Cari Blog Ini

Jumat, 17 Juni 2011

PINJAMAN DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 30 TAHUN 2011
TENTANG
PINJAMAN DAERAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang: a. bahwa untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengelolaan pinjaman daerah serta menyesuaikan dengan perkembangan kebutuhan dalam rangka pelaksanaan hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, perlu mengganti Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Pasal 171 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan Pasal 65 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pinjaman Daerah;

Mengingat: 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355);
3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Tahun 2004 Nomor 32 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
4. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PINJAMAN DAERAH.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1. Pinjaman Daerah adalah semua transaksi yang mengakibatkan Daerah menerima sejumlah uang atau menerima manfaat yang bernilai uang dari pihak lain sehingga Daerah tersebut dibebani kewajiban untuk membayar kembali.
2. Pinjaman Dalam Negeri adalah setiap pinjaman oleh Pemerintah yang diperoleh dari pemberi Pinjaman Dalam Negeri yang harus dibayar kembali dengan persyaratan tertentu sesuai dengan masa berlakunya.
3. Pinjaman Luar Negeri adalah setiap pembiayaan melalui utang yang diperoleh Pemerintah dari Pemberi Pinjaman Luar Negeri yang diikat oleh suatu perjanjian pinjaman dan tidak berbentuk surat berharga negara, yang harus dibayar kembali dengan persyaratan tertentu.
4. Perjanjian Pinjaman Dalam Negeri adalah kesepakatan tertulis mengenai pinjaman antara Pemerintah dan pemberi Pinjaman Dalam Negeri.
5. Perjanjian Pinjaman Luar Negeri adalah kesepakatan tertulis mengenai pinjaman antara Pemerintah dan Pemberi Pinjaman Luar Negeri.
6. Perjanjian Penerusan Pinjaman Dalam Negeri adalah kesepakatan tertulis antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah mengenai penerusan Pinjaman Dalam Negeri yang diperoleh Pemerintah.
7. Perjanjian Penerusan Pinjaman Luar Negeri adalah kesepakatan tertulis antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah mengenai penerusan Pinjaman Luar Negeri yang diperoleh Pemerintah.
8. Perjanjian Pinjaman Daerah adalah kesepakatan tertulis antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah mengenai Pinjaman Daerah yang dananya tidak berasal dari penerusan Pinjaman Dalam Negeri atau penerusan Pinjaman Luar Negeri.
9. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN, adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan Negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
10. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya disingkat APBD, adalah rencana keuangan tahunan Pemerintahan Daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
11. Obligasi Daerah adalah Pinjaman Daerah yang ditawarkan kepada publik melalui penawaran umum di pasar modal.
12. Dana Alokasi Umum adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar-Daerah untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
13. Dana Bagi Hasil adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
14. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
15. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota, dan perangkat Daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.
16. Menteri Keuangan yang selanjutnya disebut Menteri, adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
17. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.

Pasal 2
(1) Pemerintah Daerah dapat melakukan Pinjaman Daerah.
(2) Pinjaman Daerah harus merupakan inisiatif Pemerintah Daerah dalam rangka melaksanakan kewenangan Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Pinjaman Daerah merupakan alternatif pendanaan APBD yang digunakan untuk menutup:
a. defisit APBD;
b. pengeluaran pembiayaan; dan/atau
c. kekurangan arus kas.
(4) Pinjaman Daerah yang bersumber dari Pemerintah diberikan dalam kerangka hubungan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah.
(5) Pemerintah Daerah dapat meneruskan Pinjaman Daerah sebagai pinjaman, hibah, dan/atau penyertaan modal kepada Badan Usaha Milik Daerah dalam kerangka hubungan keuangan antara Pemerintahan Daerah dan Badan Usaha Milik Daerah.

Pasal 3
Pengelolaan Pinjaman Daerah harus memenuhi prinsip:
a. taat pada peraturan perundang-undangan;
b. transparan;
c. akuntabel;
d. efisien dan efektif; dan
e. kehati-hatian.

Pasal 4
Pemerintah Daerah dilarang melakukan pinjaman langsung kepada pihak luar negeri.

Pasal 5
(1) Pemerintah Daerah tidak dapat memberikan jaminan atas pinjaman pihak lain.
(2) Pendapatan Daerah dan/atau barang milik daerah tidak dapat dijadikan jaminan Pinjaman Daerah.
(3) Kegiatan yang dibiayai dari Obligasi Daerah beserta barang milik daerah yang melekat dalam kegiatan tersebut dapat dijadikan jaminan Obligasi Daerah.

Pasal 6
(1) Pinjaman Daerah dilakukan berdasarkan kesepakatan bersama antara pemberi pinjaman dan Pemerintah Daerah sebagai penerima pinjaman yang dituangkan dalam perjanjian pinjaman.
(2) Gubernur, bupati, walikota, atau pejabat yang diberi kewenangan oleh gubernur, bupati, walikota menandatangani perjanjian pinjaman bertindak atas nama Pemerintah Daerah.
(3) Perjanjian pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku sampai dengan berakhirnya masa perjanjian pinjaman.

Pasal 7
(1) Menteri menetapkan batas maksimal kumulatif pinjaman Pemerintah Daerah secara keseluruhan paling lambat bulan Agustus untuk tahun anggaran berikutnya.
(2) Penetapan batas maksimal kumulatif pinjaman Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan keadaan dan prakiraan perkembangan perekonomian nasional serta batas maksimal kumulatif pinjaman Pemerintah dan Pemerintah Daerah.

Pasal 8
(1) Seluruh penerimaan dan pengeluaran dalam rangka Pinjaman Daerah dicantumkan dalam APBD.
(2) Keterangan yang memuat rincian penerimaan dan pengeluaran dalam rangka Pinjaman Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam lampiran dokumen APBD.

Pasal 9
Setiap penerimaan Pinjaman Daerah:
a. disetor ke Rekening Kas Umum Daerah; atau
b. dibukukan dalam Rekening Kas Umum Daerah.

BAB II
SUMBER, JENIS, DAN PENGGUNAAN

Pasal 10
(1) Pinjaman Daerah bersumber dari:
a. Pemerintah;
b. Pemerintah Daerah lain;
c. lembaga keuangan bank;
d. lembaga keuangan bukan bank; dan
e. masyarakat.
(2) Pinjaman Daerah yang bersumber dari Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan melalui Menteri.
(3) Pinjaman Daerah yang bersumber dari Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berasal dari APBN termasuk dana investasi Pemerintah, penerusan Pinjaman Dalam Negeri, dan/atau penerusan Pinjaman Luar Negeri.
(4) Pinjaman Daerah yang bersumber dari masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e berupa Obligasi Daerah yang diterbitkan melalui pasar modal.

Pasal 11
Jenis Pinjaman Daerah terdiri atas:
a. Pinjaman Jangka Pendek;
b. Pinjaman Jangka Menengah; dan
c. Pinjaman Jangka Panjang.

Pasal 12
(1) Pinjaman Jangka Pendek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf a merupakan Pinjaman Daerah dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun anggaran.
(2) Kewajiban pembayaran kembali Pinjaman Jangka Pendek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang meliputi pokok pinjaman, bunga, dan/atau kewajiban lainnya seluruhnya harus dilunasi dalam tahun anggaran yang berkenaan.
(3) Pinjaman Jangka Pendek bersumber dari:
a. Pemerintah Daerah lain;
b. lembaga keuangan bank; dan
c. lembaga keuangan bukan bank.
(4) Pinjaman Jangka Pendek digunakan hanya untuk menutup kekurangan arus kas.

