Kementerian/Lembaga tidak diperkenankan mengalokasikan anggaran untuk pengadaan aset tetap dalam rangka Tugas Pembantuan untuk tahun berikutnya.



(7)
Dalam hal SKPD tidak bersedia menerima BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka BMN yang dimaksud tetap dicatat sebagai aset tetap pada Kementerian/Lembaga.


13.
Di antara Pasal 38 dan Pasal 39 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 38A sehingga berbunyi sebagai berikut:



Pasal 38A



(1)
BMN sebagaimana dimaksud pada pasal 37B ayat (3) diserahkan oleh Pengguna Barang kepada Pemerintahan Daerah c.q SKPD pelaksana tugas Pembantuan dengan Berita Acara Serah Terima selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah realisasi pengadaan barang.



(2)
Berdasarkan Berita Acara Serah Terima, SKPD penerima sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib mentatausahakan dan melaporkan pada neraca Pemerintahan Daerah.



(3)
Pengguna barang melaporkan serah terima barang kepada Menteri Keuangan c.q DJKN dengan melampirkan BAST.



(4)
Dalam hal Kementerian/Lembaga tidak menyerahkan, maka BMN yang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) direklasifikasi menjadi aset tetap pada Kementerian/Lembaga.


14.
Pasal 39 dihapus.


15.
Ketentuan Pasal 45 diubah dengan menambahkan 1 (satu) ayat setelah ayat (3) yakni ayat (4), sehingga Pasal 45 berbunyi sebagai berikut:



Pasal 45



(1)
Aparat pengawas intern Kementerian/Lembaga melakukan reviu atas laporan keuangan Dana Dekonsentrasi dan/atau Dana Tugas Pembantuan.



(2)
Apabila Kementerian/Lembaga belum memiliki aparat pengawas intern, Sekretaris Jenderal/pejabat yang setingkat pada Kementerian/Lembaga menunjuk beberapa orang pejabat di luar Biro/Bidang Keuangan untuk melakukan reviu atas laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).



(3)
Tata cara reviu dan penyampaian hasil reviu laporan keuangan mengacu kepada Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai sistem akuntansi dan pelaporan keuangan pemerintah pusat.



(4)
Hasil reviu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memuat BMN yang belum dan/atau tidak dihibahkan beserta alasan.


16.
Ketentuan Pasal 51 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:



Pasal 51



Kementerian/Lembaga tidak diperkenankan mengalokasikan Dana Dekonsentrasi dan/atau Dana Tugas Pembantuan untuk tahun berikutnya apabila SKPD penerima dana dimaksud:



a.
tidak memenuhi target kinerja pelaksanaan kegiatan tahun sebelumnya yang telah ditetapkan;



b.
tidak pernah menyampaikan laporan keuangan dan barang sesuai ketentuan yang berlaku pada tahun anggaran sebelumnya;



c.
melakukan penyimpangan sesuai hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, Inspektorat Jenderal Kementerian/Lembaga yang bersangkutan atau aparat pemeriksa fungsional lainnya; dan/atau



d.
tidak bersedia menerima hibah terhadap BMN yang disetujui untuk diterima.


Pasal II


1.
Pengelolaan BMN yang berasal dari Dana Hasil Dekosentrasi dan Tugas Pembantuan sebelum Tahun Anggaran 2011 diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan tersendiri.


2.
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2011.


Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.






Ditetapkan di Jakarta





pada tanggal 27 Desember 2010





MENTERI KEUANGAN,







AGUS D.W. MARTOWARDOJO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 27 Desember 2010
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,


PATRIALIS AKBAR

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 660