Cari Blog Ini

Rabu, 27 Juli 2011

PENGAMANAN EKSEKUSI JAMINAN FIDUSIA

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 8 TAHUN 2011
TENTANG
PENGAMANAN EKSEKUSI JAMINAN FIDUSIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara
yang bertugas dan berfungsi untuk memelihara keamanan dan ketertiban
masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan
pelayanan kepada masyarakat;

b. bahwa sebagai alat negara, Kepolisian Negara Republik Indonesia
berwenang memberikan bantuan pengamanan pelaksanaan putusan
pengadilan atau eksekusi jaminan Fidusia, kegiatan instansi lain, dan
kegiatan masyarakat;

c. bahwa eksekusi Jaminan Fidusia mempunyai kekuatan hukum mengikat
yang sama dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum
tetap, sehingga memerlukan pengamanan dari Kepolisian Negara
Republik Indonesia;

d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Kepala Kepolisian
Negara Republik Indonesia tentang Pengamanan Eksekusi Jaminan
Fidusia;

Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia
(Lembaran Negara Republik Indoensia Tahun 1999 Nomor 168,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889);
2. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002
Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4168);
3. Peraturan Presiden Nomor 52 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi
dan Tata Kerja Kepolisian Negara Republik Indonesia;



MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENGAMANAN EKSEKUSI JAMINAN FIDUSIA.

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam peraturan ini yang dimaksud dengan:
1. Kepolisian Negara Republik Indonesia yang selanjutnya disingkat Polri adalah alat
negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat,
menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan
kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.
2. Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan
ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam
penguasaan pemilik benda.
3. Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun
yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat
dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi
Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan
yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor lainnya.
4. Benda adalah segala sesuatu yang dapat dimiliki dan dialihkan, baik yang berwujud
maupun tidak berwujud, yang terdaftar maupun yang tidak terdaftar, yang bergerak
maupun yang tak bergerak yang tidak dapat dibebani hak tanggungan atau hipotik.
5. Akta Jaminan Fidusia adalah akta yang dibuat oleh notaris atas pengalihan hak
kepemilikian suatu benda dalam perjanjian hutang piutang antara kreditor dengan
debitor.
6. Sertifikat Jaminan Fidusia adalah bukti otentik atas jaminan fidusia yang dikeluarkan
oleh kantor pendaftaran fidusia.
7. Pemberi Fidusia adalah orang perseorangan atau korporasi pemilik Benda yang menjadi
objek Jaminan Fidusia.
8. Penerima Fidusia adalah orang perseorangan atau korporasi yang mempunyai piutang
yang pembayarannya dijamin dengan Jaminan Fidusia.
9. Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik
dalam mata uang Indonesia atau mata uang lainnya, baik secara langsung maupun
kontinjen.
10. Piutang adalah hak untuk menerima pembayaran.
11. Pengamanan Eksekusi adalah tindakan kepolisian dalam rangka ember pengamanan
dan perlindungan terhadap pelaksana eksekusi, pemohon eksekusi, termohon eksekusi
(tereksekusi) pada saat eksekusi dilaksanakan.
12. Pemohon Eksekusi adalah penerima jaminan fidusia yang berhak untuk memperoleh
kembali jaminan fidusia pada saat pemberi jaminan fidusia cidera janji.
13. Termohon Eksekusi adalah pemberi jaminan fidusia yang tidak dapat memenuhi
kewajibannya sebagaimana tertuang dalam akta jaminan fidusia.

Pasal 2

Tujuan peraturan ini meliputi:
a. terselenggaranya pelaksanaan eksekusi jaminan Fidusia secara aman, tertib, lancar, dan
dapat dipertanggungjawabkan; dan
b. terlindunginya keselamatan dan keamanan Penerima Jaminan Fidusia, Pemberi Jaminan
Fidusia, dan/atau masyarakat dari perbuatan yang dapat menimbulkan kerugian harta
benda dan/atau keselamatan jiwa.

Pasal 3
Prinsip-prinsip peraturan ini meliputi:
a. legalitas, yaitu pelaksanaan pengamanan eksekusi jaminan fidusia harus sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. nesesitas, yaitu pengamanan eksekusi jaminan fidusia diberikan berdasarkan penilaian
situasi dan kondisi yang dihadapi;
c. proporsionalitas, yaitu pengamanan eksekusi jaminan fidusia dilaksanakan dengan
memperhitungkan hakikat ancaman yang dihadapi dan pelibatan kekuatan; dan
d. akuntabilitas, yaitu pelaksanaan pengamanan eksekusi jaminan fidusia dapat
dipertanggungjawabkan.
BAB II
OBJEK DAN PERSYARATAN PENGAMANAN
Bagian Kesatu
Objek Pengamanan
Pasal 4
Objek pengamanan jaminan fidusia, meliputi hak jaminan atas:
a. benda bergerak yang berwujud;
b. benda bergerak yang tidak berwujud; dan
c. benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan.
Pasal 5
(1) Objek pengamanan jaminan fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dilaksanakan
terhadap benda jaminan yang telah didaftarkan di kantor pendaftaran fidusia.
(2) Kantor pendaftaran fidusia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada pada lingkup
tugas Kementerian Hukum dan HAM.
Bagian Kedua
Persyaratan Pengamanan
Pasal 6
Pengamanan terhadap objek jaminan fidusia dapat dilaksanakan dengan persyaratan:
a. ada permintaan dari pemohon;
b. memiliki akta jaminan fidusia;
c. jaminan fidusia terdaftar pada kantor pendaftaran fidusia;
d. memiliki sertifikat jaminan fidusia; dan
e. jaminan fidusia berada di wilayah negara Indonesia.

BAB III
PERMOHONAN PENGAMANAN EKSEKUSI
Pasal 7
(1) Permohonan pengamanan eksekusi diajukan secara tertulis oleh penerima jaminan
fidusia atau kuasa hukumnya kepada Kapolda atau Kapolres tempat eksekusi
dilaksanakan.
(2) Dalam hal permohonan pengamanan eksekusi diajukan oleh kuasa hukum penerima
jaminan fidusia, pemohon wajib melampirkan surat kuasa dari penerima jaminan fidusia.
Pasal 8
(1) Permohonan pengamanan eksekusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 diajukan
dengan melampirkan:
a. salinan akta jaminan fidusia;
b. salinan sertifikat jaminan fidusia;
c. surat peringatan kepada Debitor untuk memenuhi kewajibannya;
d. identitas pelaksana eksekusi; dan
e. surat tugas pelaksanaan eksekusi.
(2) Surat peringatan kepada Debitor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c telah
diberikan sebanyak 2 (dua) kali, yang dibuktikan dengan tanda terima.

Pasal 9
(1) Dalam hal penerima jaminan menunjuk pihak ketiga untuk melaksanakan eksekusi,
permohonan pengamanan eksekusi diajukan dengan melampirkan perjanjian kerja sama
eksekusi jaminan fidusia antara penerima jaminan dengan pihak ketiga yang ditunjuk.
(2) Segala akibat yang ditimbulkan atas perbuatan pihak ketiga dalam pelaksanaan eksekusi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penerima jaminan fidusia dan pihak ketiga harus
bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 10
(1) Kapolda setelah menerima permohonan pengamanan eksekusi, permohonan diteruskan
kepada Kepala Bidang Hukum (Kabidkum) Polda untuk dilakukan penelitian
kelengkapan dan keabsahan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1).
(2) Kabidkum Polda setelah melakukan penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib memberikan saran tertulis kepada Kapolda atas terpenuhi atau tidaknya
persyaratan permohonan pengamanan eksekusi.

Pasal 11
(1) Permohonan pengamanan yang dinyatakan memenuhi syarat, Kapolda memerintahkan
Kepala Biro Operasional (Karoops) untuk mempersiapkan, merencanakan, dan
melaksanakan pengamanan eksekusi.
(2) Dalam hal persyaratan permohonan pengamanan dinyatakan kurang lengkap, Kapolda
memberitahukan secara tertulis kepada pemohon untuk melengkapi persyaratan.
(3) Dalam hal permohonan pengamanan dinyatakan tidak memenuhi syarat, Kapolda
memberitahukan secara tertulis kepada pemohon dengan disertai alasannya.