Pasal 13
(1) Pinjaman Jangka Menengah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf b merupakan Pinjaman Daerah dalam jangka waktu lebih dari 1 (satu) tahun anggaran.
(2) Kewajiban pembayaran kembali Pinjaman Jangka Menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang meliputi pokok pinjaman, bunga, dan/atau kewajiban lainnya seluruhnya harus dilunasi dalam kurun waktu yang tidak melebihi sisa masa jabatan gubernur, bupati, atau walikota yang bersangkutan.
(3) Pinjaman Jangka Menengah bersumber dari:
a. Pemerintah;
b. Pemerintah Daerah lain;
c. lembaga keuangan bank; dan
d. lembaga keuangan bukan bank.
(4) Pinjaman Jangka Menengah digunakan untuk membiayai pelayanan publik yang tidak menghasilkan penerimaan.

Pasal 14
(1) Pinjaman Jangka Panjang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf c merupakan Pinjaman Daerah dalam jangka waktu lebih dari 1 (satu) tahun anggaran.
(2) Kewajiban pembayaran kembali Pinjaman Jangka Panjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang meliputi pokok pinjaman, bunga, dan/atau kewajiban lain seluruhnya harus dilunasi pada tahun anggaran berikutnya sesuai dengan persyaratan perjanjian pinjaman yang bersangkutan.
(3) Pinjaman Jangka Panjang bersumber dari:
a. Pemerintah;
b. Pemerintah Daerah lain;
c. lembaga keuangan bank;
d. lembaga keuangan bukan bank; dan
e. masyarakat.
(4) Pinjaman Jangka Panjang yang bersumber dari Pemerintah, Pemerintah Daerah lain, lembaga keuangan bank, dan lembaga keuangan bukan bank digunakan untuk membiayai kegiatan investasi prasarana dan/atau sarana dalam rangka penyediaan pelayanan publik yang:
a. menghasilkan penerimaan langsung berupa pendapatan bagi APBD yang berkaitan dengan pembangunan prasarana dan sarana tersebut;
b. menghasilkan penerimaan tidak langsung berupa penghematan terhadap belanja APBD yang seharusnya dikeluarkan apabila kegiatan tersebut tidak dilaksanakan; dan/atau
c. memberikan manfaat ekonomi dan sosial.
(5) Pinjaman Jangka Panjang yang bersumber dari masyarakat digunakan untuk membiayai kegiatan investasi prasarana dan/atau sarana dalam rangka penyediaan pelayanan publik yang menghasilkan penerimaan bagi APBD yang diperoleh dari pungutan atas penggunaan prasarana dan/atau sarana tersebut.

BAB III
PERSYARATAN PINJAMAN DAERAH

Pasal 15
(1) Dalam melakukan Pinjaman Daerah, Pemerintah Daerah wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. jumlah sisa Pinjaman Daerah ditambah jumlah pinjaman yang akan ditarik tidak melebihi 75% (tujuh puluh lima persen) dari jumlah penerimaan umum APBD tahun sebelumnya;
b. memenuhi ketentuan rasio kemampuan keuangan daerah untuk mengembalikan pinjaman yang ditetapkan oleh Pemerintah; dan
c. persyaratan lainnya yang ditetapkan oleh calon pemberi pinjaman.
(2) Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam hal Pinjaman Daerah diajukan kepada Pemerintah, Pemerintah Daerah juga wajib memenuhi persyaratan tidak mempunyai tunggakan atas pengembalian pinjaman yang bersumber dari Pemerintah.
(3) Pinjaman Jangka Menengah dan Pinjaman Jangka Panjang wajib mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Pasal 16
(1) Menteri menetapkan nilai rasio kemampuan keuangan daerah untuk mengembalikan pinjaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf b.
(2) Penetapan nilai rasio kemampuan keuangan daerah untuk mengembalikan pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit 2,5 (dua koma lima) dengan memperhatikan perkembangan perekonomian nasional dan kapasitas fiskal daerah.

BAB IV
PINJAMAN DAERAH YANG BERSUMBER DARI PEMERINTAH

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 17
Menteri selaku Bendahara Umum Negara dapat memberikan pinjaman kepada Pemerintah Daerah berdasarkan usulan Pinjaman Daerah yang diajukan Pemerintah Daerah.

Bagian Kedua
Prosedur Pengajuan dan
Penilaian Usulan Pinjaman Daerah

Pasal 18
(1) Usulan Pinjaman Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 diajukan oleh gubernur, bupati, atau walikota kepada Menteri.
(2) Usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berupa Penerusan Pinjaman Dalam Negeri merupakan usulan yang sudah tercantum dalam daftar kegiatan prioritas yang dapat dibiayai dari Pinjaman Dalam Negeri.
(3) Usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berupa Penerusan Pinjaman Luar Negeri merupakan usulan yang sudah tercantum dalam Daftar Rencana Pinjaman Luar Negeri Jangka Menengah.
(4) Usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus melampirkan paling sedikit dokumen:
a. Laporan Keuangan Pemerintah Daerah selama 3 (tiga) tahun terakhir;
b. APBD tahun berkenaan;
c. perhitungan rasio kemampuan keuangan daerah untuk mengembalikan pinjaman;
d. rencana penarikan pinjaman; dan
e. persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
(5) Dalam hal usulan berasal dari peneruspinjaman Pinjaman Luar Negeri, selain melampirkan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Pemerintah Daerah harus juga melampirkan pertimbangan Menteri Dalam Negeri.
(6) Kegiatan yang akan dibiayai dari Pinjaman Daerah harus sesuai dengan dokumen perencanaan daerah.
(7) Pemerintah Daerah bertanggung jawab sepenuhnya atas kegiatan yang diusulkan kepada Menteri.

Pasal 19
(1) Menteri melakukan penilaian atas usulan Pinjaman Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dengan memperhatikan:
a. kapasitas fiskal daerah yang ditetapkan secara berkala oleh Menteri;
b. kebutuhan riil pinjaman Pemerintah Daerah;
c. kemampuan membayar kembali; dan
d. batas maksimal kumulatif pinjaman Pemerintah Daerah.
(2) Dalam melakukan penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri berkoordinasi dengan instansi terkait.

Pasal 20
(1) Menteri dapat menyetujui atau menolak usulan Pinjaman Daerah berdasarkan penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1).
(2) Dalam hal Menteri menyetujui usulan Pinjaman Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri menyampaikan ketentuan dan persyaratan perjanjian pinjaman kepada gubernur, bupati, atau walikota.

Pasal 21
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan dan penilaian usulan Pinjaman Daerah diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Ketiga
Perjanjian Pinjaman

Pasal 22
(1) Perjanjian pinjaman ditandatangani oleh Menteri atau pejabat yang diberi kewenangan oleh Menteri dan gubernur, bupati, atau walikota.
(2) Perjanjian pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
a. jumlah;
b. peruntukan;
c. hak dan kewajiban; dan
d. ketentuan dan persyaratan.
(3) Perjanjian pinjaman yang dananya berasal dari peneruspinjaman Pinjaman Dalam Negeri dituangkan dalam Perjanjian Penerusan Pinjaman Dalam Negeri.
(4) Perjanjian pinjaman yang dananya berasal dari peneruspinjaman Pinjaman Luar Negeri dituangkan dalam Perjanjian Penerusan Pinjaman Luar Negeri.
(5) Perjanjian pinjaman yang dananya bersumber dari Pemerintah selain yang berasal dari peneruspinjaman Pinjaman Dalam Negeri dan/atau peneruspinjaman Pinjaman Luar Negeri dituangkan dalam Perjanjian Pinjaman Daerah.

