Cari Blog Ini

Kamis, 24 Mei 2012

PENGHAPUSAN PIUTANG PAJAK

SALINAN
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 68/PMK. 03/2012

TENTANG

TATA CARA PENGHAPUSAN PIUTANG PAJAK DAN PENETAPAN
BESARNYA PENGHAPUSAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang
:
bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 24 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Pajak dan Penetapan Besarnya Penghapusan;
Mengingat
:
1.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);


2.
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3686) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 129, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3987);


3.
Keputusan Presiden Nomor 56/P Tahun 2010;


MEMUTUSKAN:
Menetapkan
:
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PENGHAPUSAN PIUTANG PAJAK DAN PENETAPAN BESARNYA PENGHAPUSAN.


Pasal 1


(1)
Piutang pajak yang dapat dihapuskan adalah piutang pajak yang tercantum dalam:



a.
Surat Tagihan Pajak (STP);



b.
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB);



c.
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT);



d.
Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT);



e.
Surat Ketetapan Pajak (SKP);



f.
Surat Ketetapan Pajak Tambahan (SKPT);



g.
Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah.


(2)
Piutang pajak yang dapat dihapuskan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk Wajib Pajak orang pribadi adalah piutang pajak yang tidak dapat ditagih lagi karena:



a.
Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak meninggal dunia dan tidak mempunyai harta warisan atau kekayaan;



b.
Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak tidak dapat ditemukan;



c.
hak untuk melakukan penagihan pajak sudah daluwarsa;



d.
dokumen sebagai dasar penagihan pajak tidak ditemukan dan telah dilakukan penelusuran secara optimal sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan; atau



e.
hak negara untuk melakukan penagihan pajak tidak dapat dilaksanakan karena kondisi tertentu sehubungan dengan adanya perubahan kebijakan dan/atau berdasarkan pertimbangan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.


(3)
Piutang pajak yang dapat dihapuskan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk Wajib Pajak badan adalah piutang pajak yang tidak dapat ditagih lagi karena:



a.
Wajib Pajak bubar, likuidasi, atau pailit dan Penanggung Pajak tidak dapat ditemukan;



b.
hak untuk melakukan penagihan pajak sudah daluwarsa;



c.
dokumen sebagai dasar penagihan pajak tidak ditemukan dan telah dilakukan penelusuran secara optimal sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan; atau



d.
hak negara untuk melakukan penagihan pajak tidak dapat dilaksanakan karena kondisi tertentu sehubungan dengan adanya perubahan kebijakan dan/atau berdasarkan pertimbangan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.


Pasal 2


(1)
Untuk memastikan keadaan Wajib Pajak atau piutang pajak yang tidak dapat ditagih lagi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, wajib dilakukan penelitian setempat atau penelitian administrasi oleh Kantor Pelayanan Pajak.


(2)
Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Jurusita Pajak dan hasilnya dituangkan dalam laporan hasil penelitian.


(3)
Laporan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus menguraikan keadaan Wajib Pajak dan piutang pajak yang bersangkutan sebagai dasar untuk menentukan besarnya piutang pajak yang tidak dapat ditagih lagi dan diusulkan untuk dihapuskan.


Pasal 3


(1)
Berdasarkan laporan hasil penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Kepala Kantor Pelayanan Pajak menyusun daftar usulan penghapusan piutang pajak.


(2)
Daftar usulan penghapusan piutang pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atasannya.


(3)
Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak menyampaikan daftar usulan penghapusan piutang pajak yang telah dilakukan penelitian kepada Direktur Jenderal Pajak.


(4)
Direktur Jenderal Pajak mengusulkan penghapusan piutang pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada Menteri Keuangan.


Pasal 4


(1)
Berdasarkan usulan penghapusan piutang pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4), Menteri Keuangan menerbitkan Keputusan Menteri Keuangan mengenai penghapusan piutang pajak.


(2)
Keputusan Menteri Keuangan mengenai penghapusan piutang pajak untuk menghapuskan piutang pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) huruf a, huruf b, huruf c dan huruf d serta Pasal 1 ayat (3) huruf a, huruf b dan huruf c, dibuat sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.