Pasal 12
(1) Kapolres setelah menerima permohonan pengamanan eksekusi, permohonan diteruskan
kepada Kepala Sub Bagian Hukum (Kasubbagkum) Polres untuk dilakukan penelitian
kelengkapan dan keabsahan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1).
(2) Kasubbagkum Polres setelah melakukan penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib memberikan saran tertulis kepada Kapolres atas terpenuhi atau tidaknya
persyaratan permohonan pengamanan eksekusi.

Pasal 13
(1) Permohonan pengamanan yang dinyatakan memenuhi syarat, Kapolres memerintahkan
Kepala Bagian Operasional (Kabagops) untuk mempersiapkan, merencanakan, dan
melaksanakan pengamanan eksekusi.
(2) Dalam hal persyaratan permohonan pengamanan dinyatakan kurang lengkap, Kapolres
memberitahukan secara tertulis kepada pemohon untuk melengkapi persyaratan.
(3) Dalam hal permohonan pengamanan dinyatakan tidak memenuhi syarat, Kapolres
memberitahukan secara tertulis kepada pemohon dengan disertai alasannya.

BAB IV
PELAKSANAAN
Pasal 14
Tahapan pelaksanaan pengamanan eksekusi meliputi:
a. tahap persiapan;
b. tahap pelaksanaan; dan
c. tahap pengawasan dan pengendalian.

Pasal 15
(1) Tahap persiapan pengamanan eksekusi meliputi:
a. penyusunan perencanaan; dan
b. rapat koordinasi.
(2) Penyusunan perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi kegiatan:
a. membuat perkiraan intelijen;
b. menyusun rencana pengamanan eksekusi, yang sekurang-kurangnya memuat:
1. waktu pelaksanaan eksekusi;
2. jumlah personel, kebutuhan anggaran, dan peralatan;
3. pola pengamanan; dan
4. cara bertindak.
(3) Rapat koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan sebelum
pengamanan eksekusi.
(4) Materi rapat koordinasi meliputi:
a. penjelasan status hukum jaminan fidusia;
b. kondisi dan hakikat ancaman di lokasi eksekusi dan sekitarnya;
c. jumlah personel Polri yang dilibatkan;
d. peralatan yang diperlukan; dan
e. penjelasan cara bertindak.

Pasal 16
Tahapan pelaksanaan pengamanan eksekusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf b,
meliputi:
a. tahap persiapan pelaksanaan; dan
b. tahap pelaksanaan.

Pasal 17
Tahap persiapan pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf a, meliputi:
a. pengecekan jumlah kekuatan riil personel dan peralatan pengamanan;
b. memberikan pengarahan kepada personel yang akan melaksanakan pengamanan
eksekusi;
c. menjelaskan cara bertindak dalam pengamanan eksekusi;
d. pembagian tugas personel pengamanan; dan
e. pergeseran pasukan.

Pasal 18
(1) Tahap pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf b, dengan cara
bertindak:
a. melakukan himbauan kepada pihak yang tidak berkepentingan agar meninggalkan
lokasi eksekusi;
b. melakukan pengamanan ketat saat terjadi dialog dan negosiasi antara pelaksana
eksekusi dengan tereksekusi;
c. melindungi pelaksana eksekusi dan/atau pemohon, tereksekusi dan masyarakat yang
ada dilokasi;
d. mengamati, mengawasi, dan menandai orang-orang yang berupaya menghambat atau
menghalangi eksekusi; dan
e. mengamankan dan mengawasi benda dan/atau barang yang akan dieksekusi.
(2) Pelaksanaan eksekusi yang berjalan aman, tertib, dan lancar, personel pengamanan
bersikap pasif.
(3) Dalam hal pelaksanaan eksekusi terjadi perlawanan dari pihak tereksekusi, personel
bersikap aktif, dengan cara bertindak:
a. mengamankan dan/atau menangkap setiap orang yang melakukan perlawanan atau
perbuatan melawan hukum;
b. melakukan penggeledahan terhadap setiap orang yang dicurigai membawa senjata
api, senjata tajam, dan benda-benda berbahaya lainnya;
c. menyita senjata api, senjata tajam, dan benda-benda berbahaya lainnya yang didapat
di lokasi eksekusi; dan
d. melokalisir dan/atau melakukan penyekatan akses jalan dari dan menuju lokasi
eksekusi.

Pasal 19
(1) Dalam hal eskalasi keamanan eksekusi meningkat yang dapat membahayakan anggota
dan tidak terkendali, pengendali lapangan segera melaporkan dan meminta bantuan
pasukan pengendali masa (Dalmas) atau Brimob Polri kepada:
a. Kapolres, apabila pengamanan dilaksanakan oleh Polres; dan
b. Kapolda, apabila pengamanan dilaksanakan oleh Polda.
(2) Kapolres atau Kapolda setelah menerima laporan segera mengirimkan bantuan pasukan
ke lokasi eksekusi.

Pasal 20
Dalam hal termohon eksekusi merasa telah membayar atau melunasi kewajibannya kepada
petugas lain yang ditunjuk oleh pemohon eksekusi, yang mengakibatkan timbulnya
perselisihan pada saat atau sedang dilaksanakan eksekusi, maka personel Polri yang
melaksanakan pengamanan melakukan tindakan sebagai berikut:
a. mengadakan pendekatan persuasif antara pemohon dan termohon melalui musyawarah;
b. menanyakan dengan sopan dan humanis kepada termohon, untuk menunjukan dokumen
pendukung atau bukti pembayaran atau pelunasan;
c. mengamankan lingkungan sekitar eksekusi untuk mencegah meningkatnya eskalasi
keamanan; dan
d. apabila termohon mempunyai bukti pembayaran atau pelunasan yang sah, personel Polri:
1. menunda atau menghentikan pelaksanaan eksekusi;
2. membawa dan menyerahkan petugas yang ditugaskan oleh pemohon kepada
penyidik Polri untuk penanganan lebih lanjut; dan
3. membawa pihak termohon dan pemohon eksekusi ke kantor kepolisian terdekat
untuk penanganan lebih lanjut.

BAB V
PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN
Pasal 21
Tahap Pengawasan dan pengendalian pengamanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
huruf c, dilaksanakan pada tahap persiapan dan pelaksanaan.

Pasal 22
(1) Kegiatan pengawasan dan pengendalian pada tahap persiapan dilaksanakan pada saat:
a. proses penyusunan perencanaan pengamanan;
b. penyiapan personel dan peralatan;
c. pelaksanaan pengamanan eksekusi; dan
d. konsolidasi.
(2) Kegiatan pengawasan dan pengendalian pada tahap pelaksanaan, dilakukan secara:
a. langsung, yaitu dilaksanakan oleh unsur pimpinan yang melekat pada pelaksanaan
pengamanan eksekusi; dan
b. tidak langsung, yaitu memonitor/memantau seluruh rangkaian kegiatan pengamanan
eksekusi melalui sarana komunikasi atau laporan.
(3) Pengawasan dan pengendalian pengamanan eksekusi dilakukan oleh unsur pimpinan
secara berjenjang sesuai tugas dan tanggung jawabnya berdasarkan struktur organisasi
pengamanan.
(4) Tujuan pengawasan dan pengendalian untuk:
a. memastikan bahwa rencana pengamanan telah disesuaikan dengan situasi, kondisi,
dan ancaman yang akan dihadapi;
b. memastikan bahwa personel dan peralatan yang diperlukan telah siap dan sesuai
kebutuhan pengamanan;
c. mencegah dan menghindari perilaku anggota yang menyimpang, di luar prosedur
dan/atau melebihi batas kewenangannya; dan
d. memastikan bahwa pengamanan telah dilaksanakan sesuai prosedur dan dapat
dipertanggungjawabkan.

Pasal 23
(1) Setelah pengamanan eksekusi selesai dilaksanakan, personel Polri melalui pengendali
lapangan atau penanggungjawab pengamanan wajib membuat laporan secara tertulis.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada:
a. Karoops dengan tembusan Kapolda, untuk tingkat Polda; dan
b. Kabagops dengan tembusan Kapolres, untuk tingkat Polres.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisikan:
a. uraian singkat mengenai kronologis atau hal-hal yang mendasari perlunya
dilaksanakan pengamanan eksekusi;
b. salinan dokumen pengajuan permohonan eksekusi dari pemohon;
c. identitas dan keterangan lengkap pemohon, termohon, objek, dan lokasi pelaksanaan
eksekusi;
d. personel dan peralatan yang digunakan, penanggungjawab pengamanan eksekusi,
dan surat perintah penugasan dari Karoops untuk tingkat Polda atau Kabagops untuk
tingkat Polres;
e. situasi dan kondisi sebelum, pada saat, dan setelah eksekusi dilaksanakan, serta
dampak yang ditimbulkan (apabila terjadi peningkatan eskalasi;
f. hasil akhir eksekusi antara pemohon dan termohon; dan
g. kesimpulan.

BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 24
Peraturan Kapolri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, Peraturan Kapolri ini diundangkan dengan penempatannya
dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 22 Juni 2011

KEPALA KEPOLISIAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,

Drs. TIMUR PRADOPO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 22 Juni 2011
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

PATRIALIS AKBAR

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 360

Pedoman Penyusunan Laporan Keuangan

Perdirjen Perbendaharaan Nomor PER-65/PB/2010 Tentang Pedoman Penyusunan Laporan Keuangan Kementerian Negara/Lembaga dapat di download melalui portal ini
PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR M.HH-01.KP.08.01. TAHUN 2011
TENTANG
JABATAN DAN KELAS JABATAN SERTA
TUNJANGAN KINERJA PEGAWAI DI LINGKUNGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:     bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 8 Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2011 tentang Tunjangan Kinerja bagi Pegawai di Lingkungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, perlu menetapkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tentang Jabatan dan Kelas Jabatan serta Tunjangan Kinerja Pegawai di Lingkungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia;

Mengingat:     1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3041), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Tahun 1974 Nomor 8 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3890);
2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1994 tentang Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3547) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Tahun 1994 Nomor 16 tentang Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5121);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 100 Tahun 2000 tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dalam Jabatan Struktural (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 197, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4018) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2002 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Tahun 2000 Nomor 100 tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dalam Jabatan Struktural (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4194);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2003 tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 15, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4263) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Tahun 2003 Nomor 9 tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 164);
6. Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara;
7. Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara serta Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara serta Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara;
8. Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2011 tentang Tunjangan Kinerja bagi Pegawai di Lingkungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia;
9. Keputusan Presiden Nomor 87 Tahun 1999 tentang Rumpun Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil;
10. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M-01.PR.07.10 Tahun 2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia;
11. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.HH-05.OT.01.01 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 676);
12. Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 15 Tahun 2011 tentang Mekanisme Persetujuan Pelaksanaan Reformasi Birokrasi dan Tunjangan Kinerja bagi Kementerian/Lembaga;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:   PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA TENTANG JABATAN DAN KELAS JABATAN SERTA TUNJANGAN KINERJA PEGAWAI DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Pegawai di lingkungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang selanjutnya disebut Pegawai adalah Pegawai Negeri Sipil dan Pegawai lain yang berdasarkan keputusan pejabat yang berwenang diangkat dalam suatu jabatan atau ditugaskan dan bekerja secara penuh pada satuan organisasi di lingkungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
2. Kelas Jabatan adalah penggolongan jabatan berdasarkan sifat, jenis, dan beban pekerjaaan serta besaran tunjangan kinerja.
3. Tunjangan Kinerja adalah tunjangan yang diberikan kepada Pegawai untuk meningkatkan kesejahteraan yang pelaksanaannya sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2011 tentang Tunjangan Kinerja bagi Pegawai di Lingkungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
4. Jabatan Struktural adalah suatu kedudukan yang menunjukkan tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak seorang Pegawai Negeri Sipil dalam rangka memimpin suatu satuan organisasi negara.
5. Jabatan Fungsional Umum adalah suatu kedudukan yang menunjukkan tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak seorang Pegawai Negeri Sipil dalam satuan organisasi yang dalam pelaksanaan tugasnya didasarkan pada keahlian dan/atau keterampilan tertentu serta bersifat mandiri, yang pengangkatan dalam jabatan tersebut dan kenaikan pangkatnya tidak disyaratkan dengan angka kredit.
6. Jabatan Fungsional Tertentu adalah suatu kedudukan yang menunjukkan tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak seorang Pegawai Negeri Sipil dalam satuan organisasi yang dalam pelaksanaan tugasnya didasarkan pada keahlian dan/atau keterampilan tertentu serta bersifat mandiri, yang pengangkatan dalam jabatan tersebut dan kenaikan pangkatnya disyaratkan dengan angka kredit.
7. Pejabat Struktural adalah Pegawai Negeri Sipil yang diangkat, dilantik, dan telah melaksanakan tugas dalam dan dari Jabatan Struktural di lingkungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
8. Pejabat Fungsional Tertentu adalah Pegawai di lingkungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang telah diangkat dan ditetapkan dalam Jabatan Fungsional Tertentu dan tidak sedang dibebaskan baik bersifat sementara atau tetap sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
9. Pejabat yang berwenang adalah pejabat yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan diberi kewenangan untuk mengangkat, memindahkan, dan/atau memberhentikan Pegawai di lingkungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
10. Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang selanjutnya di sebut Kanwil adalah instansi vertikal Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang berkedudukan di Provinsi dan berada di bawah serta bertanggung jawab kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.
11. Unit Pelaksana Teknis yang selanjutnya di singkat UPT adalah unit yang melaksanakan sebagian tugas pokok Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia di bidangnya di wilayah masing-masing.
12. Eselon adalah tingkatan jabatan struktural.

BAB II
JABATAN DAN KELAS JABATAN

Pasal 2
(1) Pegawai wajib melaksanakan tugas sesuai dengan jabatannya.
(2) Jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. Jabatan Struktural;
b. Jabatan Fungsional Umum; dan
c. Jabatan Fungsional Tertentu.
(3) Jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memiliki Kelas Jabatan.
(4) Jabatan dan Kelas Jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tercantum dalam lampiran I, lampiran II, dan lampiran III Peraturan Menteri ini.

Pasal 3
(1) Jabatan untuk masing-masing Kelas Jabatan bagi Pejabat Struktural dan Pejabat Fungsional Tertentu didasarkan pada:
a. keputusan tentang pengangkatan dan alih tugas dalam dan dari Jabatan Struktural;
b. keputusan tentang pengangkatan pertama dalam Jabatan Fungsional Tertentu; atau
c. keputusan tentang kenaikan jenjang dalam Jabatan Fungsional Tertentu;
yang ditandatangani oleh pejabat yang berwenang.
(2) Jabatan dan Kelas Jabatan bagi Pegawai dengan Jabatan Fungsional Umum didasarkan pada keputusan tentang penetapan Jabatan dan Kelas Jabatan Pegawai dalam Jabatan Fungsional Umum.
(3) Format keputusan tentang penetapan jabatan dan Kelas Jabatan Pegawai dalam Jabatan Fungsional Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam lampiran IV dan lampiran V Peraturan Menteri ini.

Pasal 4
(1) Keputusan penetapan jabatan dan Kelas Jabatan Pegawai dalam Jabatan Fungsional Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) bagi Pegawai di lingkungan kerja unit eselon I ditandatangani oleh pejabat struktural eselon I.
(2) Kewenangan untuk menandatangani keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikuasakan kepada sekretaris unit eselon I atau kepala biro kepegawaian untuk di lingkungan sekretariat jenderal.
(3) Petikan keputusan penetapan jabatan dan Kelas Jabatan Pegawai dalam Jabatan Fungsional Umum di lingkungan unit eselon I diotentikasi oleh kepala bagian kepegawaian atau kepala bagian mutasi pegawai untuk di lingkungan sekretariat jenderal.

Pasal 5
(1) Keputusan penetapan jabatan dan Kelas Jabatan Pegawai dalam Jabatan Fungsional Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) bagi Pegawai di lingkungan Kanwil dan UPT ditandatangani oleh kepala Kanwil.
(2) Kewenangan untuk menandatangani keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikuasakan kepada kepala divisi administrasi.
(3)Petikan keputusan penetapan jabatan dan Kelas Jabatan Pegawai dalam Jabatan Fungsional Umum di lingkungan Kanwil atau UPT diotentikasi oleh kepala bagian umum.