Pasal 23
(1) Penandatanganan perjanjian pinjaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) dilakukan setelah usulan Pinjaman Daerah disetujui Menteri.
(2) Dalam hal pinjaman berasal dari peneruspinjaman Pinjaman Dalam Negeri, Perjanjian Penerusan Pinjaman Dalam Negeri ditandatangani setelah ada Perjanjian Pinjaman Dalam Negeri.
(3) Dalam hal pinjaman berasal dari peneruspinjaman Pinjaman Luar Negeri, Perjanjian Penerusan Pinjaman Luar Negeri ditandatangani setelah ada Perjanjian Pinjaman Luar Negeri.

Pasal 24
(1) Ketentuan dan persyaratan pinjaman dalam Perjanjian Pinjaman Dalam Negeri atau Perjanjian Pinjaman Luar Negeri menjadi acuan dalam menetapkan ketentuan dan persyaratan Perjanjian Penerusan Pinjaman Dalam Negeri atau Perjanjian Penerusan Pinjaman Luar Negeri.
(2) Mata uang yang dicantumkan dalam Perjanjian Penerusan Pinjaman Luar Negeri dapat berupa mata uang rupiah atau mata uang asing.

Pasal 25
(1) Menteri atau pejabat yang diberi kewenangan oleh Menteri dan/atau gubernur, bupati, atau walikota dapat mengajukan usulan perubahan Perjanjian Penerusan Pinjaman Dalam Negeri, Perjanjian Penerusan Pinjaman Luar Negeri, atau Perjanjian Pinjaman Daerah.
(2) Perubahan Perjanjian Penerusan Pinjaman Dalam Negeri, Perjanjian Penerusan Pinjaman Luar Negeri, atau Perjanjian Pinjaman Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan kesepakatan bersama antara Menteri atau pejabat yang diberi kewenangan oleh Menteri dan gubernur, bupati, atau walikota.
(3) Dalam hal perubahan Perjanjian Penerusan Pinjaman Dalam Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memerlukan perubahan Perjanjian Pinjaman Dalam Negeri, Menteri terlebih dahulu mengajukan usulan perubahan Perjanjian Pinjaman Dalam Negeri kepada pemberi Pinjaman Dalam Negeri.
(4) Dalam hal perubahan Perjanjian Penerusan Pinjaman Luar Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memerlukan perubahan Perjanjian Pinjaman Luar Negeri, Menteri terlebih dahulu mengajukan usulan perubahan Perjanjian Pinjaman Luar Negeri kepada pemberi Pinjaman Luar Negeri.

Pasal 26
Kementerian Keuangan dan Pemerintah Daerah menyampaikan salinan Perjanjian Penerusan Pinjaman Dalam Negeri, Perjanjian Penerusan Pinjaman Luar Negeri, dan Perjanjian Pinjaman Daerah kepada Badan Pemeriksa Keuangan.

Pasal 27
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembuatan perjanjian pinjaman diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Keempat
Penganggaran dalam APBN serta
Penarikan dan Penyaluran Pinjaman Daerah

Pasal 28
(1) Menteri menyusun rencana alokasi pengeluaran pembiayaan dan estimasi penerimaan pembiayaan Bendahara Umum Negara dalam rangka pemberian pinjaman Pemerintah kepada Pemerintah Daerah untuk dialokasikan dalam APBN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Rencana alokasi pengeluaran pembiayaan Bendahara Umum Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun berdasarkan rencana tahunan pencairan dan/atau penyaluran pinjaman.
(3) Rencana estimasi penerimaan pembiayaan Bendahara Umum Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup anggaran penerimaan pembayaran kembali Pinjaman Daerah dari Pemerintah Daerah dalam APBN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Anggaran penerimaan pembayaran kembali Pinjaman Daerah dari Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disusun berdasarkan tahapan dan/atau jadwal rencana pembayaran kembali pinjaman.

Pasal 29
(1) Menteri melakukan penyaluran pinjaman Pemerintah kepada Pemerintah Daerah setelah penandatanganan Perjanjian Pinjaman Daerah dan penetapan alokasi anggaran dalam APBN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Menteri melakukan penarikan dan penyaluran pinjaman Pemerintah kepada Pemerintah Daerah yang dananya berasal dari Pinjaman Dalam Negeri setelah penandatanganan Perjanjian Penerusan Pinjaman Dalam Negeri dan penetapan alokasi anggaran dalam APBN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Menteri melakukan penarikan dan penyaluran pinjaman Pemerintah kepada Pemerintah Daerah yang dananya berasal dari Pinjaman Luar Negeri setelah penandatanganan Perjanjian Penerusan Pinjaman Luar Negeri dan penetapan alokasi anggaran dalam APBN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 30
Penarikan dan/atau penyaluran pinjaman Pemerintah kepada Pemerintah Daerah dilakukan secara bertahap sesuai dengan pencapaian kinerja.

Pasal 31
Penarikan dan/atau penyaluran pinjaman Pemerintah kepada Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dilakukan melalui:
a. pembayaran langsung;
b. rekening khusus;
c. pemindahbukuan ke Rekening Kas Umum Daerah;
d. Letter of Credit (L/C); atau
e. pembiayaan pendahuluan.

Pasal 32
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penganggaran dalam APBN, penarikan, dan penyaluran Pinjaman Daerah diatur dengan Peraturan Menteri.

BAB V
PINJAMAN DAERAH YANG BERSUMBER DARI
PEMERINTAH DAERAH LAIN, LEMBAGA KEUANGAN BANK,
DAN LEMBAGA KEUANGAN BUKAN BANK

Pasal 33
Pemerintah Daerah dapat melakukan Pinjaman Daerah yang bersumber dari Pemerintah Daerah lain, lembaga keuangan bank, dan lembaga keuangan bukan bank sepanjang memenuhi persyaratan pinjaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15.

Bagian Kesatu
Pengajuan dan Penilaian Usulan
Pinjaman Jangka Pendek

Pasal 34
(1) Pemerintah Daerah mengajukan usulan Pinjaman Jangka Pendek kepada calon pemberi pinjaman.
(2) Calon pemberi pinjaman melakukan penilaian atas usulan Pinjaman Jangka Pendek sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan serta ketentuan dan persyaratan pemberi pinjaman.
(3) Pemerintah Daerah memilih ketentuan dan persyaratan pemberi pinjaman yang paling menguntungkan Pemerintah Daerah.
(4) Pinjaman Jangka Pendek dituangkan dalam perjanjian pinjaman yang ditandatangani oleh gubernur, bupati, walikota, atau pejabat yang diberi kewenangan oleh gubernur, bupati, atau walikota dan pemberi pinjaman.