Pasal 5


Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan mengenai penghapusan piutang pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Direktur Jenderal Pajak melakukan:


a.
penetapan mengenai rincian atas besarnya penghapusan piutang pajak; dan


b.
hapus tagih dan hapus buku atas piutang pajak tersebut sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan yang berlaku.


Pasal 6


Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan atas penugasan dari Menteri Keuangan melakukan reviu atas usulan penghapusan piutang pajak yang disampaikan oleh Direktorat Jenderal Pajak.


Pasal 7


Ketentuan mengenai tata cara pengusulan dan tindak lanjut penghapusan piutang pajak serta penetapan bentuk lampiran Keputusan Menteri Keuangan mengenai penghapusan piutang pajak, diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal Pajak.


Pasal 8


Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:


1.
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 565/KMK.04/2000 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Pajak dan Penetapan Besarnya Penghapusan; dan
   
2.
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 539/KMK.03/2002 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 565/KMK.04/2000 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Pajak dan Penetapan Besarnya Penghapusan,
   
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
   
Pasal 9
   
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
   
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
           
         
Ditetapkan di Jakarta
         
pada tanggal 2 Mei 2012
         
MENTERI KEUANGAN,
         
                ttd.
         
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
           
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 2 Mei 2012
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,
           ttd.
AMIR SYAMSUDIN
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 480

Selasa, 08 Mei 2012

TATA CARA PENGAJUAN DAN PEMAKAIAN NAMA PERSEROAN TERBATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 43 TAHUN 2011
TENTANG
TATA CARA PENGAJUAN DAN PEMAKAIAN NAMA
PERSEROAN TERBATAS

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:     bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 9 ayat (4) dan Pasal 16 ayat (4) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara Pengajuan dan Pemakaian Nama Perseroan Terbatas;

Mengingat:     1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:   PERATURAN PEMERINTAH TENTANG TATA CARA PENGAJUAN DAN PEMAKAIAN NAMA PERSEROAN TERBATAS.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1. Perseroan Terbatas yang selanjutnya disebut Perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas serta peraturan pelaksanaannya.
2. Nama Perseroan adalah nama yang digunakan sebagai identitas suatu Perseroan untuk membedakan dengan Perseroan yang lain.
3. Pemohon adalah pendiri bersama-sama, direksi Perseroan yang telah memperoleh status badan hukum, atau kuasanya.
4. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia.

Pasal 2
(1) Setiap Perseroan harus memiliki Nama Perseroan.
(2) Nama Perseroan hanya dapat dipakai setelah memperoleh persetujuan Menteri.
(3) Nama Perseroan yang telah memperoleh persetujuan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dimuat dalam anggaran dasar Perseroan.

BAB II
TATA CARA PENGAJUAN NAMA PERSEROAN

Pasal 3
(1) Pengajuan Nama Perseroan harus disampaikan oleh Pemohon kepada Menteri sebelum Perseroan didirikan atau sebelum perubahan anggaran dasar mengenai Nama Perseroan dilakukan.
(2) Nama Perseroan yang diajukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disertai dengan singkatan Nama Perseroan.
(3) Pengajuan Nama Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui jasa teknologi informasi sistem administrasi badan hukum secara elektronik.
(4) Bagi daerah tertentu yang belum ada jaringan elektronik atau jaringan elektronik tidak dapat digunakan, pengajuan Nama Perseroan dapat disampaikan secara tertulis melalui surat tercatat.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai Pengajuan Nama Perseroan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan pengajuan nama Perseroan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 4
(1) Penggunaan jasa teknologi informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dilakukan dengan mengisi format pengajuan Nama Perseroan.
(2) Format pengajuan Nama Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi Nama Perseroan yang akan dipakai untuk mendirikan Perseroan atau Nama Perseroan yang akan dipakai untuk menggantikan Nama Perseroan sebelumnya.