Pasal 6
(1) Setiap alih tugas Pegawai dalam Jabatan Fungsional Umum harus ditetapkan dengan keputusan penetapan jabatan dan Kelas Jabatan Pegawai dalam Jabatan Fungsional Umum.
(2) Dalam hal alih tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan antarunit eselon I, pejabat yang berwenang menetapkan keputusan penetapan jabatan dan Kelas Jabatan adalah pejabat eselon I di lingkungan kerja yang baru.
(3) Dalam hal alih tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan antar Kanwil atau antar UPT, pejabat yang berwenang menetapkan keputusan penetapan jabatan dan Kelas Jabatan adalah kepala Kanwil pada satuan kerja yang baru.

BAB III
TUNJANGAN KINERJA

Pasal 7
Pegawai selain berhak menerima penghasilan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan juga diberikan Tunjangan Kinerja setiap bulannya.

Pasal 8
(1) Tunjangan Kinerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 diberikan kepada Pegawai berdasarkan Kelas Jabatan.
(2) Tunjangan Kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam lampiran I, lampiran II, dan lampiran III Peraturan Menteri ini.

Pasal 9
Tunjangan Kinerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 diberikan terhitung mulai bulan Januari 2011.

Pasal 10
Ketentuan mengenai teknis pelaksanaan pemberian tunjangan kinerja di lingkungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 11
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 19 Juli 2011
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

PATRIALIS AKBAR
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 19 Juli 2011
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

PATRIALIS AKBAR
PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR M.HH-18.KU.01.01. TAHUN 2011
TENTANG
PELAKSANAAN PEMBERIAN TUNJANGAN KINERJA BAGI PEGAWAI
DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:     bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 8 Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2011 tentang Tunjangan Kinerja bagi Pegawai di Lingkungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Pasal 10 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.HH-01.KP.08.01. Tahun 2011 tentang Jabatan dan Kelas Jabatan serta Tunjangan Kinerja Pegawai di Lingkungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, perlu menetapkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tentang Pelaksanaan Pemberian Tunjangan Kinerja bagi Pegawai di Lingkungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia;

Mengingat:     1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3041) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Tahun 1974 Nomor 8 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3890);
2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1976 tentang Cuti Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1976 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3093);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5135);
5. Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara;
6. Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas dan Fungsi Kementerian Negara serta Susunan Organisasi, Tugas dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara serta Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara;
7. Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025;
8. Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2011 tentang Tunjangan Kinerja bagi Pegawai di Lingkungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia;
9. Keputusan Presiden Nomor 68 Tahun 1995 tentang Hari Kerja di Lingkungan Pemerintahan;
10. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.01-PR.07.10 Tahun 2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia;
11. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.HH-05.OT.01.01 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 676);
12. Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 15 Tahun 2011 tentang Mekanisme Persetujuan dan Pelaksanaan Reformasi Birokrasi dan Tunjangan Kinerja bagi Kementerian/ Lembaga;
13. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.HH-01.KP.08.01. Tahun 2011 tentang Jabatan dan Kelas Jabatan serta Tunjangan Kinerja Pegawai di Lingkungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:   PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA TENTANG PELAKSANAAN PEMBERIAN TUNJANGAN KINERJA BAGI PEGAWAI DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Pegawai di lingkungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang selanjutnya disebut Pegawai adalah Pegawai Negeri Sipil dan Pegawai lain yang berdasarkan keputusan pejabat yang berwenang diangkat dalam suatu jabatan atau ditugaskan dan bekerja secara penuh pada satuan organisasi di lingkungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
2. Tunjangan Kinerja adalah tunjangan yang diberikan kepada Pegawai untuk meningkatkan kesejahteraan yang pelaksanaannya sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2011 tentang Tunjangan Kinerja bagi Pegawai di Lingkungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
3. Sasaran Kerja Pegawai yang selanjutnya disingkat SKP adalah rencana kerja dan target yang akan dicapai oleh seorang Pegawai, yang disusun dan disepakati bersama antara Pegawai dengan pejabat sebagai atasan Pegawai yang bersangkutan.

Pasal 2
Pegawai selain berhak menerima penghasilan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan juga diberikan Tunjangan Kinerja setiap bulannya.

BAB II
KOMPONEN PENENTU BESARAN TUNJANGAN KINERJA

Pasal 3
Tunjangan Kinerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 diberikan berdasarkan 3 (tiga) komponen, yaitu:
a. target kinerja yang dihitung menurut kategori dan nilai capaian SKP;
b. kehadiran menurut hari dan jam kerja di lingkungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia serta cuti yang dilaksanakan oleh Pegawai; dan
c. ketaatan pada kode etik dan disiplin Pegawai Negeri Sipil.

Pasal 4
(1) Tunjangan Kinerja dibayarkan secara proporsional berdasarkan kategori dan nilai capaian SKP.
(2) Ketentuan mengenai kategori dan nilai capaian SKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a serta penerapannya diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 5
(1) Tunjangan Kinerja Calon Pegawai Negeri Sipil dibayarkan sebesar 80% (delapan puluh per seratus) dari jumlah Tunjangan Kinerja dari jabatan yang akan didudukinya sesuai dengan formasi yang ditetapkan pada saat perekrutan Calon Pegawai Negeri Sipil sampai dengan Calon Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil.
(2) Tunjangan Kinerja Pegawai yang dibebaskan dari jabatan karena melaksanakan tugas belajar, dibayarkan secara proporsional sebesar 80% (delapan puluh per seratus) dari jumlah Tunjangan Kinerja yang diterima dalam jabatannya. Tunjangan Kinerja Pegawai yang dibebaskan sementara dari jabatan fungsional tertentu karena tidak dapat memenuhi angka kredit untuk kenaikan pangkatnya, dibayarkan secara proporsional sebesar 80% (delapan puluh per seratus) dari Tunjangan Kinerja yang diterima dalam jabatannya.

Pasal 6
(1) Hari dan jam kerja di lingkungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia diatur sebagai berikut:
a. Hari Senin sampai dengan hari Kamis: pukul 07.30 - 16.00
Istirahat: pukul 12.00 - 13.00
b. Hari Jumat: pukul 07.30 - 16.30
Istirahat: pukul 11.30 - 13.00
(2) Pegawai yang menjalani pendidikan dan pelatihan atau tugas belajar secara penuh yang dibebaskan sementara dari jabatannya, maka hari dan jam kerja Pegawai tersebut menyesuaikan dengan hari dan jam perkuliahan tempat melaksanakan pendidikan dan pelatihan dan/atau tugas belajar.
(3) Pegawai yang menjalani pendidikan sebagai Taruna Akademi Pemasyarakatan atau Akademi Imigrasi, hari dan jam kerjanya sesuai dengan jadwal dan kurikulum yang ditetapkan oleh penyelenggara pendidikan.

Pasal 7
Pegawai melakukan pelanggaran kehadiran menurut hari dan jam kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 apabila:
a. terlambat masuk kerja;
b. pulang sebelum waktunya;
c. tidak masuk kerja; dan/atau
d. meninggalkan pekerjaan dan/atau kantor pada jam kerja.
tanpa izin atau tanpa alasan yang sah.

Pasal 8
Pegawai yang melakukan pelanggaran kehadiran menurut hari dan jam kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Tunjangan Kinerja dibayarkan setelah dikurangi persentase sebagai berikut:
a. Pegawai tidak masuk kerja/kuliah/belajar tanpa izin atau tanpa alasan yang sah sebesar 5% (lima per seratus) tiap kali tidak masuk kerja/kuliah/belajar;
b. Pegawai terlambat masuk kerja/kuliah/belajar atau pulang sebelum waktunya tanpa izin atau tanpa alasan yang sah sebesar 1,25% (satu koma dua lima per seratus) tiap kali terlambat masuk bekerja/kuliah/belajar atau pulang sebelum waktunya; atau
c. Pegawai meninggalkan pekerjaan dan/atau kantor pada jam kerja tanpa izin atau alasan yang sah sebesar 1,25% (satu koma dua lima per seratus) tiap hari meninggalkan pekerjaan dan/atau kantor pada jam kerja.