Bagian Kedua
Pengajuan dan Penilaian Usulan
Pinjaman Jangka Menengah dan
Pinjaman Jangka Panjang

Pasal 35
(1) Sebelum mengajukan usulan Pinjaman Jangka Menengah atau Pinjaman Jangka Panjang kepada calon pemberi pinjaman, gubernur harus menyampaikan rencana Pinjaman Jangka Menengah atau Pinjaman Jangka Panjang kepada Menteri Dalam Negeri untuk mendapat pertimbangan.
(2) Sebelum mengajukan usulan Pinjaman Jangka Menengah atau Pinjaman Jangka Panjang kepada calon pemberi pinjaman, bupati atau walikota harus menyampaikan rencana Pinjaman Jangka Menengah atau Pinjaman Jangka Panjang kepada Menteri Dalam Negeri untuk mendapatkan pertimbangan dan tembusannya disampaikan kepada gubernur.
(3) Penyampaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) paling sedikit melampirkan:
a. persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
b. salinan berita acara pelantikan gubernur, bupati, atau walikota;
c. pernyataan tidak mempunyai tunggakan atas pengembalian pinjaman yang berasal dari Pemerintah;
d. kerangka acuan kegiatan;
e. perhitungan tentang rasio kemampuan keuangan daerah untuk mengembalikan pinjaman;
f. Laporan Keuangan Pemerintah Daerah selama 3 (tiga) tahun terakhir;
g. Rancangan APBD tahun berkenaan;
h. perbandingan sisa Pinjaman Daerah ditambah jumlah pinjaman yang akan ditarik tidak melebihi 75% (tujuh puluh lima persen) dari jumlah penerimaan umum APBD tahun sebelumnya; dan
i. rencana keuangan pinjaman.
(4) Menteri Dalam Negeri memberikan pertimbangan kepada gubernur, bupati, atau walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) setelah berkoordinasi dengan Menteri.

Pasal 36
(1) Pemerintah Daerah mengajukan usulan Pinjaman Jangka Menengah atau Pinjaman Jangka Panjang kepada calon pemberi pinjaman setelah mendapat pertimbangan dari Menteri Dalam Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (4).
(2) Calon pemberi pinjaman melakukan penilaian atas usulan Pinjaman Jangka Menengah atau Pinjaman Jangka Panjang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan serta ketentuan dan persyaratan pemberi pinjaman.
(3) Pinjaman Jangka Menengah atau Pinjaman Jangka Panjang dituangkan dalam perjanjian pinjaman yang ditandatangani oleh gubernur, bupati, atau walikota dan pemberi pinjaman.
(4) Salinan perjanjian Pinjaman Jangka Menengah atau Pinjaman Jangka Panjang yang telah ditandatangani sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada Badan Pemeriksa Keuangan, Menteri, dan Menteri Dalam Negeri.

BAB VI
OBLIGASI DAERAH

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 37
Pemerintah Daerah dapat menerbitkan Obligasi Daerah sepanjang memenuhi persyaratan pinjaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15.

Pasal 38
Penerbitan Obligasi Daerah wajib dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.

Pasal 39
Penerbitan Obligasi Daerah hanya dapat dilakukan di pasar modal domestik dan dalam mata uang Rupiah.

Pasal 40
Obligasi Daerah merupakan efek yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah dan tidak dijamin oleh Pemerintah.

Pasal 41
Nilai Obligasi Daerah pada saat jatuh tempo sama dengan nilai nominal Obligasi Daerah pada saat diterbitkan.

Pasal 42
Penerbitan Obligasi Daerah hanya dapat digunakan untuk membiayai kegiatan investasi prasarana dan/atau sarana dalam rangka penyediaan Pelayanan Publik yang menghasilkan penerimaan bagi APBD yang diperoleh dari pungutan atas penggunaan prasarana dan/atau sarana tersebut.

Pasal 43
(1) Perjanjian pinjaman Obligasi Daerah dituangkan dalam perjanjian perwaliamanatan dan ditandatangani oleh gubernur, bupati, atau walikota dan Wali Amanat sebagai wakil pemegang obligasi/pemberi pinjaman.
(2) Setiap perjanjian pinjaman Obligasi Daerah sekurang-kurangnya mencantumkan:
a. nilai nominal;
b. tanggal jatuh tempo;
c. tanggal pembayaran bunga;
d. tingkat bunga (kupon);
e. frekuensi pembayaran bunga;
f. cara perhitungan pembayaran bunga;
g. ketentuan tentang hak untuk membeli kembali Obligasi Daerah sebelum jatuh tempo; dan
h. ketentuan tentang pengalihan kepemilikan.

Bagian Kedua
Prosedur Penerbitan Obligasi Daerah

Pasal 44
(1) Rencana penerbitan Obligasi Daerah disampaikan kepada Menteri dengan terlebih dahulu mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
(2) Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mengenai rencana penerbitan Obligasi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pembayaran pokok dan bunga yang timbul sebagai akibat penerbitan Obligasi Daerah dimaksud.
(3) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan atas nilai bersih maksimal Obligasi Daerah yang akan diterbitkan pada saat penetapan APBD.
(4) Selain memberikan persetujuan atas hal-hal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah memberikan persetujuan atas segala biaya yang timbul dari penerbitan Obligasi Daerah.
(5) Menteri melakukan penilaian terhadap rencana penerbitan Obligasi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan persyaratan pinjaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15.
(6) Penerbitan Obligasi Daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
(7) Tata cara penerbitan, pelaksanaan, penatausahaan, dan pemantauan Obligasi Daerah dilaksanakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.

Pasal 45
(1) Pemerintah Daerah dapat membeli kembali Obligasi Daerah yang diterbitkannya.
(2) Obligasi Daerah yang dibeli kembali dapat diperlakukan sebagai pelunasan atas Obligasi Daerah tersebut atau disimpan untuk dapat dijual kembali (treasury bonds).
(3) Dalam hal Obligasi Daerah yang dibeli kembali diperhitungkan sebagai treasury bonds, hak-hak yang melekat pada Obligasi Daerah batal demi hukum.

Bagian Ketiga
Kewajiban Pembayaran

Pasal 46
(1) Pemerintah Daerah wajib membayar:
a. pokok dan bunga setiap Obligasi Daerah pada saat jatuh tempo; dan
b. denda atas keterlambatan kewajiban pembayaran pokok dan bunga Obligasi Daerah.
(2) Pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggarkan dalam APBD setiap tahun sampai dengan berakhirnya kewajiban tersebut.
(3) Pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari pendapatan daerah yang berasal dari penerimaan kegiatan yang dibiayai dengan Obligasi Daerah tersebut.
(4) Dalam hal kegiatan belum menghasilkan dana yang cukup untuk membayar pokok, bunga, dan denda Obligasi Daerah, kewajiban pembayaran dibayarkan dari pendapatan daerah lainnya.
(5) Dalam hal kewajiban pembayaran bunga Obligasi Daerah yang telah jatuh tempo melebihi dana yang dianggarkan, gubernur, bupati, atau walikota tetap melakukan pembayaran sebesar jumlah kewajiban yang telah jatuh tempo tersebut.
(6) Realisasi kewajiban pembayaran bunga Obligasi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dianggarkan dalam perubahan APBD dan/atau dicantumkan dalam laporan realisasi anggaran.

Bagian Keempat
Pengelolaan Obligasi Daerah

Pasal 47
Pengelolaan Obligasi Daerah diselenggarakan oleh gubernur, bupati, atau walikota.

Pasal 48
Pengelolaan Obligasi Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 sekurang-kurangnya meliputi:
a. penetapan strategi dan kebijakan pengelolaan Obligasi Daerah termasuk kebijakan pengendalian risiko;
b. perencanaan dan penetapan struktur portofolio Pinjaman Daerah;
c. penerbitan Obligasi Daerah;
d. penjualan Obligasi Daerah melalui lelang;
e. pembelian kembali Obligasi Daerah sebelum jatuh tempo;
f. pelunasan pada saat jatuh tempo; dan
g. pertanggungjawaban.

Pasal 49
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penerbitan dan pertanggungjawaban Obligasi Daerah diatur dengan Peraturan Menteri.