Pasal 5
(1) Nama Perseroan yang diajukan harus memenuhi persyaratan:
a. ditulis dengan huruf latin;
b. belum dipakai secara sah oleh Perseroan lain atau tidak sama pada pokoknya dengan Nama Perseroan lain;
c. tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan/atau kesusilaan;
d. tidak sama atau tidak mirip dengan nama lembaga negara, lembaga pemerintah, atau lembaga internasional, kecuali mendapat izin dari lembaga yang bersangkutan;
e. tidak terdiri atas angka atau rangkaian angka, huruf atau rangkaian huruf yang tidak membentuk kata;
f. tidak mempunyai arti sebagai Perseroan, badan hukum, atau persekutuan perdata;
g. tidak hanya menggunakan maksud dan tujuan serta kegiatan usaha sebagai Nama Perseroan; dan
h. sesuai dengan maksud dan tujuan serta kegiatan usaha Perseroan, dalam hal maksud dan tujuan serta kegiatan usaha akan digunakan sebagai bagian dari Nama Perseroan.
(2) Dalam hal Nama Perseroan yang diajukan disertai dengan singkatan, penggunaan singkatan harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kecuali huruf e.
(3) Singkatan Nama Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa:
a. singkatan yang terdiri atas huruf depan Nama Perseroan; atau
b. singkatan yang merupakan akronim dari Nama Perseroan.

Pasal 6
(1) Menteri dapat memberikan persetujuan atau penolakan atas pengajuan Nama Perseroan yang disampaikan oleh Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1).
(2) Persetujuan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara elektronik kepada Pemohon dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak tanggal pengajuan diterima secara lengkap.
(3) Dalam hal Menteri menolak pengajuan Nama Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penolakan harus disampaikan secara elektronik kepada Pemohon dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak tanggal pengajuan diterima disertai dengan alasan penolakan.

Pasal 7
(1) Nama Perseroan yang telah mendapat persetujuan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) wajib dinyatakan dalam:
a. Akta pendirian yang memuat anggaran dasar Perseroan; atau
b. Akta perubahan angaran dasar Perseroan.
(2) Nama Perseroan wajib dinyatakan dalam akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam jangka waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan Menteri atas pengajuan Nama Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2).
(3) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sudah terlampaui, persetujuan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) batal karena hukum.

BAB III
TATA CARA PEMAKAIAN NAMA PERSEROAN

Pasal 8
(1) Pemakaian Nama Perseroan harus didahului dengan frase "Perseroan Terbatas" atau disingkat "PT".
(2) Bagi Perseroan Terbuka selain berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pada akhir nama Perseroan ditambah singkatan "Tbk".
(3) Bagi Perseroan Persero selain berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah penulisan kata "Persero".

Pasal 9
(1) Singkatan "Tbk" sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) hanya dapat dipakai dalam surat menyurat terhitung sejak tanggal:
a. efektifnya Pernyataan Pendaftaran yang diajukan kepada lembaga pengawas di bidang pasar modal bagi Perseroan Publik; atau
b. dilaksanakannya Penawaran Umum bagi Perseroan yang mengajukan Pernyataan Pendaftaran kepada lembaga pengawas di bidang pasar modal untuk melakukan Penawaran Umum saham sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan di bidang pasar modal.
(2) Dalam hal Pernyataan Pendaftaran Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak menjadi efektif atau Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak melaksanakan Penawaran Umum saham, Perseroan mengubah kembali anggaran dasarnya dan menghapus singkatan "Tbk" pada Nama Perseroan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah tanggal persetujuan Menteri.

Pasal 10
Perseroan Terbuka yang tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai Perseroan Terbuka sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal:
a. dalam melakukan surat menyurat dilarang mencantumkan singkatan "Tbk" pada akhir Nama Perseroan, terhitung sejak tanggal diterbitkannya surat pernyataan dari lembaga pengawas di bidang pasar modal tentang tidak dipenuhinya kriteria Perseroan Terbuka; dan
b. wajib melakukan perubahan anggaran dasar dalam waktu paling lambat 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal diterbitkannya surat pernyataan dari lembaga pengawas di bidang pasar modal tentang tidak dipenuhinya kriteria Perseroan Terbuka.

Pasal 11
Perseroan yang seluruh sahamnya dimiliki oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia wajib memakai Nama Perseroan dalam bahasa Indonesia.
BAB IV
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 12
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1998 tentang Pemakaian Nama Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3740), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 13
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 4 Oktober 2011
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 4 Oktober 2011
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

PATRIALIS AKBAR

update SIMAK BMN dan Persediaan bulan Mei 2012 dan Sak bulan April 2012