Pasal 9
(1) Pegawai tidak masuk kerja/kuliah/belajar dengan alasan yang sah, Tunjangan Kinerja dibayarkan setelah dikurangi sebesar 2,5% (dua koma lima per seratus) tiap kali tidak masuk kerja/kuliah/belajar kecuali karena ditugaskan secara kedinasan.
(2) Pegawai terlambat masuk kerja/kuliah/belajar atau pulang sebelum waktunya dengan alasan yang sah, Tunjangan Kinerja dibayarkan setelah dikurangi sebesar 0,5% (nol koma lima perseratus) tiap kali terlambat masuk kerja/kuliah/belajar atau pulang sebelum waktunya kecuali karena ditugaskan secara kedinasan.
(3) Pegawai meninggalkan pekerjaan dan atau kantor pada jam kerja dengan alasan yang sah, Tunjangan Kinerja dibayarkan setelah dikurangi sebesar 0,5% (nol koma lima perseratus) tiap hari meninggalkan pekerjaan dan atau kantor pada jam kerja kecuali karena ditugaskan secara kedinasan.

Pasal 10
Pegawai yang melaksanakan cuti tahunan, cuti besar, cuti bersalin, cuti alasan penting, dan cuti sakit, Tunjangan Kinerja dibayarkan secara proporsional dengan persentase sebagai berikut:
a. Pegawai yang mengambil cuti tahunan, Tunjangan Kinerja dibayarkan sebesar 100% (seratus per seratus);
b. Pegawai yang mengambil cuti besar, Tunjangan Kinerja dibayarkan sebagai berikut:
1. bulan pertama sebesar 50% (lima puluh per seratus);
2. bulan kedua sebesar 25% (dua puluh lima per seratus); dan
3. bulan ketiga sebesar 10% (sepuluh per seratus).
4. Pegawai yang mengambil cuti bersalin, Tunjangan Kinerja dibayarkan sebagai berikut: bulan pertama sebesar 50% (lima puluh per seratus);
5. bulan kedua sebesar 25% (dua puluh lima per seratus); dan
6. bulan ketiga sebesar 10% (sepuluh per seratus).
c. Pegawai yang mengambil cuti alasan penting, Tunjangan Kinerja dibayarkan sebagai berikut:
1. bulan pertama sebesar 50% (lima puluh per seratus); dan
2. bulan kedua sebesar 25% (dua puluh lima per seratus).
d. Pegawai yang mengambil cuti sakit, Tunjangan Kinerja dibayarkan sebagai berikut:
1. sakit selama 1 (satu) hari sampai dengan 2 (dua) hari sebesar 100% (seratus per seratus);
2. sakit selama 3 (tiga) hari sampai dengan 14 (empat belas) hari sebesar 75% (tujuh puluh lima per seratus);
3. sakit selama 15 (lima belas) hari sampai dengan 30 (tiga puluh) hari sebesar 50% (lima puluh per seratus);
4. sakit selama 1 (satu) bulan sampai dengan 2 (dua) bulan sebesar 25% (dua puluh lima per seratus);
5. sakit lebih dari 2 (dua) bulan sampai dengan 6 (enam) bulan sebesar 10% (sepuluh per seratus); atau
6. sakit lebih dari 6 (enam) bulan sampai dengan 18 (delapan belas) bulan sebesar 5% (lima per seratus).

Pasal 11
Pegawai yang melakukan pelanggaran terhadap kode etik Pegawai atau kode etik profesi, Tunjangan Kinerja dibayarkan dengan persentase sebagai berikut:
a. sebesar 75% (tujuh puluh lima per seratus) selama 1 (satu) bulan untuk Pegawai yang mendapatkan sanksi karena melanggar kode etik Pegawai sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan berupa pernyataan secara tertutup;
b. sebesar 50% (lima puluh per seratus) selama 1 (satu) bulan untuk Pegawai yang mendapatkan sanksi karena melanggar kode etik Pegawai sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan berupa pernyataan secara terbuka; atau
c. sebesar 50% (lima puluh per seratus) selama 1 (satu) bulan untuk Pegawai yang mendapatkan sanksi karena melanggar kode etik profesi.

Pasal 12
(1) Pegawai yang melakukan pelanggaran disiplin sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang disiplin Pegawai Negeri Sipil, dikenakan hukuman disiplin.
(2) Hukuman disiplin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. hukuman disiplin ringan;
b. hukuman disiplin sedang; atau
c. hukuman disiplin berat.
(3) Sebelum dikenakan hukuman disiplin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pegawai diberikan peringatan.

Pasal 13
(1) Pegawai yang diberikan peringatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3), Tunjangan Kinerja dibayarkan dengan persentase sebagai berikut:
a. sebesar 90% (sembilan puluh per seratus) selama 1 (satu) bulan untuk Pegawai yang mendapatkan sanksi pembinaan disiplin kepegawaian berupa surat peringatan dengan jenis peringatan I (kesatu);
b. sebesar 80% (delapan puluh per seratus) selama 1 (satu) bulan untuk Pegawai yang mendapatkan sanksi pembinaan disiplin kepegawaian berupa surat peringatan dengan jenis peringatan II (kedua); atau
c. sebesar 70% (tujuh puluh per seratus) selama 1 (satu) bulan untuk Pegawai yang mendapatkan sanksi pembinaan disiplin kepegawaian berupa surat peringatan dengan jenis peringatan III (ketiga);
(2) Pegawai yang dikenakan hukuman disiplin ringan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) huruf a, Tunjangan Kinerja dibayarkan dengan persentase sebagai berikut:
a. sebesar 75% (tujuh puluh lima per seratus) selama 2 (dua) bulan untuk Pegawai yang dijatuhi hukuman disiplin berupa teguran lisan;
b. sebesar 65% (enam puluh lima per seratus) selama 3 (tiga) bulan untuk Pegawai yang dijatuhi hukuman disiplin berupa teguran tertulis; atau
c. sebesar 55% (lima puluh lima per seratus) selama 6 (enam) bulan untuk Pegawai yang dijatuhi hukuman disiplin berupa pernyataan tidak puas secara tertulis.
(3) Pegawai yang dikenakan hukuman disiplin sedang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) huruf b, Tunjangan Kinerja dibayarkan dengan persentase sebagai berikut:
a. sebesar 50% (lima puluh per seratus) selama 12 (dua belas) bulan untuk Pegawai yang dijatuhi hukuman disiplin berupa penundaan kenaikan gaji berkala selama 1 (satu) tahun;
b. sebesar 40% (empat puluh per seratus) selama 12 (dua belas) bulan untuk Pegawai yang dijatuhi hukuman disiplin berupa penundaan kenaikan pangkat selama 1 (satu) tahun; atau
c. sebesar 30% (tiga puluh per seratus) selama 12 (dua belas) bulan untuk Pegawai yang dijatuhi hukuman disiplin berupa penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 1 (satu) tahun.
(4) Pegawai yang dikenakan hukuman disiplin berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) huruf c, Tunjangan Kinerja dibayarkan dengan persentase sebagai berikut:
a. sebesar 15% (lima belas per seratus) selama 12 (dua belas) bulan untuk Pegawai yang dijatuhi hukuman disiplin berupa penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 3 (tiga) tahun;
b. sebesar 10% (sepuluh per seratus) selama 12 (dua belas) bulan untuk Pegawai yang dijatuhi hukuman disiplin berupa pemindahan dalam rangka penurunan jabatan setingkat lebih rendah; atau
c. sebesar 5% (lima per seratus) selama 12 (dua belas) bulan untuk Pegawai yang dijatuhi hukuman disiplin berupa pembebasan dari jabatannya.

Pasal 14
(1) Pegawai tidak menerima Tunjangan Kinerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 jika:
a. secara nyata tidak mempunyai tugas/jabatan/pekerjaan tertentu pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia;
b. diberhentikan untuk sementara atau dinonaktifkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. diberhentikan dengan hormat atau dengan tidak hormat;
d. diperbantukan atau dipekerjakan pada badan/instansi lain di luar lingkungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia;
e. menjalani cuti di luar tanggungan negara atau dalam bebas tugas untuk menjalani masa persiapan pensiun; atau
f. tidak mencapai target kinerja yang ditetapkan oleh pimpinan instansi.
(1) Pegawai yang tidak mencapai target kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.