BAB VII
PENGADAAN BARANG DAN JASA

Pasal 50
Pengadaan barang dan jasa untuk kegiatan yang dibiayai dari Pinjaman Daerah dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengadaan barang dan jasa.

BAB VIII
KEWAJIBAN PEMBAYARAN

Pasal 51
(1) Pemerintah Daerah wajib melakukan kewajiban pembayaran sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam perjanjian pinjaman.
(2) Dalam hal Pinjaman Daerah bersumber dari Pemerintah, kewajiban pembayaran yang berupa cicilan pokok, bunga, dan kewajiban lainnya disetorkan ke Rekening Kas Umum Negara atau rekening lain yang ditunjuk oleh Menteri.

Pasal 52
(1) Kewajiban pembayaran kembali Pinjaman Jangka Pendek yang berupa bunga, dan/atau biaya lainnya dibebankan pada belanja APBD.
(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggarkan dalam perubahan APBD atau dicantumkan dalam laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD tahun anggaran berkenaan.

Pasal 53
(1) Kewajiban pembayaran kembali Pinjaman Jangka Menengah dan Pinjaman Jangka Panjang dianggarkan dalam APBD dan dibayarkan pada tahun anggaran berkenaan.
(2) Dalam hal kewajiban pembayaran Pinjaman Jangka Menengah dan Pinjaman Jangka Panjang yang telah jatuh tempo melebihi dana yang dianggarkan, gubernur, bupati, atau walikota tetap melakukan pembayaran sebesar jumlah kewajiban yang telah jatuh tempo tersebut.
(3) Realisasi kewajiban pembayaran Pinjaman Jangka Menengah dan Pinjaman Jangka Panjang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam perubahan APBD dan/atau dalam laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD tahun anggaran berkenaan.

Pasal 54
Kewajiban pembayaran kembali Pinjaman Daerah dari Pemerintah dilakukan dalam mata uang sesuai yang ditetapkan dalam perjanjian pinjaman.

BAB IX
PENATAUSAHAAN, PEMANTAUAN, EVALUASI,
PELAPORAN, DAN PUBLIKASI

Bagian Kesatu
Penatausahaan

Pasal 55
(1) Menteri melakukan penatausahaan Pinjaman Daerah yang bersumber dari Pemerintah atas:
a. penarikan dan/atau penyaluran Pinjaman Daerah; dan
b. penerimaan kewajiban pembayaran kembali Pinjaman Daerah.
(2) Gubernur, bupati, atau walikota melakukan penatausahaan Pinjaman Daerah atas:
a. penerimaan dan penggunaan Pinjaman Daerah; dan
b. kewajiban pembayaran kembali Pinjaman Daerah.
(3) Gubernur, bupati, atau walikota melakukan penatausahaan atas:
a. penerimaan dan penggunaan dana atas penerbitan Obligasi Daerah;
b. penerimaan dan penggunaan dana atas kegiatan yang dibiayai dari penerbitan Obligasi Daerah; dan
c. pembayaran kewajiban atas penerbitan Obligasi Daerah.

Bagian Kedua
Pemantauan dan Evaluasi

Pasal 56
(1) Menteri melakukan pemantauan dan evaluasi atas penarikan, penyaluran, dan penerimaan kewajiban pembayaran kembali Pinjaman Daerah yang bersumber dari Pemerintah.
(2) Menteri dapat mengambil langkah-langkah penyelesaian atas permasalahan pemberian pinjaman Pemerintah kepada Pemerintah Daerah termasuk pembatalan pinjaman, apabila:
a. penyerapan pinjaman mengalami keterlambatan yang sangat jauh menyimpang dari rencana penarikan; dan/atau
b. penggunaan pinjaman tidak sesuai dengan ketentuan dalam perjanjian pinjaman.
(3) Menteri melakukan pemantauan dan evaluasi untuk melihat indikasi adanya penyimpangan dan/atau ketidaksesuaian antara rencana penerbitan Obligasi Daerah dengan realisasinya.

Bagian Ketiga
Pelaporan

Pasal 57
(1) Dalam rangka pertanggungjawaban pelaksanaan Pinjaman Daerah, Menteri menyusun dan menyajikan laporan keuangan sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan.
(2) Dalam rangka pertanggungjawaban pelaksanaan Pinjaman Daerah, Pemerintah Daerah menyusun dan menyajikan laporan keuangan sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan.

Pasal 58
Pertanggungjawaban atas pengelolaan Obligasi Daerah dan dana atas kegiatan yang dibiayai dari penerbitan Obligasi Daerah disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai bagian dari pertanggungjawaban pelaksanaan APBD.

Pasal 59
Pemerintah Daerah wajib melaporkan posisi kumulatif pinjaman dan kewajiban pinjaman kepada Menteri dan Menteri Dalam Negeri setiap semester dalam tahun anggaran berjalan.

Bagian Keempat
Publikasi

Pasal 60
(1) Gubernur, bupati, atau walikota menyelenggarakan publikasi informasi mengenai Pinjaman Daerah secara berkala.
(2) Publikasi informasi mengenai Pinjaman Daerah meliputi:
a. kebijakan tentang Pinjaman Daerah;
b. posisi kumulatif Pinjaman Daerah;
c. jangka waktu Pinjaman Daerah;
d. tingkat bunga Pinjaman Daerah;
e. sumber Pinjaman Daerah;
f. penggunaan Pinjaman Daerah;
g. realisasi penyerapan Pinjaman Daerah; dan
h. pemenuhan kewajiban Pinjaman Daerah.

Pasal 61
Gubernur, bupati, atau walikota menyelenggarakan publikasi informasi mengenai Obligasi Daerah secara berkala mengenai:
a. kebijakan penerbitan Obligasi Daerah;
b. rencana penerbitan Obligasi Daerah yang meliputi perkiraan jumlah dan jadwal waktu penerbitan;
c. pengelolaan Obligasi Daerah;
d. jumlah Obligasi Daerah yang beredar beserta komposisinya, struktur jatuh tempo, dan tingkat bunga;
e. laporan keuangan Pemerintah Daerah;
f. laporan penggunaan dana yang diperoleh melalui penerbitan Obligasi Daerah dan alokasi dana cadangan; dan
g. kewajiban publikasi data dan/atau informasi lainnya yang diwajibkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.

Pasal 62
Setiap perjanjian pinjaman yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah merupakan dokumen publik dan diumumkan dalam Berita Daerah.

Pasal 63
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penatausahaan, pemantauan, evaluasi, pelaporan, dan publikasi Pinjaman Daerah diatur dengan Peraturan Menteri.

BAB X
SANKSI ADMINISTRATIF

Pasal 64
(1) Dalam hal Pemerintah Daerah melanggar ketentuan Pasal 4, Menteri mengenakan sanksi administratif berupa penundaan dan/atau pemotongan Dana Alokasi Umum dan/atau Dana Bagi Hasil yang menjadi hak Daerah tersebut.
(2) Dalam hal Pemerintah Daerah tidak memenuhi kewajiban pembayaran kembali pinjaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) kepada Pemerintah, pembayaran kewajiban diperhitungkan dengan Dana Alokasi Umum dan/atau Dana Bagi Hasil yang menjadi hak Daerah tersebut.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembayaran kewajiban pinjaman kepada Pemerintah melalui perhitungan Dana Alokasi Umum dan/atau Dana Bagi Hasil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 65
Dalam hal Pemerintah Daerah tidak menyampaikan laporan posisi kumulatif pinjaman dan kewajiban pinjaman kepada Menteri dan Menteri Dalam Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, Menteri dapat menunda penyaluran Dana Perimbangan.

BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 66
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku:
a. perjanjian pinjaman yang telah dilakukan sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini, tetap berlaku sampai dengan berakhirnya pelunasan pembayaran pinjaman; dan
b. peraturan perundang-undangan yang telah ada dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini.

BAB XII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 67
Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pemberian pinjaman Pemerintah Daerah kepada Pemerintah Daerah lain diatur dengan Peraturan Daerah.

Pasal 68
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4574) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 69
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 6 Juni 2011
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 6 Juni 2011
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

PATRIALIS AKBAR

Lembaran Negara Tahun 2011 Nomor 59

PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 30 TAHUN 2011
TENTANG
PINJAMAN DAERAH

I. UMUM

Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, penyelenggaraan fungsi pemerintahan daerah akan terlaksana secara optimal apabila penyelenggaraan urusan pemerintahan diikuti dengan pemberian sumber-sumber penerimaan yang cukup kepada Daerah, dengan mengacu kepada Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Daerah diberikan hak untuk mendapatkan sumber keuangan antara lain berupa kepastian tersedianya pendanaan dari Pemerintah sesuai dengan urusan Pemerintah yang diserahkan, kewenangan memungut dan mendayagunakan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah serta hak untuk mendapatkan bagi hasil dari sumber-sumber daya nasional yang berada di Daerah dan Dana Perimbangan lainnya, dan hak untuk mengelola kekayaan Daerah dan mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah serta sumber-sumber pembiayaan, termasuk pinjaman.
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah pada prinsipnya mengatur mengenai pendanaan atas pelaksanaan otonomi Daerah berupa desentralisasi fiskal dengan konsep uang mengikuti fungsi (money follows function). Undang-undang tersebut mengatur konsep desentralisasi fiskal secara komprehensif, termasuk Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan, Hibah, Pinjaman, dan sumber-sumber penerimaan Daerah lainnya. Pinjaman Daerah merupakan salah satu sumber penerimaan Daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi, yang dicatat dan dikelola dalam APBD.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara menyatakan bahwa selain mengalokasikan Dana Perimbangan kepada Pemerintah Daerah, Pemerintah dapat memberikan pinjaman dan/atau hibah kepada Pemerintah Daerah. Hal ini menunjukan bahwa pelaksanaan hubungan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah tidak semata-mata bertumpu kepada Dana Perimbangan, namun juga termasuk Pinjaman Daerah dan Hibah Daerah sebagai salah satu sumber pendanaan pembangunan daerah. Dengan demikian, Pinjaman Daerah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pelaksanaan hubungan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah.
Pinjaman Daerah merupakan alternatif sumber pembiayaan APBD untuk mendanai kegiatan yang merupakan inisiatif dan kewenangan Daerah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dana pinjaman dapat ditujukan untuk mendanai kegiatan investasi berupa pengadaan prasarana dan/atau sarana Daerah yang memberikan manfaat ekonomi dan sosial bagi masyarakat. Kegiatan investasi tersebut memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian Daerah pada umumnya dan/atau penerimaan Daerah pada khususnya. Selain itu, dana pinjaman juga dapat ditujukan untuk mengatasi masalah jangka pendek yang berkaitan dengan arus kas Daerah.
Mengingat pinjaman memiliki berbagai risiko seperti risiko kesinambungan fiskal, risiko tingkat bunga, dan risiko pembiayaan kembali, maka diperlukan kecermatan dan kehati-hatian dalam pengelolaan Pinjaman Daerah. Peraturan Pemerintah ini bertujuan untuk mengatur lebih lanjut hal yang menyangkut Pinjaman Daerah dan pemberian pinjaman Pemerintah kepada Pemerintah Daerah, dengan mengantisipasi kebutuhan masa depan serta dengan mempertimbangkan perlunya mempertahankan kondisi kesehatan keuangan daerah dan kesinambungan perekonomian nasional.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup jelas.

Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Pendanaan APBD yang digunakan untuk menutup kekurangan arus kas adalah dalam rangka pengelolaan kas (cash management).
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Pinjaman Daerah yang diteruskan kepada Badan Usaha Milik Daerah terutama ditujukan untuk penyediaan pelayanan publik yang ditugaskan oleh Pemerintah Daerah (Public Service Obligations/PSO) kepada Badan Usaha Milik Daerah.

Pasal 3
Cukup jelas.

Pasal 4
Pinjaman Pemerintah Daerah kepada pihak luar negeri dilakukan melalui Pemerintah.

Pasal 5
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "pihak lain" adalah entitas di luar Pemerintah Daerah seperti Pemerintah, Badan Usaha Milik Daerah, dan Pemerintah Daerah lainnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "kegiatan" adalah bagian dari program yang dilaksanakan oleh satu atau lebih unit kerja pada satuan kerja sebagai bagian dari pencapaian sasaran terukur pada suatu program dan terdiri atas sekumpulan tindakan pengerahan sumber daya, berupa sumber daya manusia, barang modal termasuk peralatan dan teknologi, dana, atau kombinasi dari beberapa atau semua jenis sumber daya tersebut sebagai masukan untuk menghasilkan keluaran dalam bentuk barang/jasa.

Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Perjanjian pinjaman mengikat Pemerintah Daerah selaku institusi penerima pinjaman.
Ayat (3)
Pergantian gubernur, bupati, walikota, atau pejabat yang diberi kewenangan oleh gubernur, bupati, walikota untuk menandatangani perjanjian pinjaman tidak membatalkan perjanjian pinjaman yang telah ditandatanganinya.

Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Batas maksimal kumulatif pinjaman Pemerintah dan Pemerintah Daerah tidak melebihi 60% (enam puluh persen) dari Produk Domestik Bruto tahun yang berkenaan.

Pasal 8
Ayat (1)
Pengeluaran dalam rangka Pinjaman Daerah meliputi antara lain pembayaran angsuran pokok pinjaman, bunga, dan biaya lain.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 9
Cukup jelas.

Pasal 10
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "lembaga keuangan bank" adalah lembaga keuangan bank yang berbadan hukum Indonesia dan mempunyai tempat kedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Huruf d
Yang dimaksud dengan "lembaga keuangan bukan bank" adalah lembaga pembiayaan yang berbadan hukum Indonesia dan mempunyai tempat kedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Huruf e
Yang dimaksud dengan "masyarakat" adalah orang pribadi atau badan yang melakukan investasi di pasar modal.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 11
Cukup jelas.

Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "tahun anggaran yang berkenaan" adalah tahun anggaran pada saat Pemerintah Daerah melakukan Pinjaman Jangka Pendek.
Jangka waktu pelunasan Pinjaman Jangka Pendek tidak dapat melebihi tahun anggaran berkenaan. Dengan demikian, Pinjaman Jangka Pendek tidak diperkenankan dilakukan untuk mendanai defisit kas pada akhir tahun anggaran.
Pinjaman Jangka Pendek tidak termasuk kredit jangka pendek yang lazim terjadi dalam perdagangan, misalnya pelunasan kewajiban atas pengadaan/pembelian barang dan/atau jasa yang tidak dilakukan pada saat barang dan/atau jasa dimaksud diterima.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Pinjaman Jangka Pendek yang digunakan untuk menutup kekurangan arus kas dalam rangka pengelolaan kas antara lain untuk menutup kekurangan pembayaran gaji pegawai.

Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan "pelayanan publik" adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang dan jasa yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.

Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "manfaat ekonomi dan sosial" antara lain menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dan mengentaskan kemiskinan.
Ayat (5)
Cukup jelas.

Pasal 15
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "jumlah sisa Pinjaman Daerah" adalah jumlah seluruh kewajiban pembayaran kembali pinjaman lama yang belum dibayar, termasuk bunga dan/atau kewajiban lainnya.
Yang dimaksud dengan "jumlah pinjaman yang akan ditarik" adalah jumlah rencana komitmen pinjaman yang diusulkan.
Yang dimaksud dengan "penerimaan umum APBD" adalah seluruh penerimaan APBD tidak termasuk Dana Alokasi Khusus, Dana Darurat, dana pinjaman lama, dan penerimaan lain yang kegunaannya dibatasi untuk mendanai pengeluaran tertentu.
Huruf b
Rasio kemampuan keuangan daerah untuk mengembalikan pinjaman menunjukan rasio kemampuan membayar kembali pinjaman yang dikenal dengan istilah Debt Service Coverage Ratio (DSCR) dihitung dengan formula sebagai berikut:

{PAD + DAU + (DBH-DBHDR)} - BW
DSCR = -------------------------------- ≥ X
Pokok pinjaman + Bunga + BL


DSCR= Rasio Kemampuan Membayar Kembali Pinjaman Daerah yang bersangkutan;
PAD = Pendapatan Asli Daerah;
DAU = Dana Alokasi Umum;
DBH = Dana Bagi Hasil;
DBHDR = Dana Bagi Hasil Dana Reboisasi;
BW = Belanja Wajib;
Pokok Pinjaman = Angsuran Pokok Pinjaman;
Bunga = Beban Bunga Pinjaman;
BL= Biaya Lain.
DSCR Pemerintah Daerah³ X
X = Rasio kemampuan membayar kembali pinjaman (DSCR) yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Yang dimaksud dengan "belanja wajib" adalah belanja pegawai dan belanja anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Yang termasuk biaya lain misalnya biaya administrasi, komitmen, provisi, asuransi, dan denda yang terkait dengan Pinjaman Daerah.
Besaran PAD, DAU, DBH, DBHDR, dan BW dihitung dari rata-rata realisasi per tahun selama 3 (tiga) tahun terakhir.
Pokok Pinjaman, Bunga, dan Biaya Lain merupakan Kewajiban Pinjaman.
Besaran Kewajiban Pinjaman dihitung dari rata-rata per tahun kewajiban pinjaman lama yang belum dilunasi ditambah dengan rata-rata per tahun kewajiban pinjaman yang diusulkan.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "persyaratan lainnya" adalah persyaratan yang ditetapkan oleh calon pemberi pinjaman sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pinjaman Daerah.
Ayat (2)
Pembayaran kembali pinjaman yang bersumber dari Pemerintah merupakan prioritas kewajiban Pemerintah Daerah.
Ayat (3)
Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah termasuk dalam hal pinjaman tersebut diteruspinjamkan, dihibahkan, dan/atau dijadikan penyertaan modal kepada Badan Usaha Milik Daerah.

Pasal 16
Cukup jelas.

Pasal 17
Yang dimaksud dengan "Bendahara Umum Negara" adalah pejabat yang diberi tugas untuk melaksanakan fungsi bendahara umum negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.

Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Laporan Keuangan Pemerintah Daerah diutamakan laporan keuangan yang sudah diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan. Dalam hal Laporan Keuangan Pemerintah Daerah yang sudah diaudit belum tersedia, Menteri dapat meminta dokumen lainnya sebagai dokumen pengganti.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Rencana penarikan pinjaman berisi informasi mengenai rencana penarikan tahunan selama masa penarikan pinjaman.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Dokumen perencanaan daerah meliputi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah.
Ayat (7)
Cukup jelas.

Pasal 19
Cukup jelas.

Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Ketentuan dan persyaratan perjanjian pinjaman meliputi pengaturan mengenai tingkat bunga, jangka waktu, tanggal jatuh tempo, serta ketentuan dan persyaratan lainnya.

Pasal 21
Cukup jelas.

Pasal 22
Cukup jelas.

Pasal 23
Cukup jelas.

Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dalam hal mata uang yang digunakan adalah mata uang Rupiah, maka selisih kurs yang terjadi menjadi beban Pemerintah Daerah.

Pasal 25
Cukup jelas.

Pasal 26
Cukup jelas.

Pasal 27
Cukup jelas.

Pasal 28
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Penerimaan pembayaran kembali meliputi cicilan pokok pinjaman, bunga, dan biaya lainnya.
Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 29
Cukup jelas.

Pasal 30
Cukup jelas.

Pasal 31
Cukup jelas.

Pasal 32
Cukup jelas.

Pasal 33
Cukup jelas.

Pasal 34
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "ketentuan dan persyaratan pemberi pinjaman yang paling menguntungkan Pemerintah Daerah" adalah ketentuan dan persyaratan pinjaman yang tidak membebani APBD.
Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 35
Cukup Jelas

Pasal 36
Cukup jelas.

Pasal 37
Cukup jelas.

Pasal 38
Cukup jelas.

Pasal 39
Cukup jelas.

Pasal 40
Ketentuan ini menegaskan bahwa segala risiko yang timbul sebagai akibat dari penerbitan Obligasi Daerah tidak dijamin dan/atau tidak ditanggung oleh Pemerintah.
Mengingat Obligasi Daerah merupakan efek yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah dan tidak dijamin oleh Pemerintah, maka Obligasi Daerah bukanlah tergolong dalam Surat Utang Negara.
Yang dimaksud dengan "efek" adalah efek sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.

Pasal 41
Ketentuan ini mengatur bahwa Pemerintah Daerah dilarang menerbitkan Obligasi Daerah yang menggunakan indeks tertentu yang menyebabkan nilai Obligasi Daerah pada saat jatuh tempo tidak sama dengan nilai nominalnya pada saat diterbitkan (index bonds).

Pasal 42
Ketentuan ini mengatur bahwa Obligasi Daerah yang diterbitkan hanya jenis obligasi pendapatan (revenue bonds).

Pasal 43
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "nilai nominal" adalah nilai pokok Obligasi Daerah, yaitu nilai yang dapat ditagih oleh pemegang Obligasi Daerah kepada Pemerintah Daerah sebagai penerbit obligasi pada saat jatuh tempo, atau besarnya kewajiban pokok Obligasi Daerah yang dibayar oleh Pemerintah Daerah kepada pemegang Obligasi Daerah.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "tanggal jatuh tempo" adalah jangka waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian penerbitan Obligasi Daerah (biasanya tercantum dalam perjanjian perwaliamanatan) di mana pemegang obligasi berhak menuntut pelunasan hak yang terkait dengan Obligasi Daerah. Tanggal jatuh tempo tersebut dapat meliputi tanggal jatuh tempo pembayaran pokok maupun pembayaran bunga.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan "tingkat bunga (kupon)" adalah manfaat yang dijanjikan kepada pemegang Obligasi Daerah sebesar persentase tertentu dari nilai nominal. Penetapan tingkat bunga dapat ditetapkan secara pasti (fixed rate) atau mengambang (floating rate).
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Dalam penerbitan Obligasi Daerah dapat diperjanjikan bahwa Pemerintah Daerah sebagai penerbit obligasi dapat membeli kembali Obligasi Daerah yang diterbitkannya sebelum jatuh tempo.
Huruf h
Cukup jelas.

Pasal 44
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah" adalah persetujuan prinsip yang diberikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang menangani bidang keuangan. Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dimaksud digunakan dalam penyampaian rencana penerbitan obligasi kepada Menteri.
Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atas setiap penerbitan Obligasi Daerah secara otomatis merupakan persetujuan atas pembayaran dan pelunasan segala kewajiban keuangan di masa mendatang yang timbul dari penerbitan Obligasi Daerah.
Ayat (2)
Dalam hal bunga Obligasi Daerah ditetapkan mengacu pada tingkat bunga mengambang, maka persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dimaksud adalah menetapkan formula tingkat bunga.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "nilai bersih" adalah total keseluruhan nilai nominal Obligasi Daerah yang beredar (outstanding) yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah di luar nilai nominal Obligasi Daerah yang ditarik kembali sebagai pelunasan sebelum jatuh tempo dan/atau Obligasi Daerah yang telah dilunasi pada saat jatuh tempo selama satu tahun anggaran.
Ayat (4)
Biaya yang timbul dari penerbitan Obligasi Daerah antara lain biaya emisi, denda, jasa pemeringkat efek, serta jasa profesi dan lembaga penunjang pasar modal.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Ketentuan ini dimaksudkan agar terdapat keterbukaan dan pertanggungjawaban yang jelas kepada masyarakat tentang segala kewajiban dari obligasi tersebut.
Peraturan Daerah dimaksud ditetapkan dengan persetujuan pleno Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Persetujuan pleno Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dimaksud digunakan sebagai syarat penandatanganan perjanjian pinjaman.
Ayat (7)
Cukup jelas.

Pasal 45
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dalam hal Obligasi Daerah yang dibeli kembali sebagai pelunasan, Obligasi Daerah dimaksud tidak dapat dijual kembali.
Ayat (3)
Hak suara dalam rapat umum pemegang obligasi (RUPO), hak atas pembayaran bunga, serta hak lain yang melekat pada Obligasi Daerah yang dibeli kembali tidak dapat digunakan atau diterima oleh Pemerintah Daerah.

Pasal 46
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Semua kewajiban pokok yang timbul akibat penerbitan Obligasi Daerah dialokasikan dalam APBD setiap tahun sebagai dana cadangan (sinking fund) yang tidak dapat digunakan untuk keperluan lainnya, sampai dengan berakhirnya kewajiban tersebut. Perkiraan dana pembayaran kewajiban bunga Obligasi Daerah disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah setiap tahun anggaran untuk dialokasikan dalam APBD.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Realisasi pembayaran bunga dapat melebihi proyeksi pembayaran bunga dalam satu tahun anggaran, apabila tingkat bunga yang berlaku dari Obligasi Daerah dengan tingkat bunga mengambang lebih besar daripada asumsi tingkat bunga yang ditetapkan dalam APBD.
Ayat (6)
Cukup jelas.

Pasal 47
Pengelolaan Obligasi Daerah dilakukan oleh unit yang ditunjuk oleh gubernur, bupati, atau walikota.

Pasal 48
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Pemerintah Daerah melakukan penjualan Obligasi Daerah pada pasar perdana melalui penawaran umum sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.
Selanjutnya, dalam hal Pemerintah Daerah bermaksud untuk membeli kembali (buy back) Obligasi Daerah yang diterbitkannya atau menjual kembali atas Obligasi Daerah yang dibeli kembali dimaksud, maka Pemerintah Daerah dapat melakukan pembelian kembali atau penjualan kembali Obligasi Daerah tersebut melalui lelang.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.

Pasal 49
Cukup jelas.

Pasal 50
Cukup jelas.

Pasal 51
Cukup jelas.

Pasal 52
Cukup jelas.

Pasal 53
Ayat (1)
Kewajiban pembayaran kembali atas pinjaman yang jatuh tempo meliputi seluruh angsuran pokok pinjaman ditambah bunga pinjaman, dan/atau biaya lain.
Dengan menempatkan kewajiban atas pinjaman tersebut sebagai prioritas dan dianggarkan dalam pengeluaran APBD, maka pemenuhan kewajiban tersebut dimaksudkan mempunyai kedudukan yang sejajar dengan pengeluaran lain yang diprioritaskan Pemerintah Daerah, misalnya pengeluaran yang apabila tidak dilakukan dapat menimbulkan kerawanan sosial. Dengan demikian, pemenuhan kewajiban atas Pinjaman Daerah tidak dapat dikesampingkan apabila target penerimaan APBD tidak tercapai.
Ayat (2)
Realisasi pembayaran bunga dapat melebihi proyeksi pembayaran bunga dalam satu tahun anggaran, apabila tingkat bunga yang berlaku dari Pinjaman Jangka Menengah dan Pinjaman Jangka Panjang dengan tingkat bunga mengambang lebih besar dari asumsi tingkat bunga yang ditetapkan dalam APBD.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 54
Cukup jelas.

Pasal 55
Cukup jelas.

Pasal 56
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dalam hal pinjaman bersumber dari peneruspinjaman Pinjaman Dalam Negeri atau peneruspinjaman Pinjaman Luar Negeri, pembatalan pinjaman dilakukan setelah mendapat persetujuan dari pemberi Pinjaman Dalam Negeri atau pemberi Pinjaman Luar Negeri.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 57
Cukup jelas.

Pasal 58
Cukup jelas.

Pasal 59
Cukup jelas.

Pasal 60
Cukup jelas.

Pasal 61
Aktivitas pasar Obligasi Daerah dapat ditingkatkan bilamana informasi tentang rencana dan realisasi penerbitan yang meliputi, antara lain, informasi tentang jadwal penerbitan, jatuh tempo, dan volume Obligasi Daerah, diumumkan secara luas dengan jadwal yang teratur. Program tersebut khususnya dilakukan dalam rangka penerbitan Obligasi Daerah yang dimaksudkan untuk pembentukan tolok ukur harga aset keuangan. Adanya hal tersebut akan memberikan kesempatan kepada para pemodal untuk menyusun strategi penawaran (bidding), menentukan jumlah persediaan Obligasi Daerah dalam portofolio, dan merencanakan penjualan/pelepasan Obligasi Daerah yang saat ini berada dalam portofolio mereka. Bilamana pelaku pasar modal sudah mengetahui jadwal penerbitan dimaksud, gangguan potensial yang terjadi di pasar modal dapat dihindari.

Pasal 62
Yang dimaksud dengan "dokumen publik" adalah dokumen yang dapat diketahui oleh seluruh masyarakat.
Ketentuan ini dimaksudkan agar terdapat keterbukaan dan pertanggungjawaban yang jelas kepada masyarakat tentang kewajiban pinjaman tersebut.

Pasal 63
Cukup jelas.

Pasal 64
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "tidak memenuhi kewajiban pembayaran kembali pinjaman kepada Pemerintah" adalah tidak dipenuhinya kewajiban pembayaran angsuran pokok pinjaman, bunga pinjaman, dan/atau biaya lainnya kepada Pemerintah sesuai dengan jadwal waktu dan jumlah yang telah ditetapkan dalam perjanjian pinjaman. Semua kewajiban pembayaran kembali Pinjaman Daerah menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 65
Yang dimaksud dengan "Dana Perimbangan" adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.

Pasal 66
Cukup jelas.

Pasal 67
Cukup jelas.

Pasal 68
Cukup jelas.

Pasal 69
Cukup jelas.

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5219

Tidak ada komentar:

Posting Komentar