BAB III
PENCATATAN DAN PEMBAYARAN

Pasal 15
(1) Pencatatan nilai capaian SKP dilakukan setiap 6 (enam) bulan dengan periode pencatatan antara bulan Januari sampai dengan bulan Juni dan antara bulan Juli sampai dengan bulan Desember.
(2) Pencatatan kehadiran, ketaatan pada kode etik dan disiplin Pegawai Negeri Sipil, serta pelaksanaan cuti Pegawai dilakukan setiap bulan dengan periode pencatatan kehadiran yang terjadi antara tanggal 23 (dua puluh tiga) bulan pertama sampai dengan tanggal 22 (dua puluh dua) bulan berikutnya.
(3) Pencatatan nilai capaian SKP, kehadiran, ketaatan pada kode etik dan disiplin Pegawai Negeri Sipil serta pelaksanaan cuti Pegawai dilakukan sesuai dengan formulir sebagaimana tercantum dalam lampiran Peraturan Menteri ini.
(4) Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan oleh pejabat atau tim yang ditunjuk oleh masing-masing pimpinan unit kerja di setiap unit eselon I atau eselon II di lingkungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
(5) Pejabat atau tim yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling rendah pejabat struktural eselon V atau dipimpin paling rendah pejabat struktural eselon V.

Pasal 16
(1) Pejabat atau tim yang ditunjuk membuat laporan rincian pembayaran Tunjangan Kinerja Pegawai bulanan berdasarkan pencatatan capaian SKP, kehadiran, ketaatan pada kode etik dan disiplin Pegawai Negeri Sipil serta pelaksanaan cuti Pegawai.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada unit kerja yang menangani pembayaran Tunjangan Kinerja paling lambat tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam lampiran Peraturan Menteri ini.

BAB IV
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 17
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 19 Juli 2011
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

PATRIALIS AKBAR
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 19 Juli 2011
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

PATRIALIS AKBAR

SALINAN

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI
NOMOR 24 TAHUN 2011

TENTANG

PENYELENGGARAAN TUGAS DAN WEWENANG GUBERNUR
SEBAGAI WAKIL PEMERINTAH DI WILAYAH PROVINSI
 
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI DALAM NEGERI,

Menimbang
:
a.    
bahwa berdasarkan Pasal 38 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengamanatkan pendanaan tugas dan wewenang Gubernur sebagai wakil pemerintah di wilayah provinsi dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;


b.    
bahwa  berdasarkan penjelasan Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan mengamatkan Gubernur sebagai wakil Pemerintah di wilayah provinsi didalam melaksanakan  kewenangan atributif, pendanaannya dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara pada bagian anggaran Kementerian Dalam Negeri yang dilaksanakan melalui mekanisme dekonsentrasi;


c.     
bahwa dalam rangka melaksanakan tugas dan wewenang gubernur sebagai wakil pemerintah di wilayah provinsi sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 19  ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang serta Kedudukan Keuangan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah di Wilayah Provinsi sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 23  Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2010, pendanaan tugas dan wewenang gubernur sebagai wakil Pemerintah dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara melalui mekanisme dana dekonsentrasi yang dituangkan dalam rencana kerja dan anggaran Kementerian Dalam Negeri;


d.    
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf  a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Menteri Dalam Negeri  tentang Penyelenggaraan Tugas Dan Wewenang Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Di Wilayah Provinsi;
Mengingat
:
1.    
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);



2.    
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 4916);


3.    
Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 2008 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 4407);


4.    
Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2004 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 2004 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 4406);


5.    
Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 2005 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 4593);


6.    
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 2006 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor  4609) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38  Tahun  2008  Perubahan  Atas  Peraturan  Pemerintah  Nomor  6  Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah  (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 2008 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor  4855);


7.    
Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan  Keuangan dan  Kinerja Instansi Pemerintah (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 2006 Nomor 25, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 4614);


8.    
Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan  (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 2006 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 4663);


9.    
Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 2008 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 4816);


10.              
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang serta Kedudukan Keuangan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah di Wilayah Provinsi (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 2010 Nomor 25, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 5107) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 23  Tahun  2011  tentang Perubahan  Atas  Peraturan  Pemerintah  Nomor  19 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang serta Kedudukan Keuangan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah di Wilayah Provinsi (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 2011 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 5209);


11.              
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah;
















MEMUTUSKAN:
Menetapkan
:
PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI TENTANG PENYELENGGARAAN TUGAS DAN WEWENANG GUBERNUR SEBAGAI WAKIL PEMERINTAH DI WILAYAH PROVINSI.





BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1.        Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari Pemerintah kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah dan/atau kepada Instansi Vertikal di wilayah tertentu.
2.        Dana Dekonsentrasi adalah dana yang berasal dari APBN yang dilaksanakan oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan tugas dan wewenang gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di wilayah provinsi.
3.        Satuan Kerja Perangkat Daerah, yang selanjutnya disingkat SKPD, adalah organisasi/lembaga pada pemerintah provinsi yang terdiri dari Sekretariat Daerah Provinsi, Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan program dan kegiatan penyelenggaraan dekonsentrasi tugas dan wewenang gubernur sebagai wakil pemerintah di wilayah provinsi.
4.        Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, yang selanjutnya disingkat APBN, adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan Negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang menjadi sumber pendanaan pelaksanaan tugas dan wewenang gubernur sebagai wakil pemerintah di wilayah provinsi.
5.        Rencana Kerja Kementerian/Lembaga, yang selanjutnya disingkat Renja-KL, adalah dokumen perencanaan Kementerian Dalam Negeri untuk periode 1 (satu) tahun.
6.        Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga, yang selanjutnya disebut RKA-KL, adalah dokumen perencanaan dan penganggaran yang berisi program dan kegiatan suatu kementerian/lembaga yang merupakan penjabaran dari Rencana Kerja Pemerintah dan Rencana Strategis Kementerian Dalam Negeri dalam 1 (satu) tahun anggaran, serta anggaran yang diperlukan untuk melaksanakannya.
7.        Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran, yang selanjutnya disingkat DIPA atau dokumen lain yang dipersamakan dengan DIPA, adalah suatu dokumen pelaksanaan anggaran yang dibuat oleh Menteri Dalam Negeri serta disahkan oleh Menteri Keuangan dan berfungsi sebagai dokumen pelaksanaan pendanaan kegiatan serta dokumen pendukung kegiatan akuntansi Pemerintah.
8.        Program adalah instrumen kebijakan yang berisi satu atau lebih kegiatan yang dilaksanakan instansi pemerintah/lembaga untuk mencapai sasaran dan tujuan serta memperoleh alokasi anggaran, atau kegiatan masyarakat yang dikoordinasikan oleh instansi pemerintah.
9.        Kegiatan adalah bagian dari program yang dilaksanakan oleh satu atau beberapa satuan kerja sebagai bagian dari pencapaian sasaran terukur pada suatu program dan terdiri dari sekumpulan tindakan pengerahan sumber daya baik yang bersifat personil (sumber daya manusia), barang modal termasuk peralatan dan teknologi, dana, atau kombinasi dari beberapa atau kesemua jenis sumber daya tersebut sebagai masukan untuk menghasilkan keluaran dalam bentuk barang/jasa.
10.    Standar Biaya yang bersifat umum yang selanjutnya disebut standar Biaya Umum, adalah satuan biaya berupa harga satuan, tarif, dan indeks yang digunakan untuk menyusun biaya komponen masukan kegiatan, yang ditetapkan sebagai biaya masukan.
11.    Aksesibilitas adalah tingkat kemudahan yang dipengaruhi  jarak, jenis dan ketersediaan alat transportasi serta kondisi geografis untuk mencapai ibukota kabupaten/kota dalam melakukan monitoring dan evaluasi oleh perangkat provinsi.

                                                                            
BAB  II
PENYELENGGARAAN TUGAS GUBERNUR                                                 SEBAGAI WAKIL PEMERINTAH

Pasal 2

(1)     Gubernur sebagai wakil Pemerintah memiliki tugas melaksanakan urusan pemerintahan meliputi:
a.            koordinasi penyelenggaraan pemerintahan antara pemerintah daerah provinsi dengan instansi vertikal, dan antar instansi vertikal di wilayah provinsi yang bersangkutan;
b.            koordinasi penyelenggaraan pemerintahan antara pemerintah daerah provinsi dengan pemerintah daerah kabupaten/kota di wilayah provinsi yang bersangkutan;
c.             koordinasi penyelenggaraan pemerintahan antar pemerintahan daerah kabupaten/kota di wilayah provinsi yang bersangkutan;
d.           koordinasi dalam penyusunan, pelaksanaan, dan pengendalian serta evaluasi RPJPD, RPJMD, dan RKPD kabupaten dan kota agar mengacu pada RPJPD, RPJMD, dan RKPD provinsi serta RPJPN, RPJMN, dan RKP serta kebijakan pembangunan nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah;
e.            koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas pembantuan di daerah provinsi dan kabupaten/kota;
f.              pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan  daerah kabupaten/kota;
g.            menjaga kehidupan berbangsa dan bernegara serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
h.            menjaga dan mengamalkan ideologi Pancasila dan kehidupan demokrasi;
i.              memelihara stabilitas politik; dan
j.              menjaga etika dan norma penyelenggaraan pemerintahan di daerah.

(2)    Selain melaksanakan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), gubernur sebagai wakil Pemerintah juga melaksanakan urusan pemerintahan di wilayah provinsi yang menjadi kewenangan Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


BAB  III
PENDANAAN PENYELENGGARAAN TUGAS DAN WEWENANG GUBERNUR SEBAGAI WAKIL PEMERINTAH

Pasal 3

(1)     Pendanaan penyelenggaraan tugas dan wewenang gubernur sebagai wakil pemerintah di wilayah provinsi dibebankan pada APBN.
(2)     Pendanaan penyelenggaraan tugas dan wewenang gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melalui mekanisme  dekonsentrasi Kementerian Dalam Negeri.
(3)     Dekonsentrasi Kementerian Dalam Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan bagian dari program penguatan penyelenggaraan pemerintahan umum dan kegiatan penyelenggaraan hubungan pusat dan daerah serta kerjasama daerah.

Pasal 4

(1)     Pendanaan penyelenggaraan tugas dan wewenang Gubernur sebagai wakil Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dijabarkan dalam bentuk program dan  kegiatan.
(2)     Program dan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan untuk :
a.          meningkatkan sinergi pusat dan daerah dalam perencanaan, penganggaran, dan pembangunan di daerah;
b.          mengefektifkan pelaksanaan koordinasi, pembinaan, dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota serta koordinasi penyelenggaraan pemerintahan antara pemerintahan provinsi dengan instansi vertikal dan antar instansi vertikal di wilayah provinsi yang bersangkutan;
c.           memperkuat akuntabilitas pelaksanaan dana APBN di daerah
d.          mengkoordinasikan penyelengaraan pemerintahan umum; dan
e.           memperkuat kerukunan umat beragama dan kesatuan bangsa.

Pasal 5

Program dan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dijabarkan dalam sub kegiatan, yang meliputi:
a.   fasilitasi forum koordinasi pimpinan daerah dalam mewujudkan ketentraman dan ketertiban masyarakat;
b.   koordinasi penyelenggaraan pemerintahan umum di wilayah provinsi;

c.    fasilitasi kesekretariatan dekonsentrasi pendanaan pelaksanaan tugas dan wewenang gubernur sebagai wakil pemerintah di wilayah provinsi;
d.   pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan urusan pemerintah di wilayah provinsi;
e.    penatausahaan dan pengendalian penyelenggaraan urusan pemerintah di wilayah provinsi;
f.     koordinasi pengendalian administrasi keuangan dan aset pemerintah di wilayah provinsi;
g.    koordinasi dalam rangka integrasi dan sinkronisasi perencanaan penyelenggaraan urusan pemerintah di wilayah provinsi; dan
h.   koordinasi pelaporan kinerja penyelenggaraan urusan pemerintah di wilayah provinsi.

Pasal 6

(1)    Penentuan besaran alokasi anggaran pendanaan penyelenggaraan tugas dan wewenang gubernur sebagai wakil pemerintah di wilayah provinsi berdasarkan:
a.  Jumlah Kabupaten/Kota;
b.  Standar Biaya Umum; dan
c.   Aksesbilitas.
(2)    Besaran alokasi anggaran dekonsentrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk masing-masing provinsi tercantum dalam Lampiran  Peraturan Menteri ini.

Pasal 7

(1)    Program, kegiatan, sub kegiatan dan anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 dituangkan dalam RKA-KL dan DIPA.
(2)    Tata cara penyusunan RKA-KL dan DIPA serta penetapan/pengesahannya berpedoman pada peraturan perundang-undangan.

BAB IV
KOORDINASI PROGRAM DAN KEGIATAN

Pasal 8

(1)     Menteri Dalam Negeri melalui Sekretariat Jenderal mengoordinasikan perumusan kebijakan dan penatausahaan penyelenggaraan tugas dan wewenang Gubernur sebagai wakil pemerintah di wilayah provinsi.
(2)     Direktorat Jenderal Pemerintahan Umum selaku unit Eselon I Pembina, mengoordinasikan kebijakan teknis dan penatausahaan penyelenggaraan program dan kegiatan dekonsentrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan para SKPD pelaksana penyelenggaraan tugas dan wewenang Gubernur sebagai wakil pemerintah di wilayah provinsi.  




Pasal 9

(1)     Dalam penyelenggaraan program, kegiatan dan anggaran penyelenggaraan dekonsentrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Gubernur harus:
a.       melakukan sinkronisasi dengan penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah;
b.       menetapkan SKPD dan menyiapkan perangkat daerah untuk   melaksanakan program dan kegiatan; dan
c.        melaksanakan program, kegiatan, dan anggaran secara efektif dan efisien sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang telah ditentukan oleh pemerintah.
(2)     Gubernur memberitahukan program, kegiatan dan anggaran penyelenggaraan tugas dan wewenang gubernur sebagai wakil pemerintah di wilayah provinsi kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 10

(1)     Gubernur melakukan koordinasi dengan Direktorat Jenderal Pemerintahan Umum selaku unit Eselon I Pembina berkaitan dengan pelaksanaan dekonsentrasi.
(2)     Gubernur melalui kepala SKPD dan/atau Kuasa Pengguna Anggaran pelaksana program dan kegiatan penyelenggaraan tugas dan wewenang Gubernur sebagai wakil pemerintah di wilayah Provinsi melakukan koordinasi dengan pimpinan instansi vertikal di bidang keuangan dan barang di wilayah provinsi berkaitan dengan pelaksanaan, penyaluran dan pertanggungjawaban keuangan dan barang.


BAB V
PENYELENGGARAAN KEGIATAN

Pasal 11

(1)        Penyelenggaraan tugas dan wewenang gubernur sebagai wakil pemerintah di wilayah provinsi dilaksanakan oleh SKPD berdasarkan penetapan dari gubernur.
(2)        Penetapan SKPD penyelenggara kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 12

Penyelenggaraan tugas dan wewenang gubernur sebagai wakil pemerintah di wilayah provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dilaksanakan secara tertib, efisien, ekonomis, efektif, transparan dan bertanggungjawab sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 13

Dalam penyelenggaraan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dibentuk pejabat perbendaharaan atau pejabat pengelola keuangan yang meliputi:
a.      Kuasa Pengguna Anggaran;
b.      Pejabat Pembuat Komitmen;
c.       Pejabat Penguji/Penandatangan Surat Perintah Membayar; dan
d.      Bendahara Pengeluaran.

Pasal 14

(1)     Kuasa Pengguna Anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf a selaku Pejabat perbendaharaan kegiatan dekonsentrasi ditetapkan dengan Keputusan Gubernur.
(2)     Kuasa Pengguna Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)  Kepala Biro yang membidangi pemerintahan umum pada Sekretariat Daerah Provinsi.

Pasal 15

Kuasa Pengguna Anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) menunjuk dan menetapkan Pejabat Pembuat Komitmen, Pejabat Penguji/Penandatangan SPM, dan Bendahara Pengeluaran.

Pasal 16

Pejabat Pembuat Komitmen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf b, terdiri atas 4  (empat) pejabat eselon III yang berasal dari lingkungan:
a.      Biro yang membidangi administrasi pemerintahan umum;
b.      Biro yang membidangi administrasi pembangunan;
c.       Biro yang membidangi administrasi keuangan atau Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah; dan
d.      Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah.

Pasal 17

(1)     Biro yang membidangi administrasi pemerintahan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf a bertanggung jawab terhadap sub kegiatan :
a.       fasilitasi koordinasi pimpinan daerah dalam mewujudkan ketentraman dan ketertiban masyarakat;
b.       koordinasi penyelenggaraan pemerintahan umum di wilayah provinsi;
c.        fasilitasi sekretariat pendanaan pelaksanaan tugas dan wewenang gubernur sebagai wakil pemerintah di wilayah provinsi; dan
d.       pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan urusan pemerintah di wilayah provinsi.
(2)     Biro yang membidangi administrasi pembangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf b, bertanggung jawab terhadap sub kegiatan penatausahaan dan pengendalian penyelenggaraan urusan pemerintah di wilayah provinsi.
(3)     Biro yang membidangi keuangan atau Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf c, bertanggung jawab terhadap sub kegiatan koordinasi pengendalian administrasi keuangan dan aset pemerintah di wilayah provinsi.

(4)     Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf d,  bertanggung jawab terhadap sub kegiatan:
a.       koordinasi dalam rangka integrasi dan sinkronisasi perencanaan penyelenggaraan urusan pemerintah di wilayah provinsi; dan
b.       koordinasi pelaporan manajerial penyelenggaraan urusan pemerintah di wilayah provinsi.

Pasal 18

Dalam mengoordinasikan pelaksanan tugas Pejabat Pembuat Komitmen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dibentuk sekretariat pendanaan pelaksanaan tugas dan wewenang gubernur sebagai wakil pemerintah di wilayah provinsi.

Pasal 19

Pejabat Penguji/Penandatangan Surat Perintah Membayar dan Bendahara Pengeluaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf c dan huruf d merupakan pegawai negeri sipil dalam lingkup Sekretariat Daerah Provinsi yang memenuhi persyaratan.

Pasal 20

(1)     Kepala Biro yang membidangi administrasi pemerintahan umum selaku Kuasa Pengguna Anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) menunjuk dan menetapkan Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan dan pembantu bendahara.
(2)     Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Pejabat dengan eselonering satu tingkat dibawah dari masing-masing Pejabat Pembuat Komitmen.
(3)     Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab dan melaporkan hasil pelaksanaan kegiatan kepada Pejabat Pembuat Komitmen.
(4)     Pembantu bendahara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari unit masing-masing Pejabat Pembuat Komitmen.

Pasal 21

(1)     Kuasa Pengguna Anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) bertanggungjawab terhadap pelaksanaan fisik dan keuangan kegiatan.
(2)     Kuasa Pengguna Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab menyelenggarakan kegiatan sesuai dengan RKA-KL yang  telah ditetapkan dalam DIPA.

Pasal 22

(1)     DIPA penyelenggaraan tugas dan wewenang Gubernur sebagai wakil pemerintah di wilayah Provinsi dapat dilakukan revisi anggaran.


(2)     Revisi anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa perubahan rincian anggaran yang meliputi:
a.       penambahan atau pengurangan rincian anggaran belanja dalam hal pagu anggaran berubah; dan/atau
b.       perubahan atau pergeseran rincian anggaran belanja dalam hal pagu anggaran tetap.
(3)     Tata cara pelaksanaan revisi anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 23

(1)     Penyaluran dana penyelenggaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) didasarkan pada dokumen pelaksanaan anggaran dalam DIPA Dekonsentrasi Kementerian Dalam Negeri.
(2)     Penyaluran dana dekonsentrasi dilakukan oleh Bendahara Umum Negara atau kuasanya melalui Rekening Kas Umum Negara.
(3)     Tata cara penyaluran dana dekonsentrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 24

Uraian pelaksanaan program dan kegiatan penyelenggaraan tugas dan wewenang gubernur sebagai wakil pemerintah di wilayah provinsi ditetapkan lebih lanjut dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelenggaraan Tugas dan Wewenang Gubernur sebagai Wakil Pemerintah di Wilayah Provinsi Tahun Anggaran 2011.


BAB VI
BARANG HASIL PENYELENGGARAAN DEKONSENTRASI

Pasal 25

(1)     Dalam rangka mendukung pelaksanaan kegiatan penyelenggaraan tugas dan wewenang gubernur sebagai wakil pemerintah, dialokasikan dana penunjang untuk pelaksanaan tugas administratif dan/atau pengadaan input berupa pengadaan barang.
(2)     Pengadaan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan akun Belanja Barang penunjang kegiatan dekonsentrasi dengan kode akun 521311.
(3)     Kepala Biro Administrasi Pemerintahan Umum selaku Kuasa Pengguna Anggaran dekonsentrasi melakukan penatausahaan barang penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.







BAB VII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Pasal 26

(1)     Menteri Dalam Negeri melakukan pembinaan dan pengawasan pengelolaan penyelenggaraan tugas dan wewenang gubernur sebagai wakil pemerintah di wilayah Provinsi.
(2)     Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.      pemberian pedoman;
b.      fasilitasi;
c.       pelatihan;
d.      bimbingan teknis; dan
e.      pemantauan dan evaluasi.
(3)     Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan tugas dan wewenang gubernur sebagai wakil pemerintah di wilayah Provinsi.
(4)     Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh aparat pengawas sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 27

Dalam melaksanakan pembinaan penyelenggaraan tugas dan wewenang gubernur sebagai wakil pemerintah di wilayah Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, Menteri Dalam Negeri membentuk sekretariat penguatan peran Gubernur sebagai wakil pemerintah di wilayah provinsi.


BAB VIII
PERTANGGUNGJAWABAN DAN PELAPORAN

Pasal 28

(1)   Kepala Biro yang membidangi administrasi pemerintahan umum selaku Kuasa Pengguna Anggaran dekonsentrasi wajib menyusun:
a.      laporan manajerial;
b.      laporan akuntabilitas; dan
c.       laporan teknis pelaksanaan kegiatan tugas dan wewenang gubernur sebagai wakil pemerintah di wilayah provinsi.
(2)   Dalam penyusunan dan penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kuasa Pengguna Anggaran dibantu oleh sekretariat dekonsentrasi pendanaan pelaksanaan tugas dan wewenang gubernur sebagai wakil pemerintah di wilayah provinsi.

Pasal 29

(1)     Laporan manajerial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a memuat:
a.      perkembangan realisasi penyerapan dana;
b.      pencapaian target keluaran;
c.       kendala yang dihadapi; dan
d.      saran tindak lanjut.
(2)     Laporan akuntabilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf b, memuat laporan keuangan dan laporan barang yang terdiri atas:
a.      neraca;
b.      realisasi anggaran; dan
c.       catatan atas laporan keuangan
(3)     Laporan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf c, memuat laporan hasil aktivitas kegiatan penyelenggaraan tugas dan wewenang Gubernur sebagai wakil pemerintah di wilayah provinsi yang merupakan tindak lanjut atas berbagai amanat peraturan perundang-undangan, yang terdiri atas:
a.      Rekapitulasi laporan akuntabilitas keuangan;
b.      Rekapitulasi laporan akuntabilitas aset pemerintah;
c.       Rekapitulasi laporan manajerial ;
d.      Laporan pelaksanaan rapat; dan
e.      Laporan pelaksanaan monitoring dan evaluasi.
(4)     Penyusunan dan penyampaian laporan manajerial dan Laporan akuntabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
                                                                       
Pasal 30

(1)    Gubernur menyampaikan laporan program kegiatan penyelenggaraan tugas dan wewenang gubernur sebagai wakil pemerintah di wilayah provinsi kepada DPRD provinsi.
(2)    Laporan program kegiatan penyelenggaraan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian laporan tahunan gubernur atas penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas pembantuan.
(3)    Laporan tahunan gubernur atas penyelenggaraan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bukan merupakan satu kesatuan dalam laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD.
(4)    Laporan tahunan gubernur atas penyelenggaraan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat disampaikan kepada  Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi secara bersama­-sama atau terpisah dengan laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD.

Pasal 31

(1)    Gubernur menyampaikan laporan manajerial, laporan akuntabilitas, dan laporan teknis penyelenggaraan tugas dan wewenang gubernur sebagai wakil pemerintah di wilayah provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 kepada Menteri Dalam Negeri.
(2)    Gubernur menyampaikan laporan manajerial dan laporan akuntabilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) kepada Menteri Keuangan dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan  Pembangunan Nasional sesuai peraturan perundang-undangan.



BAB IX
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 32

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Agar setiap orang mengetahui, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.



Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 27 Mei 2011
MENTERI DALAM NEGERI,

                 ttd

GAMAWAN FAUZI